Suatu sore di teras rumah tetangga.
“Aku
sekarang pacaran sama Arif, lho..”
“Hah,
katanya kemarin sama Fikri?”
“Iya sama
Fikri juga, jadi sekarang pacarku ada dua.
Kalau dipikir-pikir, asik juga ya punya pacar dua. Yang satu pinter, yang satunya lagi pinter main bola. Menurutmu gimana, Res?”
Kalau dipikir-pikir, asik juga ya punya pacar dua. Yang satu pinter, yang satunya lagi pinter main bola. Menurutmu gimana, Res?”
“Ah, biasa
aja tuh. Malahan menurutku kamu terlalu serakah. Padahal minggu lalu kamu
bilang naksir sama Bagus. Jangan-jangan nanti kamu pacaran juga sama Bagus, ya
kan?”
“Yee.. Nggak
papa kan?”
“Nggak papa
gimana? Nanti kalo ketahuan gimana?”
“Tenang aja,
nggak akan ketahuan.. Ini kan rahasia. Jangan bilang siapa-siapa ya.”
“Iya deh,
rahasia.”
“Kalo kamu,
jadi nggak pacaran sama kak Sandi?”
“Kak Sandi
yang mana?”
“Yang kelas
enam, kan waktu itu aku bilang kadang-kadang dia suka melirik kamu kalo
upacara. Kelihatannya dia suka sama kamu. Mending kamu pacaran aja deh sama kak
Sandi. Dia kan ganteng juga, tinggi dan katanya pinter matematika. Mau ya Res?”
“Lho, kok
kamu yang maksa sih, Fan? Iya kalo dia suka sama aku, kalo nggak, gimana? Kan
malu.”
“Eh beneran
kok, aku yakin dia suka sama kamu.”
“Emang
pacaran itu ngapain sih?”
“Emm.. Ya
saling suka gitu. Terus.. Ya, seneng lah pokoknya..”
“Ohh..
Begitu ya.. Ya deh, nanti aku pikir-pikir dulu.”
Adzan Ashar
berkumandang. Dari depan rumah seorang ibu muncul sambil mencari-cari. Setelah
ketemu, ia berseru, “Resti, pulang dulu Nduk, udahan mainnya.”
ooOOoo
Keesokan
harinya di jam yang sama, di teras itu pula.
“Fan, kalo
aku pikir-pikir, aku nggak mau pacaran sama kak Sandi.”
“Kenapa?
Kamu naksir yang lain ya.. Sayang lho, kak Sandi itu kan keren.”
“Emmm..
Pokoknya aku nggak mau pacaran. Aku nanti maunya dijodohkan aja.”
“Hah,
dijodohkan? Dijodohkan gimana?”
“Iya
dijodohkan, seperti bulik Tari, tanteku yang sering kesini itu lho. Kamu tahu
kan?’
“Iya, tahu,
yang habis menikah di Solo pas lebaran itu.”
“Nah, kata
ibuku dia itu dijodohkan dengan paklik Seto. Orangnya ganteng lho, putih,
tinggi, baik dan katanya pinter juga. Kalo nggak percaya nanti kapan-kapan aku
kasih tahu foto nikahnya.”
“Siapa yang
menjodohkan mereka?”
“Mbah
Putri.”
“Kok bisa
gitu?”
“Aku juga
nggak tahu, padahal bulik Tari itu menurutku nggak terlalu cantik, agak hitam
dan pendek. Memang sih dia baik dan pinter, paklik Seto mau dijodohkan sama
dia. Padahal mereka nggak pacaran.”
“Enak dong
bulikmu itu, dapat suami ganteng begitu, pinter lagi. Aku mau juga dong seperti
dia.”
“Makanya aku
nggak mau pacaran, nanti aku maunya dijodohkan aja, seperti bulikku..”
Kali ini
terdengar panggilan lagi dari depan rumah, “Resti, pulang dulu Nduk, tolongin
Ibu beli gula di warung..”
Kemajuan teknologi, beberapa di antaranya facebook, kemudahan telepon seluler juga beragam tayangan di televisi merasuki anak-anak SD dengan obsesi tentang pacaran. Jika tidak diimbangi peran orangtua/pendidik dapat berefek negatif. Cerita di atas terilhami kisah nyata, semoga generasi mendatang menjadi semakin baik...
Kemajuan teknologi, beberapa di antaranya facebook, kemudahan telepon seluler juga beragam tayangan di televisi merasuki anak-anak SD dengan obsesi tentang pacaran. Jika tidak diimbangi peran orangtua/pendidik dapat berefek negatif. Cerita di atas terilhami kisah nyata, semoga generasi mendatang menjadi semakin baik...
Assalam, blogwalking ketemu tulisan keren ini. Thanks for inspiring :-)
BalasHapus