Selasa, 25 Desember 2012

FF: Perjodohan


Suatu sore di teras rumah tetangga.

“Aku sekarang pacaran sama Arif, lho..”

“Hah, katanya kemarin sama Fikri?”

“Iya sama Fikri juga, jadi sekarang pacarku ada dua.
Kalau dipikir-pikir, asik juga ya punya pacar dua. Yang satu pinter, yang satunya lagi pinter main bola. Menurutmu gimana, Res?”

“Ah, biasa aja tuh. Malahan menurutku kamu terlalu serakah. Padahal minggu lalu kamu bilang naksir sama Bagus. Jangan-jangan nanti kamu pacaran juga sama Bagus, ya kan?”

“Yee.. Nggak papa kan?”

“Nggak papa gimana? Nanti kalo ketahuan gimana?”

“Tenang aja, nggak akan ketahuan.. Ini kan rahasia. Jangan bilang siapa-siapa ya.”

“Iya deh, rahasia.”

“Kalo kamu, jadi nggak pacaran sama kak Sandi?”

“Kak Sandi yang mana?”

“Yang kelas enam, kan waktu itu aku bilang kadang-kadang dia suka melirik kamu kalo upacara. Kelihatannya dia suka sama kamu. Mending kamu pacaran aja deh sama kak Sandi. Dia kan ganteng juga, tinggi dan katanya pinter matematika. Mau ya Res?”

“Lho, kok kamu yang maksa sih, Fan? Iya kalo dia suka sama aku, kalo nggak, gimana? Kan malu.”

“Eh beneran kok, aku yakin dia suka sama kamu.”

“Emang pacaran itu ngapain sih?”

“Emm.. Ya saling suka gitu. Terus.. Ya, seneng lah pokoknya..”

“Ohh.. Begitu ya.. Ya deh, nanti aku pikir-pikir dulu.”

Adzan Ashar berkumandang. Dari depan rumah seorang ibu muncul sambil mencari-cari. Setelah ketemu, ia berseru, “Resti, pulang dulu Nduk, udahan mainnya.”


ooOOoo

Keesokan harinya di jam yang sama, di teras itu pula.

“Fan, kalo aku pikir-pikir, aku nggak mau pacaran sama kak Sandi.”

“Kenapa? Kamu naksir yang lain ya.. Sayang lho, kak Sandi itu kan keren.”

“Emmm.. Pokoknya aku nggak mau pacaran. Aku nanti maunya dijodohkan aja.”

“Hah, dijodohkan? Dijodohkan gimana?”

“Iya dijodohkan, seperti bulik Tari, tanteku yang sering kesini itu lho. Kamu tahu kan?’

“Iya, tahu, yang habis menikah di Solo pas lebaran itu.”

“Nah, kata ibuku dia itu dijodohkan dengan paklik Seto. Orangnya ganteng lho, putih, tinggi, baik dan katanya pinter juga. Kalo nggak percaya nanti kapan-kapan aku kasih tahu foto nikahnya.”

“Siapa yang menjodohkan mereka?”

“Mbah Putri.”

“Kok bisa gitu?”

“Aku juga nggak tahu, padahal bulik Tari itu menurutku nggak terlalu cantik, agak hitam dan pendek. Memang sih dia baik dan pinter, paklik Seto mau dijodohkan sama dia. Padahal mereka nggak pacaran.”

“Enak dong bulikmu itu, dapat suami ganteng begitu, pinter lagi. Aku mau juga dong seperti dia.”

“Makanya aku nggak mau pacaran, nanti aku maunya dijodohkan aja, seperti bulikku..”

Kali ini terdengar panggilan lagi dari depan rumah, “Resti, pulang dulu Nduk, tolongin Ibu beli gula di warung..” 



Kemajuan teknologi, beberapa di antaranya facebook, kemudahan telepon seluler juga beragam tayangan di televisi merasuki anak-anak SD dengan obsesi tentang pacaran. Jika tidak diimbangi peran orangtua/pendidik dapat berefek negatif. Cerita di atas terilhami kisah nyata, semoga generasi mendatang menjadi semakin baik...

1 komentar:

  1. Assalam, blogwalking ketemu tulisan keren ini. Thanks for inspiring :-)

    BalasHapus