Minggu, 02 Desember 2012

Jarban



Dulu saya tak pernah kenal istilah jarban. Dengar saja nggak pernah, apalagi tahu artinya. Namun semenjak beberapa bulan yang lalu, jarban mulai akrab di telinga saya. Tepatnya ketika mas Ahnaf mulai mondok di sebuah pesantren di Jawa Timur. Baiklah apa itu jarban? Asal katanya dari bahasa arab, yang artinya cobaan. Jarban itu istilah kalau di pondok, kalau di dunia kedokteran namanya scabies, kalau istilah orang ndeso seperti saya menyebutnya koreng, gudhiken.  Iya, semacam penyakit gatal-gatal yang hanya menyerang anak-anak pondok. Meskipun yang nggak di pondok juga bisa kena, tapi sebagian besar penderitanya adalah anak-anak pondok..


Apa sih penyebabnya kok menyerangnya anak-anak pondok? Jawabnya sederhana saja,
karena yang hidup di pondok jumlahnya buanyak. Memang gampang mengatakan, ‘jangan sampai ketularan’, ‘jaga kebersihan’, ‘mandinya yang bersih’, ‘kasurnya sering dijemur ya..’, ‘nyuci bajunya yang bersih’ dsb. Tapi prakteknya  tidak segampang itu. Buktinya tidak satupun yang pernah di pondok itu yang bisa lolos dari jarban. Semuanya kena. Termasuk mas Ahnaf. Awalnya gatal-gatal biasa, digaruk, luka, berair, merembet ke bagian kulit yang lain. Semakin lama terjadilah infeksi, bengkak, bernanah campur darah dan bau. Begitulah kira-kira. Kabar buruknya, jarban sangat, sangat menular.


Tidak akan menjadi masalah kalau jarban ini hanya sedikit. Karena tidak terlalu mengganggu aktivitas sehari-hari dan akan cepat sembuh. Namun sungguh kasihan bila jarban merata ke seluruh tubuh atau bagian tertentu. Dua kali mas Ahnaf kena yang seperti ini. Dulu waktu masih awal-awal, jarban merata di kedua kaki, juga di tangan dan siku. Sedangkan yang kedua kena kira-kira sebulan yang lalu. Jarban memenuhi kedua telapak tangan dan punggung tangan, hingga jari-jari lengket satu sama lain, bernanah dan berdarah.  Berobat ke BKSM (klinik pondok) sudah berkali-kali namun tiada hasil sampai akhirnya dirujuk ke rumah sakit di luar pondok. Bukannya kenapa-kenapa, karena dengan kedua tangan seperti itu dia malah tidak bisa beraktivitas. Jangankan menulis, makan pun nggak bisa, apalagi mencuci. Duuh, sungguh tak tega hati ini kalau mengingatnya. Badannya sampai lemas dan pucat karena nggak bisa makan.


Alhamdulillah setelah dirawat kira-kira 3 hari ada sedikit perubahan, jarban mulai mengering dan badan segar karena mulai ada asupan makanan dan infus. Meski setelah masuk pondok tetap dirawat di BKSM, setidaknya sudah jauh berkurang rasa sakit dan ngilu akibat jarbannya. Semoga setelah ini tidak terkena jarban lagi.


Saat ini sepertinya saya tak ingin menuliskan jarban dari sisi medis, karena sudah banyak  ahli yang membahasnya di internet. Tapi saya ingin menuliskan jarban dari sisi istilahnya. Mengenai jarban, saya sendiri kurang tahu persisnya kapan dan siapa yang pertama kali mempopulerkan istilah ini di kalangan pondok. Yang jelas, istilah jarban yang artinya cobaan, dianggap sebagai penyakit  cobaan. Jadi kalau terkena jarban, berarti dia sedang diuji. Apakah dia tahan dengan cobaan seperti itu. Apakah semangatnya menuntut ilmu akan mengendur, atau bahkan mundur. Kebanyakan memang anak-anak yang baru masuk di tahun pertama yang terkena jarban, makanya dianggap sebagai cobaan.


Sesungguhnya, cobaan bagi anak pondok tidak hanya jarban penyakit. Tapi banyak jarban-jarban lainnya, bermacam cobaan. Sebagai anak remaja yang baru tumbuh, jauh dari orangtua itu sendiri adalah cobaan. Mereka anak-anak yang datang dari seluruh penjuru tanah air, tidak hanya dari pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dll, tapi juga dari negara tetangga bahkan tak sedikit mereka datang melintasi benua. Terbayang jauhnya mereka datang, orangtua pun tak dapat sering-sering berkunjung karena jauhnya.

Jarban yang lain adalah kedisiplinan yang tinggi dan pengaturan waktu yang ketat. Aktivitas di pondok sudah dimulai sebelum subuh dan diakhiri hingga malam. Kegiatan yang padat ini adalah cobaan juga, untuk menempa para santri supaya menjadi insan berilmu yang mampu beradaptasi dalam kondisi serba terbatas.


Jarban lain adalah dalam kehidupan sehari-hari mereka. Semua serba antri. Mau makan antri, mau mandi antri, mau bayar SPP antri, mau ambil kiriman orangtua antri, mau ambil tabungan antri, mau menelpon orangtua juga antri, dan masih banyak lagi antri antri lainnya. Pelajaran antri ini juga cobaan supaya mereka lebih sabar dan ikhlas.

Salah satu jarban lagi adalah pergaulan sesama santri. Mereka santri yang jumlahnya ribuan itu harus tinggal sekamar dengan banyak teman. Ada yang sekamar berisi 20, 30, atau lebih banyak, tergantung luas kamar yang ditempati.  Tidurpun sama rata semua santri memakai kasur lipat yang hanya digelar saat tidur. Kira-kira 6 bulan sekali mereka berpindah kamar, tentu saja temannya juga berganti, adaptasi lagi.


Meski dari luar terlihat tenang, irama di pondok terasa serba cepat, begitu cekatan. Saat pergantian  kegiatan, yang terdengar hanya banyaknya suara sandal atau sepatu pantovel. Tak jarang mereka harus berlari demi bisa datang sebelum waktu.


Subhanallah.. Jujur saya katakan kalau saya yang berada di posisi mereka, saya pasti sudah banyak mengeluh ini itu. Tapi, yang saya lihat dari mereka adalah wajah-wajah dan tubuh yang penuh semangat. Banyaknya kegiatan dan waktu yang terbatas membuat irama bergulir begitu saja. Saya pernah bertanya pada mas Ahnaf, “Pernah mikirin rumah nggak Mas?”  “Nggak sempat Bu..” Saya sangat terharu. Usianya masih muda, bulan ini dia baru menginjak 12 tahun. Namun rela berpisah jauh dari orangtua, rela bersusah-susah, belajar keras dengan serba keterbatasan, dengan banyak sekali jarban.


Pondok ini sudah berdiri selama 87 tahun, hidup dari generasi ke generasi, dengan banyak Kiai, ustadz dan santri. Sampai kini Allah menjaga pondok ini. Berbagai cobaan atau jarban selalu menghiasi. Saya haqqul yakin para Kiai, ustadz dan santri selalu berdoa dan berusaha sekuat tenaga demi kebaikan semua. Namun jarban selalu ada, dan terus ada. Karena memang Allah menurunkannya sebagai cobaan untuk semua..


Yaa Mujiib, Yaaa Arhamarrahimiin.. Jadikan cobaan mereka, cobaan kami, sebagai penguat, yang menjadikan mereka ‘besar’ dalam membesarkan agamamu.. Aamiin..



Graha Asri, 2 Desember 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar