Dulu saya tak pernah kenal istilah jarban. Dengar saja nggak
pernah, apalagi tahu artinya. Namun semenjak beberapa bulan yang lalu, jarban
mulai akrab di telinga saya. Tepatnya ketika mas Ahnaf mulai mondok di sebuah
pesantren di Jawa Timur. Baiklah apa itu jarban? Asal katanya dari bahasa arab,
yang artinya cobaan. Jarban itu istilah kalau di pondok, kalau di dunia
kedokteran namanya scabies, kalau istilah orang ndeso seperti saya menyebutnya
koreng, gudhiken. Iya, semacam penyakit
gatal-gatal yang hanya menyerang anak-anak pondok. Meskipun yang nggak di
pondok juga bisa kena, tapi sebagian besar penderitanya adalah anak-anak
pondok..
Apa sih penyebabnya kok menyerangnya anak-anak pondok?
Jawabnya sederhana saja,
karena yang hidup di pondok jumlahnya buanyak. Memang
gampang mengatakan, ‘jangan sampai ketularan’, ‘jaga kebersihan’, ‘mandinya
yang bersih’, ‘kasurnya sering dijemur ya..’, ‘nyuci bajunya yang bersih’ dsb.
Tapi prakteknya tidak segampang itu.
Buktinya tidak satupun yang pernah di pondok itu yang bisa lolos dari jarban. Semuanya
kena. Termasuk mas Ahnaf. Awalnya gatal-gatal biasa, digaruk, luka, berair,
merembet ke bagian kulit yang lain. Semakin lama terjadilah infeksi, bengkak,
bernanah campur darah dan bau. Begitulah kira-kira. Kabar buruknya, jarban
sangat, sangat menular.
Tidak akan menjadi masalah kalau jarban ini hanya sedikit.
Karena tidak terlalu mengganggu aktivitas sehari-hari dan akan cepat sembuh.
Namun sungguh kasihan bila jarban merata ke seluruh tubuh atau bagian tertentu.
Dua kali mas Ahnaf kena yang seperti ini. Dulu waktu masih awal-awal, jarban
merata di kedua kaki, juga di tangan dan siku. Sedangkan yang kedua kena
kira-kira sebulan yang lalu. Jarban memenuhi kedua telapak tangan dan punggung
tangan, hingga jari-jari lengket satu sama lain, bernanah dan berdarah. Berobat ke BKSM (klinik pondok) sudah berkali-kali
namun tiada hasil sampai akhirnya dirujuk ke rumah sakit di luar pondok.
Bukannya kenapa-kenapa, karena dengan kedua tangan seperti itu dia malah tidak
bisa beraktivitas. Jangankan menulis, makan pun nggak bisa, apalagi mencuci.
Duuh, sungguh tak tega hati ini kalau mengingatnya. Badannya sampai lemas dan
pucat karena nggak bisa makan.
Alhamdulillah setelah dirawat kira-kira 3 hari ada sedikit
perubahan, jarban mulai mengering dan badan segar karena mulai ada asupan
makanan dan infus. Meski setelah masuk pondok tetap dirawat di BKSM, setidaknya
sudah jauh berkurang rasa sakit dan ngilu akibat jarbannya. Semoga setelah ini
tidak terkena jarban lagi.
Saat ini sepertinya saya tak ingin menuliskan jarban dari
sisi medis, karena sudah banyak ahli
yang membahasnya di internet. Tapi saya ingin menuliskan jarban dari sisi
istilahnya. Mengenai jarban, saya sendiri kurang tahu persisnya kapan dan siapa
yang pertama kali mempopulerkan istilah ini di kalangan pondok. Yang jelas,
istilah jarban yang artinya cobaan, dianggap sebagai penyakit cobaan. Jadi kalau terkena jarban, berarti dia
sedang diuji. Apakah dia tahan dengan cobaan seperti itu. Apakah semangatnya
menuntut ilmu akan mengendur, atau bahkan mundur. Kebanyakan memang anak-anak
yang baru masuk di tahun pertama yang terkena jarban, makanya dianggap sebagai
cobaan.
Sesungguhnya, cobaan bagi anak pondok tidak hanya jarban
penyakit. Tapi banyak jarban-jarban lainnya, bermacam cobaan. Sebagai anak
remaja yang baru tumbuh, jauh dari orangtua itu sendiri adalah cobaan. Mereka
anak-anak yang datang dari seluruh penjuru tanah air, tidak hanya dari pulau
Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dll, tapi juga dari negara tetangga
bahkan tak sedikit mereka datang melintasi benua. Terbayang jauhnya mereka
datang, orangtua pun tak dapat sering-sering berkunjung karena jauhnya.
Jarban yang lain adalah kedisiplinan yang tinggi dan
pengaturan waktu yang ketat. Aktivitas di pondok sudah dimulai sebelum subuh
dan diakhiri hingga malam. Kegiatan yang padat ini adalah cobaan juga, untuk
menempa para santri supaya menjadi insan berilmu yang mampu beradaptasi dalam
kondisi serba terbatas.
Jarban lain adalah dalam kehidupan sehari-hari mereka. Semua
serba antri. Mau makan antri, mau mandi antri, mau bayar SPP antri, mau ambil
kiriman orangtua antri, mau ambil tabungan antri, mau menelpon orangtua juga
antri, dan masih banyak lagi antri antri lainnya. Pelajaran antri ini juga
cobaan supaya mereka lebih sabar dan ikhlas.
Salah satu jarban lagi adalah pergaulan sesama santri.
Mereka santri yang jumlahnya ribuan itu harus tinggal sekamar dengan banyak
teman. Ada yang sekamar berisi 20, 30, atau lebih banyak, tergantung luas kamar
yang ditempati. Tidurpun sama rata semua
santri memakai kasur lipat yang hanya digelar saat tidur. Kira-kira 6 bulan
sekali mereka berpindah kamar, tentu saja temannya juga berganti, adaptasi
lagi.
Meski dari luar terlihat tenang, irama di pondok terasa serba
cepat, begitu cekatan. Saat pergantian
kegiatan, yang terdengar hanya banyaknya suara sandal atau sepatu
pantovel. Tak jarang mereka harus berlari demi bisa datang sebelum waktu.
Subhanallah.. Jujur saya katakan kalau saya yang berada di
posisi mereka, saya pasti sudah banyak mengeluh ini itu. Tapi, yang saya lihat
dari mereka adalah wajah-wajah dan tubuh yang penuh semangat. Banyaknya kegiatan
dan waktu yang terbatas membuat irama bergulir begitu saja. Saya pernah
bertanya pada mas Ahnaf, “Pernah mikirin rumah nggak Mas?” “Nggak sempat Bu..” Saya sangat terharu.
Usianya masih muda, bulan ini dia baru menginjak 12 tahun. Namun rela berpisah
jauh dari orangtua, rela bersusah-susah, belajar keras dengan serba keterbatasan,
dengan banyak sekali jarban.
Pondok ini sudah berdiri selama 87 tahun, hidup dari
generasi ke generasi, dengan banyak Kiai, ustadz dan santri. Sampai kini Allah
menjaga pondok ini. Berbagai cobaan atau jarban selalu menghiasi. Saya haqqul
yakin para Kiai, ustadz dan santri selalu berdoa dan berusaha sekuat tenaga
demi kebaikan semua. Namun jarban selalu ada, dan terus ada. Karena memang
Allah menurunkannya sebagai cobaan untuk semua..
Yaa Mujiib, Yaaa Arhamarrahimiin.. Jadikan cobaan mereka,
cobaan kami, sebagai penguat, yang menjadikan mereka ‘besar’ dalam membesarkan
agamamu.. Aamiin..
Graha Asri, 2 Desember 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar