Selasa, 05 Maret 2013

Mengapa Saya Membiarkan Idris & Ilyas Mogok Sekolah?




Dua bulan sudah Idris & Ilyas (5y4m) mangkir ke sekolah. Tepatnya sejak semester kedua dimulai. Bahkan Idris hanya masuk selama 3 hari dalam dua bulan ini. Kalau ditanya kenapa? Pokoknya nggak mau sekolah. Jawaban yang sungguh cerdas, menurut saya. Karena justru ketika kita menanyakan alasan itu berulang kali, akan makin menambah banyak alasan bagi mereka berdua.  Yang capek lah, yang takut lah, dan lainnya. Padahal, ketika mereka nggak mau, ya berarti memang nggak mau. Saya tak boleh meraba-raba jawabannya agar sesuai dengan perkiraan kita. Saya mencoba menghargai pilihan mereka.


Ketika banyak orang tua membujuk anaknya (dengan berbagai cara) supaya masuk sekolah lagi, saya justru membiarkannya.  Yang saya lakukan tiap hari hanya menanyakan mereka satu-satu, “Hari ini mau sekolah nggak?” Kalau nggak mau, ya sudah. Paling saya hanya membiarkan dan mengamati apa saja yang mereka lakukan di rumah. Mereka enjoy apa nggak Tantrum apa nggak. Tinggal saya memfasilitasinya di rumah. Daan, mereka sangat menikmati ‘bermain’ di rumah. Idris nggak lagi suka melamun. Ekspresif, percaya diri, lebih mudah diajak komunikasi, tanpa paksaan. Semakin lama, saya menyadari yang mereka lakukan di rumah, sebenarnya bukan sekedar bermain, tapi menikmati belajar. Sebenarnya apa saja sih yang mereka lakukan? Yuk, kita simak..

1.       Menggambar.
Yang ini sudah pasti, karena hobi mereka berdua. Menggambar pun medianya macam-macam. Yang utama di kertas, buku, kadang di whiteboard, tanpa sepengetahuan saya kadang di tembok, karpet dan pintu. Alat gambarnya pun bisa macam-macam, krayon, krayon wax, spidol, spidol whiteboard, pensil warna, pensil 2B atau bolpoin. Mereka melakukannya dengan sangat-sangat ceria. Tanpa perlu dipaksa harus menggambar ini atau itu, waktunya harus jam segini atau segitu. Paling saya hanya mengarahkan saja. Mereka mau apa hari ini? “Menggambar”. Oke saya bilang, boleh menggambar, tapi kita sarapan dulu. Biar nggak lemes, biar sehat, dsb. Alhasil, karena menggambarnya dengan sepenuh hati, banyak sekali ide-ide gambar mereka. Saya tak pernah sekalipun mencontohkan gambar. Mereka bervisualisasi sendiri dengan imajinasi masing-masing.

2.       Melukis.
Kadang bosan menggambar, hari itu mereka minta melukis. Menggunakan water color pasta, mereka bisa melukis berlembar-lembar kertas. Idenya pun bermacam-macam.
Sekali lagi, saya tak pernah mencontohkan, hanya mengarahkan saja. Misalnya, kalau habis melukis, kertasnya dijemur, biar hasil lukisannya cepat kering. Begitu saja. Sambil saya tinggal mengerjakan hal lain, ide mereka bisa kemana-mana. Tanpa sepengetahuan saya, mereka bosan melukis di kertas, ganti ke anyaman tampah yang sedang saya jemur di belakang. Atau, melukis di kaca jendela.
Awalnya mereka takut ketika melihat saya tahu hal ini. Ketika ternyata saya malah memuji mereka, ini yang dikatakan Ilyas, “ Dris, ternyata Ibu nggak marah, yuk melukis di kaca lagi…” Hahaha.. dalam hati saya tertawa. Tapii, saya tetap mengarahkan keinginan mereka. Ketika itu habis makan malam, mereka minta melukis, saya tak mengijinkan. Saya bilang, “Adik, ini sudah malam, cahayanya kurang terang, lebih enak melukisnya kalau siang. Kalau lebih terang, melukisnya lebih asik..”


3.       Fingerprint
Ini juga bagian dari menggambar dan melukis, hanya berbeda cara dan sarana. Menggunakan fingerprint paint, mereka bisa merasakan sensasi melukis dengan jari, seperti stempel.


4.       Memasak.
Tapi bukan memasak rendang atau opor lho. Haha.. Sederhana saja. Sesuatu yang mereka sukai. Idris yang tak tertarik masak,  minta membantu memasak tempe goreng kesukaan mereka. Kesempatan ini saya gunakan untuk mengenalkan rasa. Mereka belum tahu kalau garam itu beda dengan gula. Ketika saya menuang garam dalam air matang, Idris ngotot minta mencicipi. Dipikir karena bentuknya sama dengan gula, rasanya juga manis, ternyata nggak. Mereka minta memotong tempe, membuat keratan-keratan, lalu membumbui tempe itu satu persatu. Yang menggoreng? Tentu saja saya. Saya bilang, ini panas, adik belum boleh.

Atau ketika minta membantu membuat pudding. Mereka yang memilih kemasan pudding di swalayan, Idris rasa stoberi, dengan warna kemasan merah muda, gambar buah stroberi. Sedangkan Ilyas rasa coklat, dengan kemasan warna coklat dengan gambar coklat batangan.  Ketika memasak, saya ajak mereka untuk menuang bubuk  pudding, menambahkan air ke dalamnya (sambil menghitung berapa gelas air yang dibutuhkan), lalu mengaduknya. Yang memanaskan di kompor? Tentu saya lagi.. Haha.. Yang penting bagi saya, anak-anak happy, itu saja..


5.       Main lilin/clay
Ini biasanya dilakukan di sekolah. Mereka senang dengan kegiatan  yang membentuk-bentuk, berkreasi sesuka hati. Membuat gajah, penguin, buah-buahan, kue, donat, dsb. 


6.       Menyusun balok-balok.
Mereka mengekspresikan imajinasinya yang belum pernah saya bayangkan sebelumnya, seperti teropong bintang berikut..

Dan lintasan balap..

7.       Main tebak-tebakan jejak kaki.
Tanpa sepengetahuan saya, mereka menggambar jejak kaki dimana-mana, terutama di karpet. Jejak kaki sepatu manusia, bebek, kucing, bahkan jejak kaki ultraman.. Haha... Ada-ada saja. Mereka memberi saya tebakan, “Ayo Bu, ini jejak kaki apa?” 


8.       Mewarnai, menggunting, membuat wayang
Membuat wayang, ide yang tak pernah terlintas di kepala saya. Tapi ide brilian itu muncul dari Idris dan Ilyas. Gambar yang sudah diwarnai, lalu digunting. Biasanya kertas terlihat lemas dan lembek. Mereka punya ide, supaya bisa dimainkan, gambar itu harus terlebih dahulu diberi pengeras di belakangnya. Lalu mereka menggulung kertas lain, maksudnya supaya kaku, lalu hendak ditempel di bagian belakang gambar yang sudah digunting tadi. Tampaknya mereka sedikit kesulitan dengan itu. Sampai Bapaknya melihat dan mereka menjelaskan maksudnya.
Oalah, akhirnya dibantu si Bapak, wayang itu pun jadi. Wayang robot, tapi ternyata idenya tak hanya robot. Akhirnya lahirlah wayang2 lainnya, wayang mobil polisi, wayang mobil pemadam, wayang truk, wayang monster, dll. Sayangnya saya tak sempat memotret semuanya.


9.       Merangkai Spidol
Spidol yang biasa digunakan Idris dan Ilyas bisa dirangkai menjadi bentuk-bentuk, sehingga kreasi mereka tak hanya di seputaran gambar.

10.   Menonton kaset, dll.
Kami tak anti TV. Namun kami mengarahkan anak-anak, apa yang boleh ditonton dan apa yang tidak. Kapan mulai menyetel kaset, kapan TV harus dimatikan. Seringnya, TV lebih banyak digunakan untuk nonton kaset. Makanya acara TV malah kami tak pernah mengikuti lagi.

Kami memberi  tontonan buat anak-anak, karena masuk dalam kriteria kami. Sebagai anak-anak yang lebih menyukai tampilan visual, menonton juga penting. Selain menampilkan cerita dan gambar edukatif, anak-anak banyak ‘bergerak’ mengikuti cerita di dalamnya. Juga merekam bentuk2 yang mereka lihat, untuk digambar lagi. Kadang, saya tak bisa 100% mendampingi mereka saat menonton, karenanya saya selalu memberi arahan isi ceritanya.


11.   Berkunjung ke tempat-tempat menyenangkan.
Seperti toko buku, pasar ikan, pasar hewan dll. Kadang kami ke mall, sekali waktu kalau memang ada perlu. Tapi kami juga membiasakan anak-anak mengunjungi tempat yang beragam. Misal ke museum,

penangkaran kupu-kupu, tempat angklung, sekedar ke kantor pos mengirim wesel atau mengirim paket buat kakaknya, dll. Dengan diajak ke tempat seperti tadi, saya berharap mereka mengerti tentang kehidupan sehari-hari. Misal di pasar ikan, mereka bisa melihat-lihat bermacam ikan, pakan ikan, perlengkapan akuarium, dll. Di situ juga dekat penjual hamster, kucing, ayam, kelinci, dll. Idris jadi ketagihan ke tempat itu. 
Dan banyak lagi hal lainnya..


Lha, terus kapan belajarnya? Belajarnya, ya pas bermain itu tadi. Semua proses yang mereka lakukan, dari hal-hal kecil sampai besar tadi, bagi saya adalah belajar. Justru saat seperti itu stimulasinya lebih maksimal, tanpa tekanan, lebih efisien, tanpa pengaturan yang justru membuat ribet. Misalnya, belajar doa. Saya tak mengajarkan mereka harus berdoa ini atau itu. Tetapi, ketika melakukan kegiatan, saya membiasakan doa-doa sehari-hari, yang mudah dan simpel. Misal, saat turun hujan, saya membacakan doa turun hujan. Ilyas tanya, “Kenapa Ibu baca itu?” baru saya jelaskan, dan kalau mau, saya ajak baca. Begitu juga dengan hal lainnya. Jadi, kalau sedang panas menyengat, kita ajak baca doa turun hujan, kira-kira anak-anak tertarik nggak? Silakan jawab sendiri.

Terus kapan belajar bacanya? Haha.. Mungkin saya orang tua yang terlalu nyanthaaii.. Gimana mau ngajari baca, lawong anaknya belum mau baca. Ya sudah, kan daripada senewen...
Beda dengan ngaji, saya buat supaya mereka tertarik. Idris dan Ilyas sering minta dibelikan mainan ini itu, yang nggak jelas, kadang minta robot, kadang mobilan, dll. Kami membelikan mainan hanya pas Bapaknya libur setelah 2 minggu kerja. Tapi, demi hal tertentu, kami mengubah aturan ini. Boleh beli mainan kalo udah menghabiskan biji-bijian dalam toples. Tiap habis ngaji, saya minta anak-anak  memindahkan 1 biji ke toples yang kosong. Begitu seterusnya. Jumlahnya sekitar 35 biji. Kesimpulannya, jika mereka hendak dibelikan mainan, berarti harus mengaji selama 35 kali dulu. Haha.. Sambil melatih bersabar juga.. Dulu trik ini saya pakai ketika kakaknya umur 3 tahun. Malah jumlahnya tak tanggung2, 100 biji. Itu karena mainan yang diminta harganya mahal.   
Apapun caranya, prinsip yang kami pegang sama saja, bahwa anak-anak masih sangat membutuhkan banyak bermain di usia mereka. Saya ingin mereka matang secara alami.

Saya sedikit teringat ketika kakaknya dulu, Mas Ahnaf masih TK, dia bersekolah di sekolah alam. Sesuai kategori, dia langsung dimasukkan ke TK-B. Hampir setiap hari selama satu semester itu, yang dilakukannya hanya main air dan tanah, membuat bendungan, saluran air, dsb. Kegiatan lainnya, kurang tertarik. Bu Gurunya membiarkan saja, sambil diawasi. Karena mungkin itu masa dia senang-senangnya  explore dengan lingkungan. Tapi, boleh percaya atau tidak, sejak TK hingga dia lulus kelas 6 SD, dia selalu ke sekolah dengan senang dan gembira. Saya yakin, masa explore yang mematangkan emosinya akan berakhir, dan di saat itu dia lebih siap menghadapi hal yang lebih serius dan menantang.

Saya ingin tunas-tunas yang masih kecil ini, tumbuh secara alami. Kalaupun harus memberinya pupuk, saya memilih pupuk alami. Agar mereka tumbuh sewajarnya dengan akar yang kokoh. Tunas yang ‘dipaksa’ tumbuh dengan cepat, memang menggembirakan, menuai tepuk tangan dan sorak sorai penanamnya. Bunga yang mekar lalu mengundang pujian dimana-mana. Namun apa guna jika kemudian angin menerjang, ia mudah tumbang, karena besarnya pohon dan kekuatan akar yang tak seimbang..

Teriring cinta untuk ketiga buah hatiku, Ahnaf, Idris dan Ilyas..

Graha Asri,  5 Maret 2013

4 komentar:

  1. Saya salut sama cara mbak Wiwin dan mas Wawan menyikapi dan memperhatikan pendidikan anak2nya :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kita2 juga sedang belajar kok Om, justru kehadiran anak2 membuat kita baaanyak belajar. Sebenernya, merekalah yang sedang mengajari kita..

      Hapus
  2. You having amazing gergous kids, Mbak Winarti. And you are an inspiring Mother. Actually I did it too to my daughters for some time ago when I thought a formal school isnt the only one scene to find more the knowledges. We, the parent introducing them to the Museum *some places were rarely Indonesians family visited, heheheh*, Music Traditional Shows and any other "rush" educated place.
    Definetly is we, the parents and the kids can get more values from many ways when we learn something.
    Salam Sayang Buat Idris dan Ilyas. We will be missing you.

    BalasHapus
    Balasan
    1. that is learn from life.. sekolah kita yang sesungguhnya yaa, kehidupan ini.. we'll be missing u too.. Kita masih bisa sharing2 kaan? thank you for visiting my blog..

      Hapus