Senin, 27 Mei 2013

Kerajinan Tanah Liat



Ada yang menjadi kebiasaan kami ketika suami sedang training atau workshop di luar kota. Yang pasti, ikuuut. Ya, begitulah, kami akan menyambut dengan suka cita kalau ada berita gembira ini. Asik kata anaknya, asik pula kata emaknya. Norak ya.. Maklumlah, dalam sebulan kami hanya berkumpul 2 minggu saja. Atau dalam hitungan setahun, ketemunya cuma 6 bulan. Maka, harap maklumi kenorakan kami ini.

Norak boleh sama, namun selera boleh berbeda. Tiap acara training/meeting itu, para anak istri juga punya agenda sendiri. Ada yang seneng shopping, jalan-jalan, main, atau kalau nggak punya acara, ya nggak kemana-mana, menikmati hotel sepanjang hari.

Selasa, 21 Mei 2013

Kisah Doa Ibu



Dua kisah berikut saya ceritakan kembali dari kisah nyata, tentang ibu dan anak perempuan.

Pertama, tentang kisah kegundahan hati seorang ibu, yang dalam beberapa tahun terakhir merasa ‘kehilangan’ anak perempuannya. Dulu, rasa-rasanya anaknya ini tak seperti sekarang, berubah. Entah apa penyebabnya, tiap kali si ibu mengunjungi anaknya yang tinggal di kota, ia merasa diacuhkan, tak dipedulikan lagi. Rasa rindu yang dipendam untuk bertemu dengan anak dan cucu seperti berbuah luka. Perlakuan anaknya ini seperti tak menghargai ibunya lagi. “Udah sih Bu, ngapain jauh-jauh datang, kan capek, mendingan ibu di rumah saja,” begitu katanya. Pikir si ibu, enak sekali anaknya ini berkata. Jauh-jauh perjalanan di tempuh namun balasannya seperti ini. Begitu pula ketika ada tamu datang, si ibu tak boleh menampakkan diri di depan tamu yang adalah teman-teman anaknya. MasyaAllah, mengapa harus malu untuk mengakui ibunya sendiri. Sedih sangat hati si ibu. Tak pernah disangka anaknya akan tega memperlakukannya seperti itu. Tidakkah dia menyadari bahwa kesuksesannya sekarang adalah berkat doa-doa yang dilantunkan sang ibu. Tidakkah dia menyadari kalau dia bisa tumbuh seperti sekarang adalah berkat pengorbanan ibu?

Astaghfirullaah… Si ibu hanya bisa mendoakan kebaikan bagi anaknya, semoga anak perempuan yang dicintainya akan sadar kembali akan kekhilafannya..

Memilih Jalan 'Overload'



Bocah lelaki itu duduk termenung di bangku bambu depan rumahnya, sendirian. Entah apa yang dipikirkan. Beberapa hari ini dia sedang menjalani ujian akhir sekolah dasar. Lusa, setelah ujian berakhir, dia akan diantar ayah ibunya ke luar kota. Mengikuti kelas persiapan dan penyesuaian belajar di pondok. Sekali lagi, entah apa yang dipikirkan bocah itu.

Saya, yang bukan ibunya, merasa terenyuh sekaligus haru melihatnya. Beberapa hari lagi, dia akan meninggalkan kehidupannya saat ini, untuk beberapa tahun ke depan. Saya membayangkan bagaimana perasaan ibunya saat ini. Pasti tak tega, pasti. Namun kepastian itu ditambah lagi dengan tekad yang bulat. Saat ini pun, ribuan anak seantero negeri juga sedang mengalami hal ini. Siap-siap berpisah dengan orang tua mereka. Menjalani kehidupan baru, yang buat sebagian orang begitu berat dan serba tidak enak. Namun meski serba berat dan tidak enak, toh yang ingin belajar di pondok ini tiap tahun semakin banyak. Tak heran, apabila seorang alumni pondok menyebut suasana pondok sekarang sudah seperti pasar, riuh, di sana sini santri. Itu akibat jumlah santri yang kini menurutnya overload, kelebihan kapasitas. Jumlah santri yang diterima tiap tahun semakin bertambah. Dan setahu saya, yang diterima bukan yang pintar, tapi yang mau pintar. Artinya yang benar-benar ingin menimba ilmu. Jika kemudian makin hari jumlah santri makin banyak, berarti yang ingin belajar pun semakin banyak. Maka jumlah overload sudah menjadi amanah tersendiri, baik bagi Kiai, ustadz dan santri.

Mainan dan Mengaji



Kira-kira beberapa pekan yang lalu, saya, Idris dan Ilyas pergi ke toko buku di sebuah mall. Usai itu, kami berniat membeli makanan sebentar. Namanya mall, untuk menuruni tangga ekskalator kami harus berputar dulu. Dan di sepanjang jalanan, toko mainan bertebaran. Dari yang kecil sampai yang besar. Dulu biasanya saya mencari jalanan yang terbebas dari pemandangan toko-toko mainan. Bukan apa, karena anak-anak selalu meminta untuk mampir dan melihat-lihat mainan. Ujung-ujungnya tahu sendiri. Minta mainan! Betul.. Mereka tak merengek-rengek sebenarnya. Tapi kami tak bisa mengontrol sebenarnya yang sedang mereka inginkan itu yang mana? Prioritasnya sebenarnya yang seperti apa? Dan kapan mainan itu harus dipenuhi. Kalau hanya dijanjikan nanti-nanti, saya khawatir mereka mengira Bapak Ibunya hanya pandai berjanji, tanpa ditepati.

Candi Jabung



Entah kenapa setelah 25 tahun lebih, saya akhirnya kembali lagi ke tempat ini. Dalam ingatan saya yang ketika itu masih bocah, tempat ini biasa saja. Seperti halnya tempat-tempat wisata pada umumnya. Datang, main-main, makan. Itu saja. Namun kini berbeda. Sebuah candi, yang merupakan peninggalan sejarah masa lampau, tentu menyimpan cerita tersendiri. Bagi saya tak hanya itu. Karena sekaligus mengingatkan pada masa kecil saya, masa lalu saya, sejarah saya.

Ketika mencari jalan masuk menuju kawasan candi, kami sempat kebingungan. Bukan saja papan penunjuk arah yang tak terbaca karena kecil, namun di kiri kanan jalan telah muncul beberapa rumah. Jalanan yang dulu terlihat lapang, kini terasa sempit. Padahal sebenarnya sama saja, bahkan kini jalannya lebih halus karena telah diaspal.

Senin, 20 Mei 2013

Warung Makan 'Den Bei'



Beberapa tahun terakhir, saat menengok orangtua di Jawa Timur, kami sekeluarga selalu menyempatkan mampir di warung makan ‘Den Bei’. Letaknya di tengah perjalanan, tepatnya di jalan raya Kembang Ringgit, Mojosari, Mojokerto. Karena terbiasa perjalanan dengan anak-anak, kami lebih menyukai perjalanan siang. Suasananya lebih ceria, badan lebih segar dan fit. Saat makan siang tiba, kami biasanya melewati daerah Mojosari. Berawal dari ketidaksengajaan, kami menemukan warung ‘nyempil’ di tengah sawah, kelihatan unik dengan gapura model Majapahit.