Bocah lelaki
itu duduk termenung di bangku bambu depan rumahnya, sendirian. Entah apa yang
dipikirkan. Beberapa hari ini dia sedang menjalani ujian akhir sekolah dasar.
Lusa, setelah ujian berakhir, dia akan diantar ayah ibunya ke luar kota.
Mengikuti kelas persiapan dan penyesuaian belajar di pondok. Sekali lagi, entah
apa yang dipikirkan bocah itu.
Saya, yang
bukan ibunya, merasa terenyuh sekaligus haru melihatnya. Beberapa hari lagi,
dia akan meninggalkan kehidupannya saat ini, untuk beberapa tahun ke depan.
Saya membayangkan bagaimana perasaan ibunya saat ini. Pasti tak tega, pasti.
Namun kepastian itu ditambah lagi dengan tekad yang bulat. Saat ini pun, ribuan
anak seantero negeri juga sedang mengalami hal ini. Siap-siap berpisah dengan
orang tua mereka. Menjalani kehidupan baru, yang buat sebagian orang begitu
berat dan serba tidak enak. Namun meski serba berat dan tidak enak, toh yang
ingin belajar di pondok ini tiap tahun semakin banyak. Tak heran, apabila
seorang alumni pondok menyebut suasana pondok sekarang sudah seperti pasar,
riuh, di sana sini santri. Itu akibat jumlah santri yang kini menurutnya
overload, kelebihan kapasitas. Jumlah santri yang diterima tiap tahun semakin
bertambah. Dan setahu saya, yang diterima bukan yang pintar, tapi yang mau
pintar. Artinya yang benar-benar ingin menimba ilmu. Jika kemudian makin hari
jumlah santri makin banyak, berarti yang ingin belajar pun semakin banyak. Maka
jumlah overload sudah menjadi amanah tersendiri, baik bagi Kiai, ustadz dan
santri.