Saya bukan penggemar bakso. Namun dulu ketika kelas tiga
SMA, saya punya langganan bakso. Bakso ini, konon katanya masih kalah dahsyat
dari pada bakso terenak di kota kami. Tapi tentu saya punya alasan tersendiri
untuk selalu menunggu bakso kesayangan ini.
Masa kelas tiga SMA itu rasanya campur aduk bagi saya. Masa-masa
menghadapi ujian, masa serius, masa yang dipenuhi penasaran akan dibawa kemana
langkah kaki saya nanti. Luluskah saya? Berapa kira-kira NEMnya? Diterimakah
saya di PT Negeri? Bisakah saya mendapat beasiswa? Dsb pokoknya campur aduk.
Dampak dari perasaan tak menentu itu salah satunya membuat nafsu makan saya
menurun. Sarapan tak selera, makan siang pun hanya sebatas menggugurkan
kewajiban, apalagi makan malam. Akhirnya demi Ibu, saya selalu memakan telur
yang selalu beliau rebuskan tiap pagi. Malamnya, jika tak mau makan, saya
dibolehkan menunggu si tukang bakso. Pak Min namanya.
Pak Min ini, datangnya memang pas sekali. Ketika saya sudah
bosan menghadapi soal-soal latihan, PR dan semacamnya. Angin malam yang dingin dari
sawah di belakang rumah, ditambah suasana perumahan yang sepi, ditambah mata
yang sudah penat. “Tik tok tik tok..” Ini dia yang membuat nafsu makan saya
bangkit lagi. Beberapa potong tahu dan bakso dalam mangkok yang kecil itu
harganya hanya Rp 200 saja, telah membuat semangat hidup saya kembali
menggelora..