Suasana ruang rapat sangat serius
karena ada beberapa proyek yang hampir mendekati batas waktunya. Aku tengah
bicara saat ponselku bergetar tanpa suara. Kulirik nomornya, dari Fatir anakku.
Bila tak penting tak akan anak itu menelponku.
“Maaf sebentar ya Bapak-bapak,” izinku
seraya menjauh keluar ruangan.
“Halo.. Assalamualaikum, “ salamku
sedikit khawatir.
“Waalaikumsalam, Ayah ini Fatir.”
“Ya Fatir ada apa Nak? Fatir sehat
kan? Kok suaranya lemes.”
“Justru itu Yah, Fatir sakit lagi
jarbannya kambuh, sudah tiga hari Fatir nggak bisa apa- apa. Ayah kemari ya,
segera ya Ayah!”
“Kambuh lagi, kok bisa? Fatir
harusnya jaga kebersihan.”
“Iya Yah tapi Ayah segera kesini ya.
Udahan Yah uang Fatir mepet dan yang mau
telepon banyak. Assalamualaikum.“ Suara Fatir terputus ditelan nada tut, tut…
Begitulah Fatir, selalu buru-buru kalau menelepon. Dia harus mengantre untuk
menelepon di wartel pondok pesantrennya.