Suasana ruang rapat sangat serius
karena ada beberapa proyek yang hampir mendekati batas waktunya. Aku tengah
bicara saat ponselku bergetar tanpa suara. Kulirik nomornya, dari Fatir anakku.
Bila tak penting tak akan anak itu menelponku.
“Maaf sebentar ya Bapak-bapak,” izinku
seraya menjauh keluar ruangan.
“Halo.. Assalamualaikum, “ salamku
sedikit khawatir.
“Waalaikumsalam, Ayah ini Fatir.”
“Ya Fatir ada apa Nak? Fatir sehat
kan? Kok suaranya lemes.”
“Justru itu Yah, Fatir sakit lagi
jarbannya kambuh, sudah tiga hari Fatir nggak bisa apa- apa. Ayah kemari ya,
segera ya Ayah!”
“Kambuh lagi, kok bisa? Fatir
harusnya jaga kebersihan.”
“Iya Yah tapi Ayah segera kesini ya.
Udahan Yah uang Fatir mepet dan yang mau
telepon banyak. Assalamualaikum.“ Suara Fatir terputus ditelan nada tut, tut…
Begitulah Fatir, selalu buru-buru kalau menelepon. Dia harus mengantre untuk
menelepon di wartel pondok pesantrennya.
Fatir anakku semata wayang, selepas
SD dia memilih belajar ke pondok pesantren jauh di pelosok Jawa Timur, terpisah
jauh dari kami di Bandar Lampung. Ini
tahun keduanya ia disana, namun sudah keempat kalinya terkena penyakit yang
sama. Terbayang olehku Fatir terbaring
lemah di kamar dengan beberapa bagian tubuh dipenuhi jarban yang bernanah.
Istilah jarban hanya dikenal di
kalangan pesantren. Asal katanya dari bahasa Arab yang artinya kudis. Bisa juga
berasal dari kata jarroba yang
artinya cobaan. Dalam istilah medis, jarban adalah scabies, sejenis penyakit infeksi pada kulit yang menimbulkan rasa
gatal dan panas, bahkan sampai bernanah. Biasanya karena kurangnya sanitasi,
ruangan yang lembab dan sebagainya. Parahnya, scabies termasuk penyakit
menular.
Aku langsung mengabari istriku perihal kondisi
Fatir dan memintanya mempersiapkan keberangkatan kami ke Jawa Timur. Beberapa
rekan kerja yang mengetahui kondisi anakku meyarankanku untuk memindahkan fatir
ke sekolah lain yang bagus dan lebih nyaman dan yang penting lebih dekat,
misalnya Jakarta.
Setelah merampungkan beberapa tugas
penting, aku mengurus izin cuti beberapa hari. Dengan berat hati atasanku, Pak
Wijaya, memberi izin. Dia juga memberiku saran untuk memindahkan sekolah
anakku. Menjelang sore aku hanya memikirkan panjangnya perjalanan yang harus
kutempuh untuk bertemu Fatir, Bandar Lampung-Jakarta- Surabaya-Banyuwangi.
Sesampai di rumah kulihat koper-koper
telah dipersiapkan istriku untuk dibawa nanti malam.
“Tiketnya sudah dapat Yah?” tanyanya
langsung.
“Sudah dapat dua tiket Jakarta-Surabaya,”
jawabku. Untuk ke Banyuwangi kami harus ke Jakarta dulu menyeberangi Selat
Sunda. Baru dari Jakarta kami naik pesawat ke Surabaya dan lanjut ke Banyuwangi
naik mobil.
“Fatir kok ya ada-ada saja. Apa
enggak jaga kebersihan anak ini?” istriku terduduk sambil menerawang.
“Ma, bagaimana kalau sekolahnya
dipindahkan saja? Di sana sakit-sakitan terus, apalagi jauh sekali dari sini…”
“Mama juga berpikir begitu. Tapi
kalau lihat tekad dan semangatnya itu lo Yah, gak tega rasanya menyuruh dia
pindah sekolah,” jawab istriku. “Terus Ayah perhatiin enggak, selama dia mondok
banyak sekali kemajuannya. Lebih disiplin, tidak manja lagi, dan lembut banget
kalau bicara sama kita,” sambungnya.
“Iya, tapi itu semua juga bisa didapat di
sekolah lain. Banyak sekolah asrama yang
bagus dan lebih dekat. Teman-teman kantor juga bilang begitu.”
“Kok kata teman-teman. Fatir kan anak
kita. Sudahlah yang penting Fatir segera sehat dulu. Soal kepindahan, nanti
saja kita pikirkan matang-matang” saran istriku. Aku hanya terdiam.
oooOOOooo
Selepas Isya kami berangkat menuju
Jakarta melalui pelabuhan Bakauheni-Merak. Mobil yang dikendarai Pak Rofii,
sopir kami, memasuki lambung kapal feri. Lantas kami menuju ruang penumpang.
“Pak Rofii istirahat dulu saja karena nanti
masih harus nyetir lagi.” Kataku pada
sopir yang telah bekerja padaku bertahun-tahun ini. Dia pun mengiyakan dan
berlalu mencari tempat istirahat yang nyaman.
Kulihat ruang penumpang tidak terlalu
penuh. Sebagian besar penumpang terkantuk- kantuk dibuai ombak.
“Ma, Ayah keluar cari angin dulu ya,
“ kataku meminta izin istriku.
Aku berjalan keluar dari ruang
penumpang. Sambil memandangi luasnya laut yang terbentang, pikiranku menerawang
kemana-mana. Tiba tiba aku dikejutkan seseorang
yang tiba-tiba berdiri di sampingku.
“Mau kemana Pak?” tanyanya memecah
keheningan. Kupandangi ia sekilas. Pria yang tampak bersih dan rapi ini lebih
tua daripadaku
“Jakarta Pak terus ke Surabaya.”
“Walah, jauhnya mau jalan-jalan apa
sedang dinas?” Dia bertanya lagi.
Biasanya aku malas melayani obrolan
dengan orang asing. Namun entah kenapa, aku merasa mudah bicara. Mungkin karena
aku sedang butuh teman bertukar pikiran.
“Mau menenggok anak sedang sakit di
Banyuwangi, sedang mondok di Ponpes Darul ‘Ilmi.”
“Sakit jarban ya?”
“Kok Bapak bisa tahu?” Aku agak
terkejut.
“He he he itu kan penyakit yang sudah
jamak di Pondok,” katanya terkekeh.
“Sebenarnya dari awal saya sudah
keberatan anak saya satu-satunya itu mondok, apalagi jauh. Berat rasanya..” lanjutku.
Lalu mengalirlah ceritaku tentang
kekerasan hati anakku yang didukung oleh ibunya untuk tetap mondok. Semakin
berat hatiku melihat fasilitas ruang tidur, kamar mandi dan makanan yang
sederhana. Amat berbeda dengan keadaan di rumah. Apalagi istirahatnya yang cuma
sebentar karena padatnya kegiatan di sana.
“Sekarang tekad saya sudah bulat Pak, saya akan
pindahkan anak saya ke sekolah lain. Jauh-jauh hanya kecemasan yang saya
rasakan.”
“Maksudnya dijemput paksa? Apa enggak sayang? Harusnya Bapak bersyukur
anaknya mau sekolah di pondok. Banyak lho, orang tua yang ingin anaknya belajar
di pondok, sampai dipaksa segala. Tekad anak Bapak itu hidayah dari Allah
jangan disia-siakan.“ Lelaki itu terdiam sejenak, sepertinya ada yang ingin
diceritakannya. Aku menunggunya..
“Anak saya 4 orang. Si bungsu anak
laki-laki satu-satunya. Dia berkeras mondok, samaseperti anak Bapak. Di sana
dia kena jarban berkali-kali. Saya bujuk untuk pulang sama sekali tidak mau.
Sampai suatu saat dia sakit lagi, saya memaksanya pulang. Pihak pondok hanya
bisa memaklumi. Saya merasa lega waktu itu.” Kali ini lelaki itu diam agak
lama. Aku jadi penasaran.
“Kami hampir saja sampai di rumah,
ketika kecelakaan itu terjadi. Truk sawit yang pecah ban menghantam mobil kami.
Hanya saya yang selamat, anak istri dan sopir kami meninggal di tempat. Ketika
itu saya benar-benar syok dan stress. Hampir dua tahun saya merasa gila.
Anak-anak perempuan saya merawat saya dengan sabar. Alhamdulillah hidayah Allah
membangkitkan iman dan kesadaran saya.” Suara lelaki itu tersendat seolah
menahan tangis. Sesaat ia meredakan gejolak hatinya, sebelum akhirnya
melanjutkan ucapannya.
“Sebenarnya yang dibutuhkan anak kita
adalah doa dan keikhlasan kita. Sakit sehat hidup mati semua di tangan Allah. Sejauh
apapun kita berusaha semua akan kembali kepadaNya.” Ujarnya.
“Satu lagi hikmah dari peristiwa itu.
Saya pikir jarban itu bukan sekedar sakit kulit biasa karena sanitasi pondok
yang tidak layak. Menurut saya hakikat jarban adalah dibuangnya hal-hal haram
atau kurang halal atau harta yang bukan menjadi hak kita dari tubuh anak kita
yang terlanjur kita berikan. Lewat jarban semua itu keluar bersama darah
ataupun nanah. Sekali lagi ini hanya pendapat saya, boleh jadi Bapak tidak
setuju,“ urainya.
Aku hanya mematung, mencoba mencerna
apa yang dikatakan lelaki itu. Mataku memandang lautan di gelap malam, hingga
tanpa kusadari lelaki itu telah beringsut pergi. Kisah pilunya terasa
menohokku, pun pendapatnya tentang jarban. Aku, orang tua Fatir, agaknya yang
harus terus berdoa memperbarui keikhlasan dan sikapku agar anakku tenang dalam
menuntut ilmu. Bimbing aku ya Allah..
by: SAKAYASA
cerpen ini dimuat di UMMI edisi April 2014
Awal 1434 Hijriah, 12
tahun salah satu anugerah terindah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar