Kamis, 01 Mei 2014

JARBAN



Suasana ruang rapat sangat serius karena ada beberapa proyek yang hampir mendekati batas waktunya. Aku tengah bicara saat ponselku bergetar tanpa suara. Kulirik nomornya, dari Fatir anakku. Bila tak penting tak akan anak itu menelponku.


“Maaf sebentar ya Bapak-bapak,” izinku seraya menjauh keluar ruangan.
“Halo.. Assalamualaikum, “ salamku sedikit khawatir.
“Waalaikumsalam, Ayah ini Fatir.”
“Ya Fatir ada apa Nak? Fatir sehat kan? Kok suaranya lemes.”
“Justru itu Yah, Fatir sakit lagi jarbannya kambuh, sudah tiga hari Fatir nggak bisa apa- apa. Ayah kemari ya, segera ya Ayah!”
“Kambuh lagi, kok bisa? Fatir harusnya jaga kebersihan.”
“Iya Yah tapi Ayah segera kesini ya. Udahan Yah uang Fatir mepet dan  yang mau telepon banyak. Assalamualaikum.“ Suara Fatir terputus ditelan nada tut, tut… Begitulah Fatir, selalu buru-buru kalau menelepon. Dia harus mengantre untuk menelepon di wartel pondok pesantrennya.

Fatir anakku semata wayang, selepas SD dia memilih belajar ke pondok pesantren jauh di pelosok Jawa Timur, terpisah jauh dari kami di Bandar Lampung.  Ini tahun keduanya ia disana, namun sudah keempat kalinya terkena penyakit yang sama.  Terbayang olehku Fatir terbaring lemah di kamar dengan beberapa bagian tubuh dipenuhi jarban yang bernanah.

Istilah jarban hanya dikenal di kalangan pesantren. Asal katanya dari bahasa Arab yang artinya kudis. Bisa juga berasal dari kata jarroba yang artinya cobaan. Dalam istilah medis, jarban adalah scabies, sejenis penyakit infeksi pada kulit yang menimbulkan rasa gatal dan panas, bahkan sampai bernanah. Biasanya karena kurangnya sanitasi, ruangan yang lembab dan sebagainya. Parahnya, scabies termasuk penyakit menular.

 Aku langsung mengabari istriku perihal kondisi Fatir dan memintanya mempersiapkan keberangkatan kami ke Jawa Timur. Beberapa rekan kerja yang mengetahui kondisi anakku meyarankanku untuk memindahkan fatir ke sekolah lain yang bagus dan lebih nyaman dan yang penting lebih dekat, misalnya Jakarta.

Setelah merampungkan beberapa tugas penting, aku mengurus izin cuti beberapa hari. Dengan berat hati atasanku, Pak Wijaya, memberi izin. Dia juga memberiku saran untuk memindahkan sekolah anakku. Menjelang sore aku hanya memikirkan panjangnya perjalanan yang harus kutempuh untuk bertemu Fatir, Bandar Lampung-Jakarta- Surabaya-Banyuwangi.

Sesampai di rumah kulihat koper-koper telah dipersiapkan istriku untuk dibawa nanti malam.
“Tiketnya sudah dapat Yah?” tanyanya langsung. 

“Sudah dapat dua tiket Jakarta-Surabaya,” jawabku. Untuk ke Banyuwangi kami harus ke Jakarta dulu menyeberangi Selat Sunda. Baru dari Jakarta kami naik pesawat ke Surabaya dan lanjut ke Banyuwangi naik mobil.
“Fatir kok ya ada-ada saja. Apa enggak jaga kebersihan anak ini?” istriku terduduk sambil menerawang.
“Ma, bagaimana kalau sekolahnya dipindahkan saja? Di sana sakit-sakitan terus, apalagi jauh sekali dari sini…”

“Mama juga berpikir begitu. Tapi kalau lihat tekad dan semangatnya itu lo Yah, gak tega rasanya menyuruh dia pindah sekolah,” jawab istriku. “Terus Ayah perhatiin enggak, selama dia mondok banyak sekali kemajuannya. Lebih disiplin, tidak manja lagi, dan lembut banget kalau bicara sama kita,” sambungnya.

 “Iya, tapi itu semua juga bisa didapat di sekolah lain.  Banyak sekolah asrama yang bagus dan lebih dekat. Teman-teman kantor juga bilang begitu.”

“Kok kata teman-teman. Fatir kan anak kita. Sudahlah yang penting Fatir segera sehat dulu. Soal kepindahan, nanti saja kita pikirkan matang-matang” saran istriku. Aku hanya terdiam.

oooOOOooo

Selepas Isya kami berangkat menuju Jakarta melalui pelabuhan Bakauheni-Merak. Mobil yang dikendarai Pak Rofii, sopir kami, memasuki lambung kapal feri. Lantas kami menuju ruang penumpang.

 “Pak Rofii istirahat dulu saja karena nanti masih harus nyetir  lagi.” Kataku pada sopir yang telah bekerja padaku bertahun-tahun ini. Dia pun mengiyakan dan berlalu mencari tempat istirahat yang nyaman.

Kulihat ruang penumpang tidak terlalu penuh. Sebagian besar penumpang terkantuk- kantuk dibuai ombak.
“Ma, Ayah keluar cari angin dulu ya, “ kataku meminta izin istriku.

Aku berjalan keluar dari ruang penumpang. Sambil memandangi luasnya laut yang terbentang, pikiranku menerawang kemana-mana. Tiba tiba aku dikejutkan seseorang  yang tiba-tiba berdiri di sampingku.

“Mau kemana Pak?” tanyanya memecah keheningan. Kupandangi ia sekilas. Pria yang tampak bersih dan rapi ini lebih tua daripadaku

“Jakarta Pak terus ke Surabaya.”
“Walah, jauhnya mau jalan-jalan apa sedang dinas?” Dia bertanya lagi.

Biasanya aku malas melayani obrolan dengan orang asing. Namun entah kenapa, aku merasa mudah bicara. Mungkin karena aku  sedang butuh teman bertukar pikiran.

“Mau menenggok anak sedang sakit di Banyuwangi, sedang mondok di Ponpes Darul ‘Ilmi.”
“Sakit jarban ya?”
“Kok Bapak bisa tahu?” Aku agak terkejut.
“He he he itu kan penyakit yang sudah jamak di Pondok,” katanya terkekeh.

“Sebenarnya dari awal saya sudah keberatan anak saya satu-satunya itu mondok, apalagi jauh.  Berat rasanya..” lanjutku.

Lalu mengalirlah ceritaku tentang kekerasan hati anakku yang didukung oleh ibunya untuk tetap mondok. Semakin berat hatiku melihat fasilitas ruang tidur, kamar mandi dan makanan yang sederhana. Amat berbeda dengan keadaan di rumah. Apalagi istirahatnya yang cuma sebentar karena padatnya kegiatan di sana.

 “Sekarang tekad saya sudah bulat Pak, saya akan pindahkan anak saya ke sekolah lain. Jauh-jauh hanya kecemasan yang saya rasakan.” 

“Maksudnya dijemput paksa?  Apa enggak sayang? Harusnya Bapak bersyukur anaknya mau sekolah di pondok. Banyak lho, orang tua yang ingin anaknya belajar di pondok, sampai dipaksa segala. Tekad anak Bapak itu hidayah dari Allah jangan disia-siakan.“ Lelaki itu terdiam sejenak, sepertinya ada yang ingin diceritakannya. Aku menunggunya..

“Anak saya 4 orang. Si bungsu anak laki-laki satu-satunya. Dia berkeras mondok, samaseperti anak Bapak. Di sana dia kena jarban berkali-kali. Saya bujuk untuk pulang sama sekali tidak mau. Sampai suatu saat dia sakit lagi, saya memaksanya pulang. Pihak pondok hanya bisa memaklumi. Saya merasa lega waktu itu.” Kali ini lelaki itu diam agak lama. Aku jadi penasaran. 

“Kami hampir saja sampai di rumah, ketika kecelakaan itu terjadi. Truk sawit yang pecah ban menghantam mobil kami. Hanya saya yang selamat, anak istri dan sopir kami meninggal di tempat. Ketika itu saya benar-benar syok dan stress. Hampir dua tahun saya merasa gila. Anak-anak perempuan saya merawat saya dengan sabar. Alhamdulillah hidayah Allah membangkitkan iman dan kesadaran saya.” Suara lelaki itu tersendat seolah menahan tangis. Sesaat ia meredakan gejolak hatinya, sebelum akhirnya melanjutkan ucapannya.

“Sebenarnya yang dibutuhkan anak kita adalah doa dan keikhlasan kita. Sakit sehat hidup mati semua di tangan Allah. Sejauh apapun kita berusaha semua akan kembali kepadaNya.” Ujarnya.

“Satu lagi hikmah dari peristiwa itu. Saya pikir jarban itu bukan sekedar sakit kulit biasa karena sanitasi pondok yang tidak layak. Menurut saya hakikat jarban adalah dibuangnya hal-hal haram atau kurang halal atau harta yang bukan menjadi hak kita dari tubuh anak kita yang terlanjur kita berikan. Lewat jarban semua itu keluar bersama darah ataupun nanah. Sekali lagi ini hanya pendapat saya, boleh jadi Bapak tidak setuju,“ urainya. 

Aku hanya mematung, mencoba mencerna apa yang dikatakan lelaki itu. Mataku memandang lautan di gelap malam, hingga tanpa kusadari lelaki itu telah beringsut pergi. Kisah pilunya terasa menohokku, pun pendapatnya tentang jarban. Aku, orang tua Fatir, agaknya yang harus terus berdoa memperbarui keikhlasan dan sikapku agar anakku tenang dalam menuntut ilmu. Bimbing aku ya Allah..

by: SAKAYASA

cerpen ini dimuat di UMMI edisi April 2014
 

Awal 1434 Hijriah, 12 tahun salah satu anugerah terindah..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar