Bergizi. Itulah kesan pertama usai saya membaca buku ini. Hingga saya membuat beberapa 'garis bawah' pada beberapa bagian
yang saya tangkap begitu dalam maknanya. Betapa
masih banyak kekurangan dari saya dalam mendampingi anak-anak. Betapa
kehadiran, sentuhan dan kebersamaan dengan anak-anak yang kelak akan menghadirkan
segenggam iman di rumah kita, masih harus selalu kami upayakan.
Ringkasan berikut saya buat, karena saya anggap begitu ingin
saya memperbaiki banyak hal dalam kebersamaan yang begitu berharga untuk
anak-anak. Semoga, sedikitpun saya dijauhkan dari sifat buruk selain hanya mencari Ridha Allah
Ta’ala.
1.
Tugas utama orang tua adalah mengantarkan anak
menjadi manusia yang mengerti tujuan hidupnya, untuk apa ia diciptakan. Kita
bekerja keras agar bisa memberi pendidikan terbaik; bukan dengan memasukkan
mereka ke sekolah unggulan yang kita inginkan, tetapi memasukkan landasan hidup
yang begitu penting ke dalam jiwa mereka sehingga kemana pun mereka pergi, ridha Allah juga
yang mereka cari.
2.
Sungguh, tugas orang tua dan guru bukanlah mempersiapkan
anak-anak memiliki prestasi akademik yang menakjubkan. Tugas mereka adalah
membimbing anak-anak agar mencintai ilmu, sehingga dengan kecintaan yang besar
itu mereka akan bersemangat dalam belajar.
3.
Cintai anakmu untuk selamanya! Bukan hanya untuk
hidupnya di dunia. Cintai mereka sepenuh hati untuk suatu masa ketika tak ada
sedikitpun pertolongan yang kita harap kecuali pertolongan Allah Ta’ala. Cintai
mereka dengan pengharapan agar tak sekadar bersama saat dunia, lebih dari itu
dapat berkumpul di surga. Cintai mereka seraya berusaha mengantarkan mereka
meraih kejayaan, bukan hanya untuk kariernya di dunia yang sesaat. Lebih dari
itu untuk kejayaannya di masa yang jauh lebih panjang. Masa yang tak bertepi.
4.
Hari ini, banyak orang tua yang bersibuk-sibuk
menjadikan anaknya tampak hebat, tetapi lupa membangun pilar kehebatan itu
sendiri.
5.
Pengetahuan tentang bakat anak, hampir tak ada
manfaatnya, karena ia tak banyak berperan mengantarkan anak menjadi
manusia-manusia brilian. Sebaliknya, kita mendapati orang-orang sukses lahir
dari ibu-ibu lugu, yang memiliki ketulusan, penerimaan tanpa syarat, cita-cita
besar dan kesediaan berpayah-payah mendampingi anaknya. Mereka yang secara
tulus dan ridha atas apa yang dikaruniakan kepada mereka melalui anak-anaknya. Mereka
tak letih memberi usapan sayang dan sentuhan penuh perhatian dari buah hatinya.
Mereka tak putus-putus mendoakan anaknya. Yang mereka bangun bukan percaya diri
anak, tetapi keyakinan yang kuat kepada Allah Azza wa jalla semenjak hari-hari
awal kehidupan anak.
6.
Perasaan positif terhadap belajar, adalah sikap
belajar yang perlu kita bangun terlebih dahulu, bukan prestasi akademik. Usia 7
tahun belum lancar membaca tidak masalah asalkan sudah memiliki sikap belajar
yang baik dan kokoh. Terampil membaca di usia 4 tahun karena ada motivasi yang
kuat dalam dirinya, adalah hal yang luar biasa. Tetapi terampil membaca di usia
yang sama semata karena dilatih oleh gurunya di TK ataupun orang tua di rumah,
adalah musibah besar yang keburukannya akan terlihat ketika usianya memasuki 10
atau 14 tahun.
7.
“Ajarkanlah
anakmu tata cara shalat ketika telah berusia tujuh tahun. Dan pukullah dia pada
saat berusia sepuluh tahun (apabila meninggalkannya) HR At Tirmidzi. Hadis ini menunjukkan dengan sangat jelas kepada
kita bahwa mendisiplinkan anak shalat dimulai pada usia tujuh tahun. Bukan usia
sebelumnya. Kita perlu memberikan
pendidikan iman, akhlak, dan ibadah sedini mungkin. Tetapi ada prinsip yang
perlu diperhatikan: berikanlah pendidikan
tepat pada waktunya. Sesungguhnya,
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi waSallam
dan sebaik-baik perkataan adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla, Al Qur’anulKarim.
8.
Cukuplah orang tua dikatakan menyengsarakan
hidup anak-anak apabila membiasakan mereka hidup mudah. Segala sesuatu yang
mereka perlukan telah tersedia dengan mudah, nyaris tanpa usaha berarti.
Padahal pengalaman berusaha dan menyelesaikan masalah akan meningkatkan
kapasitas pribadi seseorang, sehingga semakin banyak masalah yang ia
selesaikan, semakin tinggi nilai hidupnya.
Di antara orang-orang yang sukses, banyak
yang mengawali hidupnya dengan berbagai kesulitan. Sebagian mereka bahkan
pernah merasa tak sanggup menghadapinya, lalu berikrar agar anaknya tak
menjumpai kepahitan hidup yang serupa. Tetapi ia lupa bahwa kepahitan hidup
berbeda dengan tantangan. Alih-alih tidak ingin anaknya sengsara, justru
menghindarkan anaknya dari tantangan. Diam-diam menjadikan anaknya tak berdaya
dengan melimpahi mereka dengan fasilitas dan kemudahan. Padahal berlimpahnya
fasilitas tanpa tantangan, menjadikan anak lemah secara mental, rendah daya
juangnya, mudah frustasi karena tak terbiasa menghadapi kesulitan, dan tak
memiliki ketrampilan memadai dalam menghadapi persoalan hidup sehari-hari.
Mereka inilah yang rawan terkena affluenza.
Banyak sekali definisi dari affluenza ini, tetapi
ada beberapa persamaan dari definisi ini, yakni bahwa affluenza kondisi ketika
orang menakar keberhasilan dan kebahagiaan dari berapa banyak uang yang
dimiliki, berapa mewah barang yang dikonsumsi, berapa lengkap perangkat yang
dipunyai serta kemudahan yang bisa dibeli. Mereka dimanjakan uang karena orang
tua mereka sudah merdeka secara financial, tetapi hati mereka hampa dan
kebahagiaan sangat jauh dari kehidupan. Semakin mereka menganggap bisa membeli
kebahagiaan dengan uang, semakin kering hidup mereka. Apa yang sederhana buat
orang lain, bisa menjadi kesulitan besar bagi dirinya.
Perlunya memberi kesempatan pada anak untuk
menghadapi tantangan bukan berarti orang tua harus membiasakan anak hidup
sulit. Sangat berbeda mempersulit keadaan dengan menempa anak menghadapi
kesulitan.
Sungguh, membiasakan anak hidup mudah dapat
melemahkan mereka dalam keterampilan hidup, berpikir dan bersikap. Bahkan,
bukan tidak mungkin dapat menyebabkan mereka lemah iman, na’udzubillahi min
dzalik.
Masa kecil anak-anak itu tak lama. Sesudah berlalu masa ketika
ia selalu merindukanmu, ia akan kuat menapakkan kaki sendiri menyusuri dunia.
Pada saatnya kita akan tua, renta dan berpindah ke alam barzakh. Maka apa arti
masa kecil anak-anak itu bagimu?
“Karena tak ada lagi yang berguna sesudah kita tiada kecuali
tiga perkara; Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak Shalih yang
mendoakan.”
*) Segenggam Iman Anak Kita, Mohammad Fauzil Adhim, Pro-U Media, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar