Kamis, 31 Oktober 2013

Segenggam Iman Anak Kita *(Ringkasan)



Bergizi. Itulah kesan pertama usai saya membaca buku ini. Hingga saya membuat beberapa 'garis bawah' pada beberapa bagian yang saya tangkap begitu dalam maknanya.  Betapa masih banyak kekurangan dari saya dalam mendampingi anak-anak. Betapa kehadiran, sentuhan dan kebersamaan dengan anak-anak yang kelak akan menghadirkan segenggam iman di rumah kita, masih harus selalu kami upayakan.
Ringkasan berikut saya buat, karena saya anggap begitu ingin saya memperbaiki banyak hal dalam kebersamaan yang begitu berharga untuk anak-anak. Semoga, sedikitpun saya dijauhkan dari  sifat buruk selain hanya mencari Ridha Allah Ta’ala.


1.       Tugas utama orang tua adalah mengantarkan anak menjadi manusia yang mengerti tujuan hidupnya, untuk apa ia diciptakan. Kita bekerja keras agar bisa memberi pendidikan terbaik; bukan dengan memasukkan mereka ke sekolah unggulan yang kita inginkan, tetapi memasukkan landasan hidup yang begitu penting ke dalam jiwa mereka sehingga  kemana pun mereka pergi, ridha Allah juga yang mereka cari.
2.       Sungguh, tugas orang tua dan guru bukanlah mempersiapkan anak-anak memiliki prestasi akademik yang menakjubkan. Tugas mereka adalah membimbing anak-anak agar mencintai ilmu, sehingga dengan kecintaan yang besar itu mereka akan bersemangat dalam belajar.
3.       Cintai anakmu untuk selamanya! Bukan hanya untuk hidupnya di dunia. Cintai mereka sepenuh hati untuk suatu masa ketika tak ada sedikitpun pertolongan yang kita harap kecuali pertolongan Allah Ta’ala. Cintai mereka dengan pengharapan agar tak sekadar bersama saat dunia, lebih dari itu dapat berkumpul di surga. Cintai mereka seraya berusaha mengantarkan mereka meraih kejayaan, bukan hanya untuk kariernya di dunia yang sesaat. Lebih dari itu untuk kejayaannya di masa yang jauh lebih panjang. Masa yang tak bertepi.
4.       Hari ini, banyak orang tua yang bersibuk-sibuk menjadikan anaknya tampak hebat, tetapi lupa membangun pilar kehebatan itu sendiri.
5.       Pengetahuan tentang bakat anak, hampir tak ada manfaatnya, karena ia tak banyak berperan mengantarkan anak menjadi manusia-manusia brilian. Sebaliknya, kita mendapati orang-orang sukses lahir dari ibu-ibu lugu, yang memiliki ketulusan, penerimaan tanpa syarat, cita-cita besar dan kesediaan berpayah-payah mendampingi anaknya. Mereka yang secara tulus dan ridha atas apa yang dikaruniakan kepada mereka melalui anak-anaknya. Mereka tak letih memberi usapan sayang dan sentuhan penuh perhatian dari buah hatinya. Mereka tak putus-putus mendoakan anaknya. Yang mereka bangun bukan percaya diri anak, tetapi keyakinan yang kuat kepada Allah Azza wa jalla semenjak hari-hari awal kehidupan anak.
6.       Perasaan positif terhadap belajar, adalah sikap belajar yang perlu kita bangun terlebih dahulu, bukan prestasi akademik. Usia 7 tahun belum lancar membaca tidak masalah asalkan sudah memiliki sikap belajar yang baik dan kokoh. Terampil membaca di usia 4 tahun karena ada motivasi yang kuat dalam dirinya, adalah hal yang luar biasa. Tetapi terampil membaca di usia yang sama semata karena dilatih oleh gurunya di TK ataupun orang tua di rumah, adalah musibah besar yang keburukannya akan terlihat ketika usianya memasuki 10 atau 14 tahun.
7.       Ajarkanlah anakmu tata cara shalat ketika telah berusia tujuh tahun. Dan pukullah dia pada saat berusia sepuluh tahun (apabila meninggalkannya) HR At Tirmidzi.  Hadis ini menunjukkan dengan sangat jelas kepada kita bahwa mendisiplinkan anak shalat dimulai pada usia tujuh tahun. Bukan usia sebelumnya.  Kita perlu memberikan pendidikan iman, akhlak, dan ibadah sedini mungkin. Tetapi ada prinsip yang perlu diperhatikan: berikanlah pendidikan tepat pada waktunya.  Sesungguhnya, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi waSallam dan sebaik-baik perkataan adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla, Al Qur’anulKarim.
8.       Cukuplah orang tua dikatakan menyengsarakan hidup anak-anak apabila membiasakan mereka hidup mudah. Segala sesuatu yang mereka perlukan telah tersedia dengan mudah, nyaris tanpa usaha berarti. Padahal pengalaman berusaha dan menyelesaikan masalah akan meningkatkan kapasitas pribadi seseorang, sehingga semakin banyak masalah yang ia selesaikan, semakin tinggi nilai hidupnya.
Di antara orang-orang yang sukses, banyak yang mengawali hidupnya dengan berbagai kesulitan. Sebagian mereka bahkan pernah merasa tak sanggup menghadapinya, lalu berikrar agar anaknya tak menjumpai kepahitan hidup yang serupa. Tetapi ia lupa bahwa kepahitan hidup berbeda dengan tantangan. Alih-alih tidak ingin anaknya sengsara, justru menghindarkan anaknya dari tantangan. Diam-diam menjadikan anaknya tak berdaya dengan melimpahi mereka dengan fasilitas dan kemudahan. Padahal berlimpahnya fasilitas tanpa tantangan, menjadikan anak lemah secara mental, rendah daya juangnya, mudah frustasi karena tak terbiasa menghadapi kesulitan, dan tak memiliki ketrampilan memadai dalam menghadapi persoalan hidup sehari-hari. Mereka inilah yang rawan terkena affluenza.
Banyak sekali definisi dari affluenza ini, tetapi ada beberapa persamaan dari definisi ini, yakni bahwa affluenza kondisi ketika orang menakar keberhasilan dan kebahagiaan dari berapa banyak uang yang dimiliki, berapa mewah barang yang dikonsumsi, berapa lengkap perangkat yang dipunyai serta kemudahan yang bisa dibeli. Mereka dimanjakan uang karena orang tua mereka sudah merdeka secara financial, tetapi hati mereka hampa dan kebahagiaan sangat jauh dari kehidupan. Semakin mereka menganggap bisa membeli kebahagiaan dengan uang, semakin kering hidup mereka. Apa yang sederhana buat orang lain, bisa menjadi kesulitan besar bagi dirinya.
Perlunya memberi kesempatan pada anak untuk menghadapi tantangan bukan berarti orang tua harus membiasakan anak hidup sulit. Sangat berbeda mempersulit keadaan dengan menempa anak menghadapi kesulitan.
Sungguh, membiasakan anak hidup mudah dapat melemahkan mereka dalam keterampilan hidup, berpikir dan bersikap. Bahkan, bukan tidak mungkin dapat menyebabkan mereka lemah iman, na’udzubillahi min dzalik.

Masa kecil anak-anak itu tak lama. Sesudah berlalu masa ketika ia selalu merindukanmu, ia akan kuat menapakkan kaki sendiri menyusuri dunia. Pada saatnya kita akan tua, renta dan berpindah ke alam barzakh. Maka apa arti masa kecil anak-anak itu bagimu?
“Karena tak ada lagi yang berguna sesudah kita tiada kecuali tiga perkara; Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak Shalih yang mendoakan.”

*) Segenggam Iman Anak Kita, Mohammad Fauzil Adhim, Pro-U Media, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar