Suci baru saja membereskan mainan
anak-anak ketika mendengar deru motor Hari, suaminya. Dilihatnya jam di dinding,
hampir setengah sebelas. Jadwal kerja suaminya sebagai pekerja shift baru
selesai setengah jam yang lalu. Kedua anaknya sudah tidur. Perlahan dia membuka
gorden, mengintip keluar. Ternyata memang suaminya, masih memakai helm.
Dibukanya pintu, “Tumben cepet, Mas. Nggak macet?” sapanya sambil mencium
tangan suaminya.
“Iya, jalanan juga sepi. Mungkin habis
hujan, orang-orang pada males keluar.”
“Oh..” Suci menutup pintu pagar lalu
menguncinya.
“Anak-anak sudah tidur?”
“Sudah, dari jam setengah sepuluh tadi.
Lumayan habis itu bisa beres-beres dulu.” Keduanya masuk dan Suci menyiapkan
teh hangat. “Lauknya mau diangetin nggak?”
“Nggak usah, nasinya kan udah anget.”
Setelah mencuci tangan Hari menghampiri teh lalu menyeruputnya. Belum habis minum,
mata Hari tertuju pada bungkusan plastik di bawah meja TV.
“Siapa lagi yang jualan?” tanyanya pada
Suci penasaran.
“Bu Samsul, itu kaos anak dan motifnya
lucu-lucu. Sebenarnya aku pengen nolak tapi Dita dan Doni suka. Jadi aku
terpaksa ambil.” Suci menjelaskan dengan sedikit rasa bersalah.
“Kalo yang ditawari anak-anak ya pasti
suka. Mereka belum tahu apa-apa.” Wajah Hari sedikit masam. Suci tahu suaminya kecewa.
Meski penghasilan Hari sebagai karyawan swasta bisa dibilang cukup tapi
kebutuhan mereka semakin banyak. Apalagi setahun lagi Dita masuk SMP, biayanya
tidak sedikit. Mereka harus pandai-pandai menabung karena rumah yang mereka
tinggali juga masih mengontrak.
“Habis mau gimana lagi, Mas. Mau menolak
juga nggak tega. Lagipula cicilan seprai bulan ini sudah habis.” Suci berusaha
membela diri dengan halus, berharap tak menimbulkan amarah suaminya. Hari
memang pria penyabar. Tetapi sesabar-sabarnya orang tentu ada batasnya.
“Ya udah, lain kali kalo nggak
benar-benar penting nggak usah dibeli.” Hari menghela napas sambil menyendok
sayur makan malamnya.
Sebenarnya mereka kerasan mengontrak
rumah ini, selama hampir dua tahun. Tetangganya ramah-ramah dan baik. Hari dan
Suci juga terkenal baik dan ramah pada siapa saja, tak pandang status sosial
maupun ekonomi. Anak-anak mereka pun suka bergaul dengan anak tetangga. Rasa
tidak nyaman kemudian timbul ketika lama kelamaan mulai bermunculan tetangga
dekat maupun jauh yang sering datang menawari dagangan. Entah seprai, daster,
kaos, baju muslim, wadah makanan, sandal, sarung, kerudung, tas dan masih
banyak lagi. Kalau datangnya jarang-jarang masih dapat dimaklumi. Tetapi justru
dalam sebulan bisa 3 sampai 4 kali dagangan mampir ke rumah mereka, entah orang
yang sama atau berganti. Bagi mereka sama saja, tumpukan cicilan di akhir
bulan, saat Hari gajian. Beberapa kali Suci pernah menolak dengan halus dengan
alasan keuangan sedang mepet, atau sudah
punya barang seperti yang dimaksud. Tetapi para tetangga itu seperti tak pernah
gentar. Maka beberapa hari kemudian mereka akan datang sambil membawa barang
dagangan yang lain. Ujung-ujungnya diambil juga dagangan itu. Apalagi alasannya
kalo bukan nggak tega.
Kalau tidak ingat harga-harga kebutuhan
yang semakin melonjak, kebutuhan sekolah anak-anak yang bertambah namun tak
sejalan dengan kenaikan gaji suaminya, tentu Suci ingin membeli barang-barang
yang ditawarkan itu, setidaknya satu. Ia tahu mereka berjualan untuk menambah
penghasilan, membantu pendapatan keluarga. Tetapi apa daya kebutuhan mereka sendiri
juga banyak. Pada akhirnya Suci hanya bisa tarik ulur membeli barang dagangan.
Bulan ini tidak membeli, mungkin bulan depan saja. Atau kalau harganya tidak
seberapa dia akan membeli, tapi kalau harganya mahal dia harus pikir-pikir dulu
mencari alasan untuk menolak. Seandainya keputusan membeli itu tidak direm maka
akhir bulan nanti cicilan yang harus dibayar lumayan besar. Jujur ia kasihan
pada suaminya. Ahh.. Entah sampai kapan akan seperti ini.
ooOOoo
Jam di dinding menunjukkan pukul 10.30.
Anak-anak masih sekolah, rumah sudah bersih, baju sudah dicuci dan masakan
sudah matang
“Aku nggak tau harus bagaimana, kamu
bisa kasih saran aku Ren?” Suara Suci
resah. Di seberang telepon, Rena sahabatnya mendengar dengan setia.
“Hmm. Aku juga nggak tau kalo jadi kamu
harus gimana.”
“Makanya tolongin dong?”
“Ya udah gini aja, kamu harus tegas, nggak
usah dibeli kalo memang nggak cocok, nggak perlu atau nggak ada uang. Titik.”
“Aku sih maunya begitu. Tapi susah
sekali.”
“Apanya yang susah? Tinggal bilang, maaf
Bu. Kali ini nggak dulu, atau lagi banyak kebutuhan, atau apa kek?” gaya Rena
yang ceplas ceplos mulai nampak.
“Kalau aku tidak kenal baik dengan
mereka pasti cara itu sudah kupakai dari dulu.”
“Ya sudah terus mau kamu bagaimana?”
“Aku ingin pindah…” sahut Suci lirih.
“Lho bukankah kalian kerasan di sana?”
“Entahlah, kalau seperti ini aku jadi
tidak kerasan lagi, bagaimana menurutmu Ren?”
“Kau sudah bicara sama Hari?”
“Belum, tapi sebelumnya tolong cariin
rumah kontrakan baru, Ren. Siapa tahu dekat rumahmu ada. Sementara aku nanti mau bicara sama Mas
Hari.”
“Ya udah nanti aku coba cari ya.”
“Makasih ya Ren.” Suci menutup
pembicaraan, sedikit lega. Beban berat yang ada di pikirannya agak berkurang.
Entah berapa saat lamanya ia melamun membayangkan tinggal di rumah kontrakan
baru, ketika mendengar seseorang mengucap salam dari pintu pagar.
“Assalamualaikum.” Deg! Suci kaget, semua lamunan indahnya hilang dalam
sekejap. Suara itu seperti pernah dikenalnya. Dia mengintip lewat gorden,
“Waalaikumsalam.” Oh, Bu Eko tetangganya ujung jalan, orangnya baik dan anaknya
juga sering main dengan Doni, bungsunya. Dia menenteng dua bungkusan besar di
kanan dan kiri. Wah, jualan apalagi dia, pikir Suci. Sebelum membuka pintu ia
berdoa semoga tidak terbujuk untuk membeli. Perlahan dibukanya pintu. Senyum
sumringah tergambar dari wajah perempuan itu, ramah, penuh arti. “Silakan
masuk, Bu.” Suci mempersilakannya masuk. Belum lagi duduk Bu Eko sudah membuka
dagangannya.
“Neng Suci, ini lho ada tas bagus, merk
impor. Kualitas dijamin bagus, boleh dilihat deh. Modelnya juga lagi tren,
cocok buat Neng Suci yang masih muda. Warnanya juga macam-macam, sesuai selera.
Ayo dibuka aja.” Bu Eko memulai pembukaan dagangannya. Suci sebenarnya tak
terlalu menyimak pembicaraannya. Yang ada di pikirannya adalah bagaimana cara
menolak dengan halus. Itu saja.
“Harganya berapa, Bu?” Suci berbasa
basi.
“Kalau di pasaran sih 550 ribu. Sama Ibu
450 ribu aja, boleh dicicil 5 kali. Atau kalau bayar tunai Ibu kasih diskon
jadi 400 ribu. Semuanya sama Neng. Ayo dipilih lah.”
“Sepertinya nggak dulu ya, Bu.
Bulan-bulan ini saya banyak kebutuhan. Lagi pula tas begini cocoknya buat
kerja. Kalau saya kan di rumah aja.” Susah payah Suci memilih kata-kata.
“Aih, si Eneng, biar banyak kebutuhan
juga suami kan kerja, tiap bulan dapat gaji, nggak seperti saya ini. Lagian ini
nggak cuma cocok buat orang kerja. Sekarang banyak ibu-ibu yang lagi tren pakai
tas begini.” Sebenarnya agak luruh juga Suci mendengar Bu Eko. Suaminya terkena
PHK lima tahun lalu sebelum Suci pindah ke sini, dan masih menganggur sampai
sekarang.
“Iya sih Bu, bagus. Tapi terlalu mahal
buat saya, meskipun sudah dicicil.”
“Ya udah, Neng Suci maunya berapa kali?
7 kali? Boleh. Mau yang mana?” Tawaran Bu Eko semakin membuat Suci tidak tega. Tapi
kalau harus diambil, ia juga kasihan pada suaminya. Oh Tuhan, mengapa harus ada
pilihan seperti ini.
“Tas saya masih ada beberapa, Bu.” Ucap
Suci masih berusaha bertahan.
“Tapi ini model baru, Neng. Sayang lho
kalau nggak ambil. Nantinya nggak bakalan ada lagi di pasaran. Tadi Neng Atik
juga ambil, malah kemarin Bu Siska ambil 2, yang satu mau dikasih mertuanya.”
Suci bingung harus bagaimana lagi
menjawabnya. “Kalo dicicil 10 kali boleh, Bu?” tanyanya.
“Emm, ya deh boleh, tapi ini buat Neng
Suci aja ya, jangan bilang yang lainnya.”
Akhirnya Suci menyerah. Semoga ini yang
terakhir.
ooOOoo
Malam ini Suci menunggu Hari pulang
kerja seperti biasa. Di hadapannya buku catatan pengeluaran rutin yang harus
dibayar. Sambil mencatat dengan teliti, sesekali ia menghitung dengan
kalkulator. Ketika tombol ‘enter’ baru selesai ditekan, Suci terperanjat.
Serasa tak percaya ia menghitung lagi, kali ini ekstra hati-hati dan lebih
teliti. Namun betapapun ia telah teliti, layar kalkulator menunjukkan angka
yang sama. Suci lemas. Sebentar lagi suaminya pulang dan ia tak ingin
menyambutnya dengan hitungan angka-angka tadi. Cepat-cepat dibereskannya buku
catatan, kalkulator dan bolpoin.
Hari pulang agak telat, mungkin macet.
Selesai makan keduanya duduk di sofa, menyalakan televisi. “Mas, bagaimana
kalau kita pindah aja.” Suci membuka pembicaraan,, membuat Hari memalingkan wajahnya
dari layar televisi. “Aku nggak tahan seperti ini terus, setiap bulan ada saja
cicilan yang harus dibayar. Tadi siang terpaksa aku ambil tas yang ditawarkan
Bu Eko. Benar-benar terpaksa dan aku ingin itu yang terakhir. Sulit sekali
menolak dagangan seperti itu, andai Mas tahu. Dua bulan lagi kontrakan kita kan
sudah habis, aku nggak ingin diperpanjang.”
“Tapi kita mau cari di mana lagi? Di
sini enak, lumayan dekat tempat kerja. Sekolah anak-anak juga nggak terlalu
jauh.”
“Iya aku tahu, sebenarnya aku udah
cerita sama Rena tentang hal ini dan minta tolong dia untuk dicarikan kontrakan
dekat rumahnya. Di sana lumayan kan, meski tempat kerja Mas agak jauh tapi
sekolah Dita lebih dekat.”
“Iya deh, nanti aku coba tanya teman-temanku
siapa tahu ada info kontrakan.”
“Bulan ini cicilan kita 400 ribuan,
belum ditambah tas yang tadi siang. Apa nggak sayang, coba, untuk barang-barang
yang sebenarnya perlu nggak perlu.” Suci lega telah menyampaikan semua pada
suaminya.
ooOOoo
Akhirnya mereka sekeluarga pindah,
lokasinya cukup strategis meski agak jauh dari tempat kerja Hari. Sekolah Dita
lebih dekat dan yang jelas mereka terbebas dari ‘kejaran’ tetangga yang selalu
menawarkan dagangan. Anak-anak terlihat kerasan di lingkungan baru dan tidak
mengalami kesulitan beradaptasi. Suci lega karena cicilan mereka di tempat
tinggal lama juga sudah dilunasi meski harus menguras tabungan.
Sore itu Suci menemani bungsunya
belajar, ketika ada suara salam dibalik pintu pagar. “Assalamualaikum.” Ternyata Bu RT, sambil membawa surat-surat. Sepertinya undangan pertemuan warga.
Suci mempersilakan masuk.
“Maaf ya Jeng, sore-sore ganggu, ini
saya mau menyampaikan undangan pertemuan ibu-ibu RT. Jeng kan baru di sini
sekalian saya kasih tahu kegiatan RT sini apa saja.”
“Oya Bu, makasih udah mau nyempatin ke
sini.”
“Ah, nggak papa kok sekalian
silaturahmi. Sama ini, saya mau nawarin ini.” Bu RT mengeluarkan bungkusan
kecil dari tas sakunya, “Ini mutiara asli lho Jeng, kualitas ekspor, tapi
harganya jauh lebih murah daripada di mall, bisa dicicil lagi….”
Suci lemas, tak mendengarkan kata-kata
Bu RT lagi. Migrainnya tiba-tiba kambuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar