Selasa, 11 Desember 2012

Misteri Villa Putih



Bayi tujuh bulan itu kini tertidur lelap dalam gendongan Mbok Yah, pelayan setia keluarga Albert. Perempuan berusia hampir setengah abad itu sudah mengabdi di rumah ini bahkan sebelum  Peter lahir. Tak lama Mbok Yah meletakkan bayi itu di boks rotan, memasangkan selimut dan mengayunkannya sebentar. Dipandanginya bayi montok itu, meski tak seputih ayahnya namun tetap terlihat sehat dan bersih, siapapun akan gemas memandanginya. Bayi itu adalah Harry, anak keempat Albert dari pernikahannya dengan Dewi. Namun dia dapat disebut anak pertama, karena anak-anak yang lahir terdahulu telah meninggal. Semuanya nyaris berumur kurang dari dua tahun.


“Aku merasa was-was dan takut Mbok,” Dewi telah berada di kamar itu. Ia menutup pintu lalu duduk di kursi dekat jendela. Perempuan muda itu terlihat murung, wajah manisnya tak mampu menyembunyikan kekhawatiran itu. “Aku tidak ingin kehilangan anakku lagi. Hari ini Peter mungkin datang. Apakah aku harus mencari alasan untuk membawa Harry pulang sementara ke Bondowoso ya Mbok?”
“Jangan terlalu khawatir, Non. Menurutku itu terlalu berlebihan. Lagipula itu semua hanya omongan orang-orang, Non Dewi tak perlu mendengarkannya. Apa kata Tuan Albert kalau Non ikut berprasangka seperti itu?” Mbok Yah menghampiri Dewi, menenangkannya sambil memijiti pundaknya. Selama tinggal di rumah ini, hanya Mbok Yah tempatnya bercerita, menumpahkan isi hatinya.
“Tentu saja Albert tak akan berprasangka, karena Peter anak semata wayangnya, yang akan mewarisi semua harta kekayaannya.”
“Ssst, Non, hati-hati kalau ngomong, bagaimana kalau Tuan Albert dengar?”
 “Dia tak percaya Peter yang melakukannya, dan dia tidak mau ambil pusing dengan omongan orang-orang.” Jujur Dewi merasa sangat tertekan. Ketiga anaknya terdahulu meninggal secara tiba-tiba. Anak pertama meninggal saat terjatuh dari tangga lantai dua. Anak keduanya tenggelam di kolam air mancur, seorang pelayan menemukannya telah terapung tak bernyawa di pagi hari saat ia bermain di taman. Yang terakhir anak ketiganya meninggal dalam usia tak sampai seminggu setelah dilahirkan.
Kalau bukan karena desas desus yang berkembang di kemudian hari, tentu Dewi tak akan menaruh curiga pada anak tirinya, Peter. Beberapa karyawan di perkebunan mulai kasak kusuk bahwa penyebab kematian semua anak-anaknya terdahulu adalah Peter. Entah motif sakit hati karena ayahnya menikah lagi dengan Dewi atau cemburu pada adik-adiknya atau ia ingin menjadi pewaris satu-satunya keluarga Albert, atau mungkin ketiganya. Yang semakin memperkuat keyakinan orang-orang bahwa Peter yang melakukannya karena semua peristiwa itu terjadi saat ia libur dari kuliahnya. Namun tak satu pun dari mereka berani mengungkapkan kecurigaan itu, apalagi kalau bukan karena rasa hormat mereka pada Albert.
Teringat semua kejadian itu membuat Dewi berurai air mata, hatinya merasa sakit. “Sudahlah, Non. Nanti kalau dipikirkan terus Non Dewi bisa sakit.” Mbok Yah berusaha menenangkannya. Sebagai pelayan yang sudah tinggal puluhan tahun di rumah ini ia tahu persis bagaimana perubahan perangai Peter sesaat setelah kematian ibunya. Bahkan ketika ayahnya menikah dengan Dewi keadaan bukan menjadi lebih baik. Ia berubah menjadi remaja yang sangat penyendiri dan pendiam. Waktunya lebih banyak dihabiskan bersama buku-buku horor. Di kamarnya jumlah buku-buku itu kian hari semakin banyak. Kalaupun tidak berkutat dengan buku-buku, di malam hari Peter sering keluyuran sendirian di sekitar Pesanggrahan. “Iya, Mbok. Sekarang yang kupikirkan hanya Harry, bagaimana cara melindunginya. Aku tak ingin dia menjadi korban selanjutnya.”
Mbok Yah meninggalkan Dewi sendirian di kamar. Ia merasa kasihan pada majikan mudanya. Tapi tak banyak yang bisa dilakukannya, karena ia juga sangat menyayangi Peter.
ooOOoo
Sudah satu jam lebih minibus itu melaju, meninggalkan kota Probolinggo menuju dataran tinggi Bermi. Jalanan semakin menanjak dan udara dingin mulai menggigit, membuat Peter merapatkan jaketnya. Sekilas diliriknya jam di pergelangan tangan, hampir pukul 8. Kabut di luar jendela mulai menghilang, berganti hamparan pegunungan yang luas, biru kehijauan berlekuk-lekuk indah. Perlahan dibukanya jendela bus, hawa segar menyerbu masuk. Sampai kapan pun Peter akan selalu merindukan keindahan lereng Gunung Argopuro ini, tempat ia menghabiskan indahnya masa kecil.
Sebenarnya Peter ingin menghabiskan libur kuliahnya kali ini di Bogor saja, seperti semester lalu. Kalau bukan karena Papi dan kerinduannya pada Bermi ia sungguh enggan pulang. Apalagi beberapa tahun belakangan ini keadaan sudah berbeda. Pembicaraan  tentang dirinya seolah tak surut bahkan berkembang menjadi isu yang sadis.
Ayah Peter, Albert adalah keturunan Belanda yang terkenal sebagai pemilik Pesanggrahan dan pengelola pertanian di Bermi Selatan. Sebagian besar karyawannya adalah penduduk sekitar Bermi dan beberapa di antaranya sudah puluhan tahun tinggal bersama keluarga Albert. Sebagai anak tunggal, Peter adalah semata wayang baginya, apalagi sejak istrinya meninggal delapan tahun yang lalu. Meski kini Albert telah menikah lagi dengan Dewi, perempuan keturunan Jawa-Madura namun kebahagiaan yang dirasakannya tidak lagi seperti dulu.
Minibus itu mengakhiri pendakiannya di ujung jalan beraspal. Di situlah tempatnya rehat sejenak untuk kemudian kembali menuruni jalanan yang sama, menuju Probolinggo. Peter turun, berjalan menyusuri jalan berbatu. Tak banyak yang berubah di perbatasan desa ini. Bangunan-bangunan lawas bentuknya masih sama, kebanyakan model jaman Belanda. Jalannya juga tak banyak berubah. Aliran sungai di sebelah kiri jalan masih jernih, bergemiricik lembut. Peter berhenti sejenak, menghirup segarnya aroma pinus dan persemaian damar. Menyesap kembali kenangan masa lalunya saat ibunya masih ada. Ah, tempat ini menyimpan kenangan indah, sekaligus pahit. Kembali ia melangkah. Pesanggrahan ayahnya masih dua kilometer lagi.
ooOOoo
Hingga hari ketiga liburannya suasana masih terasa kaku, terutama Peter dan Dewi. Seperti biasa suasana makan malam kali ini sunyi. Mereka bertiga Albert, Dewi dan Peter makan sambil terdiam dalam pikiran masing-masing. Pembicaraan yang ada terasa hanya basa basi belaka.
Usai makan Albert dan Peter pindah mengobrol di taman samping. Pemandangan yang menghadap Barat Laut itu menampakkan kota Probolinggo dari lereng Argopuro. Terutama saat malam seperti ini jauh lebih indah dengan lampu berkedip-kedip. Keduanya duduk di bangku yang dikelilingi pohon ceremai. “Papi lihat kau sudah tampak lebih dewasa Peter, tentu saja karena kau sudah makin mandiri.” ujar Albert. Peter tahu arah pembicaraan ayahnya.
“Aku harap juga begitu Pap, dan aku ingin mengakhiri semuanya.”
 “Apa maksudmu?” Albert penasaran dengan apa yang dikatakan Peter.
“Ya, hanya Papi yang kumiliki sekarang. Aku hanya ingin kebahagiaan untuk semuanya, keluarga kita. Meski Mami sudah tak ada lagi di antara kita, kuharap Papi masih mempercayaiku. Besok aku harus kembali ke Bogor.”
“Cepat sekali Peter, padahal masih banyak yang ingin Papi obrolkan bersamamu. Tapi okelah, lain kali masih banyak waktu.”
“Aku hanya ingin Papi mempercayaiku.”
“Tentu Peter, Papi selalu percaya kamu.”
Malam semakin beranjak ketika keduanya masih berbincang di taman.
“Aku mau jalan-jalan sebentar Pap,” ujar Peter.
“Sendirian? Ini sudah terlalu malam Peter. Apa tidak sebaiknya kau istirahat buat perjalananmu besok?”
“Tidak Pap, hanya sebentar.”
“Oke, terserah kau saja.”
Malam itu Peter menghabiskan waktu di sekitar Pesanggrahan. Seorang penjaga yang mendapatinya sendirian dekat kolam begitu terkejut ketika tahu itu adalah Peter. Berjam-jam lamanya ia duduk di sana. Penjaga bernama Hendro itu tak berani menegur, hingga akhirnya Peter kembali dengan senyum penuh arti.
ooOOoo
Jeritan Dewi melengking memecah keheningan pagi di Pesanggrahan. Para karyawan sebagian besar sudah berada di perkebunan. Tangisan Dewi membuat Mbok Yah tergopoh-gopoh menghampirinya. “Ada apa, Non?”
“Harry, Mbok, lihatlah.” Dewi mendekap bayi itu erat lalu memperlihatkannya pada Mbok Yah. Harry terbujur kaku dengan wajah samar kebiruan. Mbok Yah terkesiap, tak percaya apa yang dilihatnya. Dirabanya denyut nadi bayi itu, namun tak tersisa tanda kehidupan.
“Innalillahi wainnailaihi rojiun.” Tak terasa air mata Mbok Yah ikut mengalir menyaksikan majikannya meratapi anaknya. “Bagaimana bisa terjadi, Non? Tadi pagi waktu saya menidurkannya masih sehat. Malah saya kira tertidur pulas.”
“Entahlah, Mbok. Aku tadi hendak membangunkannya ketika sadar dia tertidur lama sekali. Tapi ternyata..” Dewi kembali menangis terisak pilu.
“Saya akan memanggil Tuan Albert, sepertinya tadi dia keluar ke perkebunan.” Mbok Yah keluar dan menelepon Albert. Tak lama Albert datang dan menghampiri Dewi yang masih mendekap jasad Harry.
“Apa yang terjadi, Sayang?” Albert memeluk Dewi. Perempuan itu semakin terisak. Pikirannya berkecamuk, sedih, kecewa, marah. Tiba-tiba pikirannya tertuju pada Peter.
“Pasti dia yang melakukannya. Kali ini aku sangat yakin, kau tak bisa lagi membelanya Albert.” Ratapan Dewi berhenti, berganti amarah yang memuncak. “Kau harus melakukan sesuatu.”
“Apa yang kau bicarakan Sayang, Peter sudah pulang tiga jam yang lalu. Mungkin sekarang dia sudah di Surabaya.”
“Aku tahu tadi sebelum pulang dia menyelinap ke kamar Harry. Kukira dia hendak pamitan, makanya aku mengijinkan. Siapa yang tahu apa yang dilakukannya pada Harry. Ohh, Harry…”
“Bagaimana kau bisa menuduh Peter seperti itu, apa buktinya?”
Dewi terdiam, meski ia tak bisa membuktikan apa-apa tetapi kenyataan telah menyadarkannya kalau Harry telah tiada, dan ia tetap curiga pada Peter.
“Aku memang tak bisa membuktikannya, tanyakan sendiri pada anak semata wayangmu itu, Albert. Aku sudah tak tahan dengan semua ini, selama kau masih membela Peter.” Dewi meninggalkan Albert menuju kamarnya. Di sana ia menyendiri. Bahkan hingga sore ketika para pelayat datang ia masih tak keluar dari kamarnya.
Sementara di ruang kerjanya, Albert termenung memikirkan Peter. Ia tahu anaknya tak bersalah, ia hanya kambing hitam. Di tengah rasa sesalnya Albert tersenyum lega, ia telah memenuhi permintaan terakhir guru spiritualnya sebagai syarat pesugihan...

(Obat rinduku pada kaki gunung Argopuro)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar