Bayi
tujuh bulan itu kini tertidur lelap dalam gendongan Mbok Yah, pelayan setia
keluarga Albert. Perempuan berusia hampir setengah abad itu sudah mengabdi di
rumah ini bahkan sebelum Peter lahir.
Tak lama Mbok Yah meletakkan bayi itu di boks rotan, memasangkan selimut dan
mengayunkannya sebentar. Dipandanginya bayi montok itu, meski tak seputih ayahnya
namun tetap terlihat sehat dan bersih, siapapun akan gemas memandanginya. Bayi
itu adalah Harry, anak keempat Albert dari pernikahannya dengan Dewi. Namun dia
dapat disebut anak pertama, karena anak-anak yang lahir terdahulu telah
meninggal. Semuanya nyaris berumur kurang dari dua tahun.
“Aku
merasa was-was dan takut Mbok,” Dewi telah berada di kamar itu. Ia menutup
pintu lalu duduk di kursi dekat jendela. Perempuan muda itu terlihat murung,
wajah manisnya tak mampu menyembunyikan kekhawatiran itu. “Aku tidak ingin
kehilangan anakku lagi. Hari ini Peter mungkin datang. Apakah aku harus mencari
alasan untuk membawa Harry pulang sementara ke Bondowoso ya Mbok?”
“Jangan
terlalu khawatir, Non. Menurutku itu terlalu berlebihan. Lagipula itu semua
hanya omongan orang-orang, Non Dewi tak perlu mendengarkannya. Apa kata Tuan
Albert kalau Non ikut berprasangka seperti itu?” Mbok Yah menghampiri Dewi,
menenangkannya sambil memijiti pundaknya. Selama tinggal di rumah ini, hanya
Mbok Yah tempatnya bercerita, menumpahkan isi hatinya.
“Tentu
saja Albert tak akan berprasangka, karena Peter anak semata wayangnya, yang
akan mewarisi semua harta kekayaannya.”
“Ssst,
Non, hati-hati kalau ngomong, bagaimana kalau Tuan Albert dengar?”
“Dia tak percaya Peter yang melakukannya, dan
dia tidak mau ambil pusing dengan omongan orang-orang.” Jujur Dewi merasa
sangat tertekan. Ketiga anaknya terdahulu meninggal secara tiba-tiba. Anak
pertama meninggal saat terjatuh dari tangga lantai dua. Anak keduanya tenggelam
di kolam air mancur, seorang pelayan menemukannya telah terapung tak bernyawa di
pagi hari saat ia bermain di taman. Yang terakhir anak ketiganya meninggal dalam
usia tak sampai seminggu setelah dilahirkan.
Kalau
bukan karena desas desus yang berkembang di kemudian hari, tentu Dewi tak akan
menaruh curiga pada anak tirinya, Peter. Beberapa karyawan di perkebunan mulai
kasak kusuk bahwa penyebab kematian semua anak-anaknya terdahulu adalah Peter.
Entah motif sakit hati karena ayahnya menikah lagi dengan Dewi atau cemburu
pada adik-adiknya atau ia ingin menjadi pewaris satu-satunya keluarga Albert,
atau mungkin ketiganya. Yang semakin memperkuat keyakinan orang-orang bahwa Peter
yang melakukannya karena semua peristiwa itu terjadi saat ia libur dari
kuliahnya. Namun tak satu pun dari mereka berani mengungkapkan kecurigaan itu, apalagi
kalau bukan karena rasa hormat mereka pada Albert.
Teringat
semua kejadian itu membuat Dewi berurai air mata, hatinya merasa sakit.
“Sudahlah, Non. Nanti kalau dipikirkan terus Non Dewi bisa sakit.” Mbok Yah
berusaha menenangkannya. Sebagai pelayan yang sudah tinggal puluhan tahun di
rumah ini ia tahu persis bagaimana perubahan perangai Peter sesaat setelah
kematian ibunya. Bahkan ketika ayahnya menikah dengan Dewi keadaan bukan menjadi
lebih baik. Ia berubah menjadi remaja yang sangat penyendiri dan pendiam.
Waktunya lebih banyak dihabiskan bersama buku-buku horor. Di kamarnya jumlah
buku-buku itu kian hari semakin banyak. Kalaupun tidak berkutat dengan
buku-buku, di malam hari Peter sering keluyuran sendirian di sekitar Pesanggrahan.
“Iya, Mbok. Sekarang yang kupikirkan hanya Harry, bagaimana cara melindunginya.
Aku tak ingin dia menjadi korban selanjutnya.”
Mbok
Yah meninggalkan Dewi sendirian di kamar. Ia merasa kasihan pada majikan
mudanya. Tapi tak banyak yang bisa dilakukannya, karena ia juga sangat
menyayangi Peter.
ooOOoo
Sudah
satu jam lebih minibus itu melaju, meninggalkan kota Probolinggo menuju dataran
tinggi Bermi. Jalanan semakin menanjak dan udara dingin mulai menggigit,
membuat Peter merapatkan jaketnya. Sekilas diliriknya jam di pergelangan
tangan, hampir pukul 8. Kabut di luar jendela mulai menghilang, berganti
hamparan pegunungan yang luas, biru kehijauan berlekuk-lekuk indah. Perlahan
dibukanya jendela bus, hawa segar menyerbu masuk. Sampai kapan pun Peter akan
selalu merindukan keindahan lereng Gunung Argopuro ini, tempat ia menghabiskan
indahnya masa kecil.
Sebenarnya
Peter ingin menghabiskan libur kuliahnya kali ini di Bogor saja, seperti
semester lalu. Kalau bukan karena Papi dan kerinduannya pada Bermi ia sungguh
enggan pulang. Apalagi beberapa tahun belakangan ini keadaan sudah berbeda.
Pembicaraan tentang dirinya seolah tak
surut bahkan berkembang menjadi isu yang sadis.
Ayah
Peter, Albert adalah keturunan Belanda yang terkenal sebagai pemilik Pesanggrahan
dan pengelola pertanian di Bermi Selatan. Sebagian besar karyawannya adalah
penduduk sekitar Bermi dan beberapa di antaranya sudah puluhan tahun tinggal
bersama keluarga Albert. Sebagai anak tunggal, Peter adalah semata wayang
baginya, apalagi sejak istrinya meninggal delapan tahun yang lalu. Meski kini
Albert telah menikah lagi dengan Dewi, perempuan keturunan Jawa-Madura namun
kebahagiaan yang dirasakannya tidak lagi seperti dulu.
Minibus
itu mengakhiri pendakiannya di ujung jalan beraspal. Di situlah tempatnya rehat
sejenak untuk kemudian kembali menuruni jalanan yang sama, menuju Probolinggo.
Peter turun, berjalan menyusuri jalan berbatu. Tak banyak yang berubah di
perbatasan desa ini. Bangunan-bangunan lawas bentuknya masih sama, kebanyakan
model jaman Belanda. Jalannya juga tak banyak berubah. Aliran sungai di sebelah
kiri jalan masih jernih, bergemiricik lembut. Peter berhenti sejenak, menghirup
segarnya aroma pinus dan persemaian damar. Menyesap kembali kenangan masa
lalunya saat ibunya masih ada. Ah, tempat ini menyimpan kenangan indah,
sekaligus pahit. Kembali ia melangkah. Pesanggrahan ayahnya masih dua kilometer
lagi.
ooOOoo
Hingga
hari ketiga liburannya suasana masih terasa kaku, terutama Peter dan Dewi. Seperti
biasa suasana makan malam kali ini sunyi. Mereka bertiga Albert, Dewi dan Peter
makan sambil terdiam dalam pikiran masing-masing. Pembicaraan yang ada terasa
hanya basa basi belaka.
Usai
makan Albert dan Peter pindah mengobrol di taman samping. Pemandangan yang
menghadap Barat Laut itu menampakkan kota Probolinggo dari lereng Argopuro. Terutama
saat malam seperti ini jauh lebih indah dengan lampu berkedip-kedip. Keduanya
duduk di bangku yang dikelilingi pohon ceremai. “Papi lihat kau sudah tampak
lebih dewasa Peter, tentu saja karena kau sudah makin mandiri.” ujar Albert. Peter
tahu arah pembicaraan ayahnya.
“Aku
harap juga begitu Pap, dan aku ingin mengakhiri semuanya.”
“Apa maksudmu?” Albert penasaran dengan apa
yang dikatakan Peter.
“Ya,
hanya Papi yang kumiliki sekarang. Aku hanya ingin kebahagiaan untuk semuanya,
keluarga kita. Meski Mami sudah tak ada lagi di antara kita, kuharap Papi masih
mempercayaiku. Besok aku harus kembali ke Bogor.”
“Cepat
sekali Peter, padahal masih banyak yang ingin Papi obrolkan bersamamu. Tapi
okelah, lain kali masih banyak waktu.”
“Aku
hanya ingin Papi mempercayaiku.”
“Tentu
Peter, Papi selalu percaya kamu.”
Malam
semakin beranjak ketika keduanya masih berbincang di taman.
“Aku
mau jalan-jalan sebentar Pap,” ujar Peter.
“Sendirian?
Ini sudah terlalu malam Peter. Apa tidak sebaiknya kau istirahat buat
perjalananmu besok?”
“Tidak
Pap, hanya sebentar.”
“Oke,
terserah kau saja.”
Malam
itu Peter menghabiskan waktu di sekitar Pesanggrahan. Seorang penjaga yang mendapatinya
sendirian dekat kolam begitu terkejut ketika tahu itu adalah Peter. Berjam-jam
lamanya ia duduk di sana. Penjaga bernama Hendro itu tak berani menegur, hingga
akhirnya Peter kembali dengan senyum penuh arti.
ooOOoo
Jeritan
Dewi melengking memecah keheningan pagi di Pesanggrahan. Para karyawan sebagian
besar sudah berada di perkebunan. Tangisan Dewi membuat Mbok Yah tergopoh-gopoh
menghampirinya. “Ada apa, Non?”
“Harry,
Mbok, lihatlah.” Dewi mendekap bayi itu erat lalu memperlihatkannya pada Mbok
Yah. Harry terbujur kaku dengan wajah samar kebiruan. Mbok Yah terkesiap, tak
percaya apa yang dilihatnya. Dirabanya denyut nadi bayi itu, namun tak tersisa
tanda kehidupan.
“Innalillahi
wainnailaihi rojiun.” Tak terasa air mata Mbok Yah ikut mengalir menyaksikan
majikannya meratapi anaknya. “Bagaimana bisa terjadi, Non? Tadi pagi waktu saya
menidurkannya masih sehat. Malah saya kira tertidur pulas.”
“Entahlah,
Mbok. Aku tadi hendak membangunkannya ketika sadar dia tertidur lama sekali. Tapi
ternyata..” Dewi kembali menangis terisak pilu.
“Saya
akan memanggil Tuan Albert, sepertinya tadi dia keluar ke perkebunan.” Mbok Yah
keluar dan menelepon Albert. Tak lama Albert datang dan menghampiri Dewi yang
masih mendekap jasad Harry.
“Apa
yang terjadi, Sayang?” Albert memeluk Dewi. Perempuan itu semakin terisak.
Pikirannya berkecamuk, sedih, kecewa, marah. Tiba-tiba pikirannya tertuju pada Peter.
“Pasti
dia yang melakukannya. Kali ini aku sangat yakin, kau tak bisa lagi membelanya
Albert.” Ratapan Dewi berhenti, berganti amarah yang memuncak. “Kau harus
melakukan sesuatu.”
“Apa
yang kau bicarakan Sayang, Peter sudah pulang tiga jam yang lalu. Mungkin
sekarang dia sudah di Surabaya.”
“Aku
tahu tadi sebelum pulang dia menyelinap ke kamar Harry. Kukira dia hendak
pamitan, makanya aku mengijinkan. Siapa yang tahu apa yang dilakukannya pada
Harry. Ohh, Harry…”
“Bagaimana
kau bisa menuduh Peter seperti itu, apa buktinya?”
Dewi
terdiam, meski ia tak bisa membuktikan apa-apa tetapi kenyataan telah menyadarkannya
kalau Harry telah tiada, dan ia tetap curiga pada Peter.
“Aku
memang tak bisa membuktikannya, tanyakan sendiri pada anak semata wayangmu itu,
Albert. Aku sudah tak tahan dengan semua ini, selama kau masih membela Peter.” Dewi
meninggalkan Albert menuju kamarnya. Di sana ia menyendiri. Bahkan hingga sore ketika
para pelayat datang ia masih tak keluar dari kamarnya.
Sementara
di ruang kerjanya, Albert termenung memikirkan Peter. Ia tahu anaknya tak
bersalah, ia hanya kambing hitam. Di tengah rasa sesalnya Albert tersenyum lega,
ia telah memenuhi permintaan terakhir guru spiritualnya sebagai syarat
pesugihan...
(Obat rinduku pada kaki gunung
Argopuro)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar