Sore
ini mendung masih tersisa meski hujan telah berhenti. Mudah-mudahan sementara
ini hujan tidak turun, karena aku harus ke ATM dulu. Siang tadi Bapak
menelponku kalau dadanya sesak lagi dan obat asmanya habis, sementara uang yang
kukirim dua minggu lalu telah habis untuk berbagai keperluan. Aku maklum, bagi
Bapak uang pesiunan guru tidak lagi cukup untuk makan sebulan. Apalagi membeli
obat-obatan karena beberapa bulan terakhir ini asmanya sering kambuh. Sebenarnya
beberapa kali kuajak Bapak untuk tinggal bersamaku. Tapi dengan halus ia selalu
menolak, memilih tinggal di kota kecil kelahiranku, Jombang. “Jakarta terlalu
ramai buat Bapak yang sudah tua ini, Gus. Biarlah, di sini saja lebih tenang,”
begitu beliau selalu berkata. Sejak Ibu tiada dua tahun lalu, hubunganku dengan
Bapak semakin dekat. Perhatianku semakin tercurah padanya, meski aku tidak bisa
sering menengoknya.
Biasanya
ATM ini ramai antrian, kali ini tidak. Setelah kutransfer sebagian ke rekening
Bapak, kuambil sisanya untuk kebutuhanku seminggu ke depan. Ahh.. Gajian masih
seminggu lagi. Semoga tidak ada kebutuhan darurat lagi seminggu ini. Tetapi aku
selalu bersyukur. Meski uang gajiku tidak banyak, namun selalu cukup untuk
kebutuhan ini itu. Kebutuhan sekolah kedua anakku yang masih SD selalu
tercukupi. Rumah pun meski kecil dan masih mencicil tapi setidaknya milik
sendiri, demikian juga motor bebek tua ini yang menemaniku sejak aku masih bujangan.
Pun istriku, Rina tidak pernah mengeluh meski belanja bulanan pas-pasan. Semua
kami nikmati dengan rasa syukur. Mungkin karena nasehat Bapak yang selalu
kuingat. “Dalam setiap rejeki yang kau terima ada haknya fakir miskin, jangan
lupakan itu. Sisihkan sebagian untuk mereka, kasihanilah orang yang tak punya,
maka Tuhan senantiasa mengasihanimu.”
Kuhampiri
motorku yang kuparkir dekat minimarket. Perhatianku sejenak tertuju pada
seorang pengemis tua di pojok ruko. Meski sering kulihat tapi entah mengapa
kali ini aku penasaran. Tubuhnya kurus, wajah keriputnya coklat kehitaman
dimakan usia. Pakaiannya lusuh, jaket hijaunya yang keriting dan bertambal
dipakainya untuk selimut. Ingin kudekati dia. Tetapi aku ingat pesan Rina untuk
membeli beberapa keperluan yang telah habis. Gula, teh, mi instan, terigu juga
snack untuk anak-anak. Setelah semua bahan kuambil, aku teringat pengemis tua
yang ada di luar tadi. Cuaca seperti ini pasti ia kedinginan. Kuambil satu
bungkus roti dan air mineral. Setelah semua kubayar, kuhampiri pengemis tua itu
dan kusodorkan roti dan air padanya. Awalnya ia kaget, tapi kuyakinkan lagi
bahwa sedikit makanan ini untuknya. Dengan suka cita diterimanya roti itu.
Setelah kuamati wajahnya kira-kira sebaya dengan Bapak. Ahh.. Lagi-lagi aku
teringat Bapak di kampung halaman.
“Terima
kasih, Nak, hanya Tuhan yang bisa membalas kebaikan hatimu” suara serak
pengemis itu membuyarkan lamunanku.
“Sama-sama,
Pak. Bapak namanya siapa?” tanyaku.
“Udin.
Namamu sendiri siapa?”
“Bagus.
Pak Udin tinggal di mana? Nggak punya keluarga? Anak?”
Ia
diam, tak ada jawaban. Hanya gelengan kepala perlahan. Aku tak bertanya lagi
dan pamit pulang, “Saya pulang dulu ya Pak, sepertinya mau hujan lagi.”
Beberapa
hari ini aku masih teringat Pak Udin, Rina juga tahu. Kami selalu terbuka meski
hanya cerita sepele, seperti hal-hal yang terjadi di tempat kerjaku. Apalagi
ini tentang pengemis. Ada berbagai macam pengemis yang pernah kutemui. Terutama
di pinggir-pinggir jalan yang jumlahnya semakin tak terhitung. Belum lagi yang
mampir ke rumah-rumah. Mas Totok, teman kerjaku pernah bercerita kalau mereka
itu hanya pura-pura mengemis, sejatinya mereka itu pemalas, tak mau berusaha,
inginnya dapat uang dengan cara cepat, meski mengorbankan harga diri. Kadang
ada juga yang sengaja dipekerjakan oleh orang lain untuk mengemis. Ada pula yang
lebih parah, di antara mereka banyak yang sebenarnya mampu secara ekonomis.
Setidaknya mereka punya rumah layak, dengan perabotan lengkap, tentu dari hasil
mengemis. Ah, yang terakhir ini Mas Totok sungguh keterlaluan. Tapi semuanya
hanya kudengarkan saja, karena tentu tidak semua pengemis seperti itu. Banyak
yang memang nasibnya bergantung dari belas kasihan orang lain, seperti Pak
Udin.
ooOOoo
Hari
ini aku gajian, tentu saja aku harus ke ATM mengambil uang. Kedua anakku, Fita
dan Fahri ikut karena aku sudah berjanji hendak membelikan mereka buku baru. Aku juga berharap bisa bertemu Pak Udin,
menyisihkan sedikit uang gajiku untuknya, sekalian mengajari kedua anakku bersedekah.
Tetapi ketika kuhampiri pojok ruko itu Pak Udin tak ada. Apa mungkin ia pindah
ke tempat lain? Kutanya Mang Engkos tukang parkir di tempat itu, ia juga tak
tahu.
“Udah
ada barang lima hari-an. Sakit barangkali, atau pindah tempat ya, Mamang juga
kagak tahu dah,” katanya dengan senyum renyah.
“Ya
udah, makasih ya Mang,” kataku sambil menghampiri kedua anakku.
“Bapak
cari siapa? Temannya ya?” bungsuku Fahri bertanya.
“Nggak,
pengemis yang biasanya ada di situ. Tapi sekarang nggak ada. Ya udah yuk, kita
ke toko buku,” ajakku pada mereka. Entahlah, mungkin lain kali saja. Hari ini
bukan rejeki Pak Udin.
ooOOoo
Kunjunganku
ke sini kali ini membeli titipan Rina. “Sabunnya habis, Mas,” katanya tadi
pagi. Sengaja pulang kerja aku langsung mampir minimarket. Kuminta sopir bis
jemputan menurunkanku di ruko ini, bukan depan komplek rumah seperti biasanya.
Sesaat turun dari bis kulihat sekilas Pak Udin meninggalkan ruko. Aku
penasaran, cepat-cepat ingin memanggilnya. Tapi aku teringat titipan Rina. Aku
masuk minimarket dan mengambil barang seperlunya saja. Aku ingat dua minggu
lalu ingin memberi uang Pak Udin. Sekarang mestinya bisa. Setelah belanjaan
yang tak seberapa itu beres, aku segera keluar mencari jejak Pak Udin.
Sepertinya mengarah ke jalan kampung. Penasaran kuikuti saja sekalian supaya
tahu di mana tempat tinggalnya.
Mataku
tak lepas dari jaket hijau itu, aku harus jeli karena hari mulai gelap dan
lampu jalan di pinggiran kampung ini hanya sedikit. Rumah-rumah berdempetan
membuatku agak kesulitan menandai belokan tempat Pak Udin masuk gang. Meski
sudah tua ternyata jalannya gesit juga. Sepertinya dia tidak tahu kalau aku
mengikutinya. Atau mungkin penglihatannya sudah kurang awas lagi, entahlah.
Sebentar lagi mungkin sampai. Dia pasti terkejut melihatku mengikutinya.
Kira-kira
jarak 200 meter kulihat dia menaiki rakit kecil menyusuri rawa-rawa. Berarti
rumahnya di seberang rawa, dan itu masih jauh. Ingin kupanggil dia tapi
teriakanku akan menarik perhatian orang-orang di sekitar kampung ini. Jadi
kutahan saja, alih-alih memberi kejutan untuknya.
Kucari
rakit yang lain di tepi rawa ini, tapi tidak ada. Jangan-jangan hanya satu,
yang dinaiki Pak Udin tadi. Sekali lagi kususuri tepian rawa ini dengan teliti.
Meski gelap tapi mataku masih awas. Ternyata masih ada satu rakit kecil lagi.
Segera kunaiki, aku tak ingin kehilangan jejak Pak Udin. Aku teringat istri dan
anak-anakku di rumah, pasti mereka menunggu-nunggu. Tetapi aku merasa sudah
terlanjur jalan, sejauh ini. Sayang kalau harus kembali.
Sampai
juga aku di perkampungan yang belum pernah kudatangi. Potret kemiskinan
sepertinya tergambar jelas di sini. Gubuk-gubuk dari papan dan seng berdempetan
di antara tumpukan botol-botol bekas. Genangan air memenuhi jalan tanah yang
berlubang. Bau pesing campur aroma sampah menyeruak memenuhi kepalaku. Tuhan,
tempat apa ini? Selama bertahun-tahun aku tinggal di kota ini baru sekali
mendatangi tempat seperti ini. Ampuni hambamu Tuhan, sudah sepatutnya hamba
bersyukur. Di tengah perekonomianku yang pas-pasan masih banyak orang-orang
sekitarku yang sangat kekurangan.
Aku
teringat Pak Udin lagi, kemana harus kuikuti jalannya. Aku kehilangan jejak.
Kudekati anak lelaki di dekat tumpukan kardus.
“Dek,
tahu rumahnya Pak Udin?” tanyaku
“Pak
Udin, yang mana?” dia balas bertanya.
“Yang
tua, kurus pakai jaket hijau. Tahu kan?”
“Emm.
Oh, yang itu. Di sana, rumah yang paling
ujung,” katanya. Padahal yang dimaksud rumah adalah gubuk separuh seng separuh
papan kayu. Ukurannya juga tak lebih dari 3x3 meter.
“Terima
kasih ya, Dek,” kataku.
Belum
sempat aku beranjak kulihat seseorang keluar dari gubuk yang dimaksud. Tetapi
bukan Pak Udin. Jaketnya hitam, memakai topi. Masuk ke gang depan gubuk Pak
Udin. Siapa dia? Jangan-jangan, dia yang mempekerjakan Pak Udin untuk mengemis.
Teganya. Aku semakin penasaran, kudatangi gubuk Pak Udin, siapa tahu ia masih
di sana.
“Assalamualaikum,”
aku berusaha mengetuk pintu papan. Tak ada jawaban. Kuulangi lagi. Sepi, hanya
ada suara nyamuk berdengung di telingaku. Kuberanikan diri membuka grendel
pintu, ternyata tak dikunci dan di dalamnya kosong.
Aku
harus mengikuti orang tadi. Kupandangi gang di depan, sempit, becek dan gelap. Tapi
apa boleh buat aku harus tahu apa yang terjadi dengan Pak Udin. Gang ini
bersebelahan dengan penampungan barang bekas sehingga terkadang jalannya
menyempit karena sesak barang rongsokan. Kira-kira 100 meter jalan ini mulai
agak terang. Aku bisa bernapas lega. Ternyata ujung gang ini adalah rumah-rumah
yang berdempetan seperti di kampung sebelahku. Cukup ramai juga mengingat di
situ ada pangkalan ojek. Kedatanganku disambut kerumunan mereka menawarkan ojek
“Ojek,
ojek..” Mereka berebutan.
“Pak,
numpang tanya, tahu bapak-bapak tadi yang lewat sini pakai jaket hitam tidak?”
tanyaku
“Yang
mana ya?” salah satu dari mereka menjawab
“Yang
pakai topi, jaket hitam, jalannya dari gang sini,” kataku sambil menunjuk
tempat aku tadi berjalan.
“Yang
tua? Kurus?”
“Iya
Pak,” kuiyakan saja.
“Oh,
itu tadi mah, naik ojek saya. Kenapa gitu?”
“Bisa
saya dianter ke rumahnya Pak?”
“Oh,
bisa, bisa.” Dia bersemangat sekali.
Tak
sampai sepuluh menit aku tiba di depan
sebuah rumah. Kutanya tukang ojek, “Bener ini rumahnya?”
“Iya
bener, tadi saya yang nganter.” Kubayar ojek tapi hatiku penasaran benarkah ini
rumahnya. Jauh lebih bagus dari rumahku. Semakin penasaran kuketuk pintu,
“Assalamualaikum?”
Terdengar
jawaban dari dalam, suara seraknya sangat kukenal, “Waalaikum salam, sebentar..”
Sebelum
pintu dibuka aku telah berlalu, kecewa. Kali ini aku salah, dan Mas Totok benar..
Serang,
Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar