Selasa, 11 Desember 2012

Pengemis



Sore ini mendung masih tersisa meski hujan telah berhenti. Mudah-mudahan sementara ini hujan tidak turun, karena aku harus ke ATM dulu. Siang tadi Bapak menelponku kalau dadanya sesak lagi dan obat asmanya habis, sementara uang yang kukirim dua minggu lalu telah habis untuk berbagai keperluan. Aku maklum, bagi Bapak uang pesiunan guru tidak lagi cukup untuk makan sebulan. Apalagi membeli obat-obatan karena beberapa bulan terakhir ini asmanya sering kambuh. Sebenarnya beberapa kali kuajak Bapak untuk tinggal bersamaku. Tapi dengan halus ia selalu menolak, memilih tinggal di kota kecil kelahiranku, Jombang. “Jakarta terlalu ramai buat Bapak yang sudah tua ini, Gus. Biarlah, di sini saja lebih tenang,” begitu beliau selalu berkata. Sejak Ibu tiada dua tahun lalu, hubunganku dengan Bapak semakin dekat. Perhatianku semakin tercurah padanya, meski aku tidak bisa sering menengoknya.

Biasanya ATM ini ramai antrian, kali ini tidak. Setelah kutransfer sebagian ke rekening Bapak, kuambil sisanya untuk kebutuhanku seminggu ke depan. Ahh.. Gajian masih seminggu lagi. Semoga tidak ada kebutuhan darurat lagi seminggu ini. Tetapi aku selalu bersyukur. Meski uang gajiku tidak banyak, namun selalu cukup untuk kebutuhan ini itu. Kebutuhan sekolah kedua anakku yang masih SD selalu tercukupi. Rumah pun meski kecil dan masih mencicil tapi setidaknya milik sendiri, demikian juga motor bebek tua ini yang menemaniku sejak aku masih bujangan. Pun istriku, Rina tidak pernah mengeluh meski belanja bulanan pas-pasan. Semua kami nikmati dengan rasa syukur. Mungkin karena nasehat Bapak yang selalu kuingat. “Dalam setiap rejeki yang kau terima ada haknya fakir miskin, jangan lupakan itu. Sisihkan sebagian untuk mereka, kasihanilah orang yang tak punya, maka Tuhan senantiasa mengasihanimu.”
Kuhampiri motorku yang kuparkir dekat minimarket. Perhatianku sejenak tertuju pada seorang pengemis tua di pojok ruko. Meski sering kulihat tapi entah mengapa kali ini aku penasaran. Tubuhnya kurus, wajah keriputnya coklat kehitaman dimakan usia. Pakaiannya lusuh, jaket hijaunya yang keriting dan bertambal dipakainya untuk selimut. Ingin kudekati dia. Tetapi aku ingat pesan Rina untuk membeli beberapa keperluan yang telah habis. Gula, teh, mi instan, terigu juga snack untuk anak-anak. Setelah semua bahan kuambil, aku teringat pengemis tua yang ada di luar tadi. Cuaca seperti ini pasti ia kedinginan. Kuambil satu bungkus roti dan air mineral. Setelah semua kubayar, kuhampiri pengemis tua itu dan kusodorkan roti dan air padanya. Awalnya ia kaget, tapi kuyakinkan lagi bahwa sedikit makanan ini untuknya. Dengan suka cita diterimanya roti itu. Setelah kuamati wajahnya kira-kira sebaya dengan Bapak. Ahh.. Lagi-lagi aku teringat Bapak di kampung halaman.
“Terima kasih, Nak, hanya Tuhan yang bisa membalas kebaikan hatimu” suara serak pengemis itu membuyarkan lamunanku. 
“Sama-sama, Pak. Bapak namanya siapa?” tanyaku.
“Udin. Namamu sendiri siapa?”
“Bagus. Pak Udin tinggal di mana? Nggak punya keluarga? Anak?”   
Ia diam, tak ada jawaban. Hanya gelengan kepala perlahan. Aku tak bertanya lagi dan pamit pulang, “Saya pulang dulu ya Pak, sepertinya mau hujan lagi.”
Beberapa hari ini aku masih teringat Pak Udin, Rina juga tahu. Kami selalu terbuka meski hanya cerita sepele, seperti hal-hal yang terjadi di tempat kerjaku. Apalagi ini tentang pengemis. Ada berbagai macam pengemis yang pernah kutemui. Terutama di pinggir-pinggir jalan yang jumlahnya semakin tak terhitung. Belum lagi yang mampir ke rumah-rumah. Mas Totok, teman kerjaku pernah bercerita kalau mereka itu hanya pura-pura mengemis, sejatinya mereka itu pemalas, tak mau berusaha, inginnya dapat uang dengan cara cepat, meski mengorbankan harga diri. Kadang ada juga yang sengaja dipekerjakan oleh orang lain untuk mengemis. Ada pula yang lebih parah, di antara mereka banyak yang sebenarnya mampu secara ekonomis. Setidaknya mereka punya rumah layak, dengan perabotan lengkap, tentu dari hasil mengemis. Ah, yang terakhir ini Mas Totok sungguh keterlaluan. Tapi semuanya hanya kudengarkan saja, karena tentu tidak semua pengemis seperti itu. Banyak yang memang nasibnya bergantung dari belas kasihan orang lain, seperti Pak Udin.
ooOOoo
Hari ini aku gajian, tentu saja aku harus ke ATM mengambil uang. Kedua anakku, Fita dan Fahri ikut karena aku sudah berjanji hendak membelikan mereka buku  baru. Aku juga berharap bisa bertemu Pak Udin, menyisihkan sedikit uang gajiku untuknya, sekalian mengajari kedua anakku bersedekah. Tetapi ketika kuhampiri pojok ruko itu Pak Udin tak ada. Apa mungkin ia pindah ke tempat lain? Kutanya Mang Engkos tukang parkir di tempat itu, ia juga tak tahu.
“Udah ada barang lima hari-an. Sakit barangkali, atau pindah tempat ya, Mamang juga kagak tahu dah,” katanya dengan senyum renyah.
“Ya udah, makasih ya Mang,” kataku sambil menghampiri kedua anakku.
“Bapak cari siapa? Temannya ya?” bungsuku Fahri bertanya.
“Nggak, pengemis yang biasanya ada di situ. Tapi sekarang nggak ada. Ya udah yuk, kita ke toko buku,” ajakku pada mereka. Entahlah, mungkin lain kali saja. Hari ini bukan rejeki Pak Udin.
ooOOoo
Kunjunganku ke sini kali ini membeli titipan Rina. “Sabunnya habis, Mas,” katanya tadi pagi. Sengaja pulang kerja aku langsung mampir minimarket. Kuminta sopir bis jemputan menurunkanku di ruko ini, bukan depan komplek rumah seperti biasanya. Sesaat turun dari bis kulihat sekilas Pak Udin meninggalkan ruko. Aku penasaran, cepat-cepat ingin memanggilnya. Tapi aku teringat titipan Rina. Aku masuk minimarket dan mengambil barang seperlunya saja. Aku ingat dua minggu lalu ingin memberi uang Pak Udin. Sekarang mestinya bisa. Setelah belanjaan yang tak seberapa itu beres, aku segera keluar mencari jejak Pak Udin. Sepertinya mengarah ke jalan kampung. Penasaran kuikuti saja sekalian supaya tahu di mana tempat tinggalnya.
Mataku tak lepas dari jaket hijau itu, aku harus jeli karena hari mulai gelap dan lampu jalan di pinggiran kampung ini hanya sedikit. Rumah-rumah berdempetan membuatku agak kesulitan menandai belokan tempat Pak Udin masuk gang. Meski sudah tua ternyata jalannya gesit juga. Sepertinya dia tidak tahu kalau aku mengikutinya. Atau mungkin penglihatannya sudah kurang awas lagi, entahlah. Sebentar lagi mungkin sampai. Dia pasti terkejut melihatku mengikutinya.
Kira-kira jarak 200 meter kulihat dia menaiki rakit kecil menyusuri rawa-rawa. Berarti rumahnya di seberang rawa, dan itu masih jauh. Ingin kupanggil dia tapi teriakanku akan menarik perhatian orang-orang di sekitar kampung ini. Jadi kutahan saja, alih-alih memberi kejutan untuknya.
Kucari rakit yang lain di tepi rawa ini, tapi tidak ada. Jangan-jangan hanya satu, yang dinaiki Pak Udin tadi. Sekali lagi kususuri tepian rawa ini dengan teliti. Meski gelap tapi mataku masih awas. Ternyata masih ada satu rakit kecil lagi. Segera kunaiki, aku tak ingin kehilangan jejak Pak Udin. Aku teringat istri dan anak-anakku di rumah, pasti mereka menunggu-nunggu. Tetapi aku merasa sudah terlanjur jalan, sejauh ini. Sayang kalau harus kembali.
Sampai juga aku di perkampungan yang belum pernah kudatangi. Potret kemiskinan sepertinya tergambar jelas di sini. Gubuk-gubuk dari papan dan seng berdempetan di antara tumpukan botol-botol bekas. Genangan air memenuhi jalan tanah yang berlubang. Bau pesing campur aroma sampah menyeruak memenuhi kepalaku. Tuhan, tempat apa ini? Selama bertahun-tahun aku tinggal di kota ini baru sekali mendatangi tempat seperti ini. Ampuni hambamu Tuhan, sudah sepatutnya hamba bersyukur. Di tengah perekonomianku yang pas-pasan masih banyak orang-orang sekitarku yang sangat kekurangan.
Aku teringat Pak Udin lagi, kemana harus kuikuti jalannya. Aku kehilangan jejak. Kudekati anak lelaki di dekat tumpukan kardus.
“Dek, tahu rumahnya Pak Udin?” tanyaku
“Pak Udin, yang mana?” dia balas bertanya.
“Yang tua, kurus pakai jaket hijau. Tahu kan?”
“Emm. Oh,  yang itu. Di sana, rumah yang paling ujung,” katanya. Padahal yang dimaksud rumah adalah gubuk separuh seng separuh papan kayu. Ukurannya juga tak lebih dari 3x3 meter.
“Terima kasih ya, Dek,” kataku.
Belum sempat aku beranjak kulihat seseorang keluar dari gubuk yang dimaksud. Tetapi bukan Pak Udin. Jaketnya hitam, memakai topi. Masuk ke gang depan gubuk Pak Udin. Siapa dia? Jangan-jangan, dia yang mempekerjakan Pak Udin untuk mengemis. Teganya. Aku semakin penasaran, kudatangi gubuk Pak Udin, siapa tahu ia masih di sana.
“Assalamualaikum,” aku berusaha mengetuk pintu papan. Tak ada jawaban. Kuulangi lagi. Sepi, hanya ada suara nyamuk berdengung di telingaku. Kuberanikan diri membuka grendel pintu, ternyata tak dikunci dan di dalamnya kosong.
Aku harus mengikuti orang tadi. Kupandangi gang di depan, sempit, becek dan gelap. Tapi apa boleh buat aku harus tahu apa yang terjadi dengan Pak Udin. Gang ini bersebelahan dengan penampungan barang bekas sehingga terkadang jalannya menyempit karena sesak barang rongsokan. Kira-kira 100 meter jalan ini mulai agak terang. Aku bisa bernapas lega. Ternyata ujung gang ini adalah rumah-rumah yang berdempetan seperti di kampung sebelahku. Cukup ramai juga mengingat di situ ada pangkalan ojek. Kedatanganku disambut kerumunan mereka menawarkan ojek
“Ojek, ojek..” Mereka berebutan.
“Pak, numpang tanya, tahu bapak-bapak tadi yang lewat sini pakai jaket hitam tidak?” tanyaku
“Yang mana ya?” salah satu dari mereka menjawab
“Yang pakai topi, jaket hitam, jalannya dari gang sini,” kataku sambil menunjuk tempat aku tadi berjalan.
“Yang tua? Kurus?”
“Iya Pak,” kuiyakan saja.
“Oh, itu tadi mah, naik ojek saya. Kenapa gitu?”
“Bisa saya dianter ke rumahnya Pak?”
“Oh, bisa, bisa.” Dia bersemangat sekali.
Tak sampai sepuluh menit  aku tiba di depan sebuah rumah. Kutanya tukang ojek, “Bener ini rumahnya?”
“Iya bener, tadi saya yang nganter.” Kubayar ojek tapi hatiku penasaran benarkah ini rumahnya. Jauh lebih bagus dari rumahku. Semakin penasaran kuketuk pintu, “Assalamualaikum?”
Terdengar jawaban dari dalam, suara seraknya sangat kukenal, “Waalaikum salam, sebentar..”
Sebelum pintu dibuka aku telah berlalu, kecewa. Kali ini aku salah, dan Mas Totok benar..

Serang, Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar