Kamis, 26 Desember 2013

Antri



Sekitar dua bulan lalu saya belanja di toko swalayan dekat rumah. Karena belanjaan saya nggak banyak, saya memilih kasir yang melayani kassa keranjang. Waktu itu masih agak pagi, sekitar setengah sepuluh. Di depan saya seorang ibu juga sedang mengantri. Ketika ibu itu bersiap menghitung belanjaannya di kasir, datanglah tiga anak perempuan, masih SD. Terlihat dari badge di lengan kanannya, rupanya SD Negeri terdekat. Karena badannya agak gede, saya taksir kalo nggak kelas 5 ya kelas 6.

Mereka ‘hanya’ membeli satu minuman dan satu makanan ringan. Salah seorang dari mereka, (yang badannya paling bongsor) memaksa teman-temannya untuk minta ibu di depan saya, transaksi duluan. “Cuma dikit ini, lagi buru-buru,” katanya. Si Ibu mengalah, mungkin kasihan. Saya pun berpikir kasihan kalau sampai terlambat masuk kelas atau apa. Meski dalam hati kesal, kenapa anak sekolah kok jajannya keluyuran sampai ke sini.


Usai mereka membayar, ganti si ibu depan saya bertransaksi. Sebentar lagi giliran saya tentunya. Entah kenapa kok tiba-tiba di dekat saya muncul lagi si anak yang bongsor tadi, menenteng satu botol minuman seperti tadi yang dibelinya. Dua temannya menunggu di ujung antrian. Si anak nggak ngomong apa-apa langsung aja menyodorkan minumannya ke kasir. Nggak sopan banget nih anak, pikir saya. Dan kali ini saya coba menegurnya.


“Dik, kenapa kamu nggak ngantri?”
“Cuma satu,” katanya dengan wajah cuek dan pede. Saya jadi tambah kesel.
“Biar pun satu harus tetep antri,” kata saya lagi.
“Sayanya buru-buru,” dia tetep cuek.
“Kamu buru-buru mau apa?”

Dia diam, nggak jawab lagi. Di belakang saya, antrian makin bertambah. “Kamu belajar antri di belakang sana ya.” Akhirnya dia beringsut ke belakang, rupanya kesel sama saya.

Dalam kasus tertentu, saya kadang memberi antrian pada orang lain. Tentunya yang memang darurat, dan berkata dengan sopan. Sedangkan teguran saya pada anak tadi supaya dia belajar hal-hal kecil dan sepele yang rupanya terabaikan dari hidupnya. 

Pelajaran beretika seperti ini sepertinya tidak mendapat porsi penting dalam dunia pendidikan formal, terutama di tingkat dasar. Karena yang lebih diutamakan adalah nilai akademis saja. Padahal banyak pesan moral yang didapat dari pelajaran mengantri ini. Seperti misalnya,

1.       Pelajaran bersabar, kalau memang mendapat giliran antri di belakang.
2.       Belajar menghormati orang lain, sehingga tidak perlu menyerobot seperti anak tadi, setidaknya malu kalau sampai harus menyerobot.
3.       Belajar mengatur dan memperkirakan waktu, kalau memang datang terlambat, maka dia harus ikhlas dan menerima konsekuensi di belakang.
4.       Belajar kreatif memikirkan kegiatan apa yang dapat dilakukan sambil mengantri.
5.       Belajar bersosialisasi dan sopan dengan orang di sekitarnya, jika ada keperluan mendesak dapat meminta orang tolong orang di dekatnya.
6.       Belajar jujur setidaknya pada diri sendiri, dan masih banyak lagi..

Tapi sayangnya, dalam kehidupan sehari-hari justru orang dewasa-lah yang lebih banyak menunjukkan ketidak sabaran mengantri. Berkendara di jalan, di loket-loket penjualan, di kantor pelayanan umum, di tempat makan, tempat belanja dll yang tidak menggunakan nomor antrian. Parahnya lagi sikap seperti ini menurun kepada anak-anak, karena mereka menirunya. 
Kelak hal-hal seperti ini yang mengakibatkan ‘legal’nya kegiatan suap demi enggan mengantri.  

Pelajaran mengantri memang tidak ada kurikulumnya, karena ia adalah pelajaran kehidupan. Dan untuk anak-anak kita, siapa lagi yang hendak mencontohkan kalau tidak kita, orang tuanya.


Graha Asri, 26 Desember 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar