Sekitar dua bulan lalu saya belanja di toko swalayan dekat
rumah. Karena belanjaan saya nggak banyak, saya memilih kasir yang melayani
kassa keranjang. Waktu itu masih agak pagi, sekitar setengah sepuluh. Di depan
saya seorang ibu juga sedang mengantri. Ketika ibu itu bersiap menghitung
belanjaannya di kasir, datanglah tiga anak perempuan, masih SD. Terlihat dari
badge di lengan kanannya, rupanya SD Negeri terdekat. Karena badannya agak
gede, saya taksir kalo nggak kelas 5 ya kelas 6.
Mereka ‘hanya’ membeli satu minuman dan satu makanan ringan. Salah seorang dari mereka, (yang badannya paling bongsor) memaksa teman-temannya untuk minta ibu di depan saya, transaksi duluan. “Cuma dikit ini, lagi buru-buru,” katanya. Si Ibu mengalah, mungkin kasihan. Saya pun berpikir kasihan kalau sampai terlambat masuk kelas atau apa. Meski dalam hati kesal, kenapa anak sekolah kok jajannya keluyuran sampai ke sini.
Mereka ‘hanya’ membeli satu minuman dan satu makanan ringan. Salah seorang dari mereka, (yang badannya paling bongsor) memaksa teman-temannya untuk minta ibu di depan saya, transaksi duluan. “Cuma dikit ini, lagi buru-buru,” katanya. Si Ibu mengalah, mungkin kasihan. Saya pun berpikir kasihan kalau sampai terlambat masuk kelas atau apa. Meski dalam hati kesal, kenapa anak sekolah kok jajannya keluyuran sampai ke sini.
Usai mereka membayar, ganti si ibu depan saya bertransaksi.
Sebentar lagi giliran saya tentunya. Entah kenapa kok tiba-tiba di dekat saya
muncul lagi si anak yang bongsor tadi, menenteng satu botol minuman seperti
tadi yang dibelinya. Dua temannya menunggu di ujung antrian. Si anak nggak
ngomong apa-apa langsung aja menyodorkan minumannya ke kasir. Nggak sopan
banget nih anak, pikir saya. Dan kali ini saya coba menegurnya.
“Dik, kenapa kamu nggak ngantri?”
“Cuma satu,” katanya dengan wajah cuek dan pede. Saya jadi
tambah kesel.
“Biar pun satu harus tetep antri,” kata saya lagi.
“Sayanya buru-buru,” dia tetep cuek.
“Kamu buru-buru mau apa?”
Dia diam, nggak jawab lagi. Di belakang saya, antrian makin
bertambah. “Kamu belajar antri di belakang sana ya.” Akhirnya dia beringsut ke
belakang, rupanya kesel sama saya.
Dalam kasus tertentu, saya kadang memberi antrian pada orang
lain. Tentunya yang memang darurat, dan berkata dengan sopan. Sedangkan teguran
saya pada anak tadi supaya dia belajar hal-hal kecil dan sepele yang rupanya
terabaikan dari hidupnya.
Pelajaran beretika seperti ini sepertinya tidak mendapat
porsi penting dalam dunia pendidikan formal, terutama di tingkat dasar. Karena
yang lebih diutamakan adalah nilai akademis saja. Padahal banyak pesan moral
yang didapat dari pelajaran mengantri ini. Seperti misalnya,
1.
Pelajaran bersabar, kalau memang mendapat
giliran antri di belakang.
2.
Belajar menghormati orang lain, sehingga tidak
perlu menyerobot seperti anak tadi, setidaknya malu kalau sampai harus
menyerobot.
3.
Belajar mengatur dan memperkirakan waktu, kalau
memang datang terlambat, maka dia harus ikhlas dan menerima konsekuensi di
belakang.
4.
Belajar kreatif memikirkan kegiatan apa yang
dapat dilakukan sambil mengantri.
5.
Belajar bersosialisasi dan sopan dengan orang di
sekitarnya, jika ada keperluan mendesak dapat meminta orang tolong orang di
dekatnya.
6.
Belajar jujur setidaknya pada diri sendiri, dan
masih banyak lagi..
Tapi
sayangnya, dalam kehidupan sehari-hari justru orang dewasa-lah yang lebih
banyak menunjukkan ketidak sabaran mengantri. Berkendara di jalan, di
loket-loket penjualan, di kantor pelayanan umum, di tempat makan, tempat
belanja dll yang tidak menggunakan nomor antrian. Parahnya lagi sikap seperti
ini menurun kepada anak-anak, karena mereka menirunya.
Kelak
hal-hal seperti ini yang mengakibatkan ‘legal’nya kegiatan suap demi enggan
mengantri.
Pelajaran mengantri memang tidak ada kurikulumnya, karena ia
adalah pelajaran kehidupan. Dan untuk anak-anak kita, siapa lagi yang hendak
mencontohkan kalau tidak kita, orang tuanya.
Graha Asri, 26 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar