Senin, 25 Oktober 2010

Pendidikan Dasar

Saya sungguh prihatin dengan pendidikan terutama tingkat dasar di negeri ini. Hal ini didasari dengan apa yang selama ini saya amati sendiri terutama bagi anak2 didik yang masih berada di jenjang dasar alias SD. Memprihatinkan sekali karena beban yang harus dipikul seusia mereka sudah terlampau berat. Sekali lagi menurut saya. Padahal di usia mereka masih merupakan usia peralihan yang masih memerlukan stimulasi dari permainan.
Perhatikan saja bagaimana sekarang anak2 TK sudah harus dituntut untuk dapat membaca karena kalau tidak nantinya tidak akan diterima di SD yang notebene saat ini mewajibkan calon muridnya bisa membaca. 
Sedihnya lagi orangtua juga menganggap hal ini sebagai standar yang menganggap kalau anak TK-nya belum bisa membaca maka mereka sudah berada dalam tingkat mengkhawatirkan. Lalu mereka akan mencarikan kursus membaca atau les-les semacamnya, sekali lagi dengan paksaan. Padahal anak2 usia TK masih membutuhkan banyak permainan dalam kegiatannya demi menunjang stimulasi otak dan perkembangan mereka.
Itu baru TK. Setelah masuk SD baru di tahap2 awal saja sudah sarat dengan muatan eksakta yang rumit seperti dasar2 perkalian. Belum lagi mata pelajaran lainnya. Sepertinya kurikulum jaman sekarang ini sudah sangat “maju” hingga mengharuskan setiap murid menguasai pelajaran yang jaman saya dahulu baru diajarkan pada jenjang lanjutan. Seperti misalnya kelas 4 SD pelajaran PKN sudah diajarkan tentang DPRD, DPD Hak Interpelasi, Prerogatif dll. Sungguh saya sampai geleng2 untuk apa semua ini. Kemudian pelajaran sains kelas 4 pun sudah diperkenalkan Gaya dengan dasar2 rumusan sederhana. Seingat saya dahulu ini diajarkan saat baru masuk kelas 1 SMP.
Itu baru beberapa contoh pelajarannya saja. Benar2 saya prihatin bagaimana anak2 jaman sekarang sudah dibebankan pelajaran yang berat di tingkat dasar tanpa mengindahkan tingkat stress mereka di usia yang masih sangat dini. Entah apa yg ada di benak para penggagas kurikulum negeri tercinta kita ini. Sebegitu gawatkah sampai mereka membuat dan menciptakan tingkat kerumitan yang besar bagi anak2. Belum lagi buku2 pedoman yang digunakan berganti2 setiap tahun, dan tiap sekolah pun berbeda2. Seolah2 jika tidak diganti maka anak2 akan menjadi bodoh seketika. Entah bisnis apa yang sedang merajalela di dunia pendidikan negeri ini. Sedangkan di luar negeri saja yang lebih maju, lebih kaya dan lebih canggih teknologinya tidak membebankan kurikulum sedemikian berat. Apalagi dengan buku pedoman yang berbeda2 bahkan berganti2 setiap tahun.
Saat membaca buku2 pelajaran anak2, kadang saya berpikir apakah si pembuat kurikulum ini berpikir bagaimana isi pelajaran ini akan diserap dan dimengerti oleh setiap anak2 di seluruh Indonesia. Dengan kata2 dan uraian yang rumit akankah anak2 menghafal satu persatu isi pelajaran ini dengan mudah tanpa hambatan? Atas dasar ini pun suami sampai membuatkan anak kami ringkasan pelajaran dalam bentuk gambar kemudian kami tempel di sudut2 rumah supaya mudah bagi anak kami mengerti pelajaran.
Persaingan anak2 kita di masa yang akan datang memang sungguh ketat, namun apakah kemudian dibebankan pada sebuah standar baru sebagai harga mati, kurikulum. Pantas saja negeri ini dibanjiri  anak2 usia belia yang menurut saya menghadapi stress karena beban  overload. Diiringi pula dengan kemajuan teknologi baik tayangan televisi, kemudahan akses internet. Lihatlah bagaimana di hampir setiap warung internet penuh anak2 yang mengisi waktu luangnya dengan game, bagaimana di mall2 penuh dengan ABG, bagaimana perkelahian antar pelajar yang dipicu hal sepele, pergaulan bebas dll, tentu semua itu bukan tanpa sebab. Meski banyak faktor tapi stress adalah salah satunya.
Dibalik semua keprihatinan saya tadi sesungguhnya ada hal2 penting yang menurut saya sangat urgent dan memerlukan perhatian serius bagi pendidikan dasar anak2 kita. Yaitu pendidikan moral, agama, tanggung jawab, sopan santun, etika dan empati terhadap sesama. Nilai2 itulah yang sebaiknya mendapat porsi besar bagi anak2 kita, sebagai bekal mereka di masa yang akan datang. Sekali lagi ini hanya wujud kepedulian saya bagi dunia anak2 yang saya cintai..

Taman Puri, 23 Oktober 2010

9 komentar:

  1. iya mba aku juga prihatin banget dgn kurikulum skrg ini. Ngeliat ponakan2 yg masih kelas 2 tapi pelajarannya udah susah banget. Sampe2 ibunya kewalahan. Mnurutku sih pelacjaran yg canggih2 itu ga akan bkin si anak makin pinter, yg ada malah males blajar.Soalnya blm sesuai dengan kemampuan dia. Saya sering bayangin kalau nanti sudah punya anak, saya pengennya nyekolahin di sd negri aja biar sosialisasinya bagus, tapi mengingat kurikulum yg dipake pasti pelajarannya rumit2 deh. Tapi apakah sekolah swasta yang mahal2 atau bahkan sekolah internasional ga pake kurikulum di Indo.. kalo ternyata materinya sama aja ya ga ada bedanya yah..
    Bingung juga ya mikirin ini..

    BalasHapus
  2. ingat dulu jaman SD bawaan saya berrrat sekali. satu pelajaran aja bisa ada 5 buku: buku cetak, latihan, catatan, PR, sampe dikaretin sama bapak saya. sekarang tampaknya tak jauh beda

    BalasHapus
  3. kurikulumnya sama.. mungkin cara penyampaiannya yg berbeda.. sementara ini kami menyiasatinya dg mengajarkan & mengulangi d rumah dg cara yg lebih santai tp anak tetap fokus. kebetulan sulungku d sekolah alam.. jd belajarnya terbiasa sistem mandiri. Tp tetep aja kalo baca buku panduannya...memprihatinkan.. Kalo mau ideal sih..homeschooling..

    BalasHapus
  4. Betul bangett buu... siswa saya, juga banyaaaakkk banget yang pinter secara akademik..tapi, secara etika dan moral, nol besar :(

    BalasHapus
  5. orang tua dan guru memang harus saling melengkapi, jadi bukan tanggung jawab salah satu pihak saja..(bersambung di part II)

    BalasHapus
  6. alhamdulillah, anak di sekolah alam.tapi ya tetep aja ngikut kurikulum.saya paling pusing ngajarin KPK, FPB.sekarang malah udah kecepatan pakai rumus,weleh..weleh...

    BalasHapus
  7. kalau matematika biasanya kami mencari cara2 dan trik2 sederhana supaya anak lebih mudah memahami suatu tema dan menyelesaikan persoalan

    BalasHapus