“Pak, yang tempat museum dimana?” kata Idris saat main
berdua dengan Ilyas. Tadinya saya sempat kaget, kok dia bisa ngomong begitu.
Lalu saya ingat-ingat kapan dia mendapatkan kosakata tersebut. Baru kemudian
saya ingat ketika beberapa bulan yang lalu kami mengunjungi sebuah museum dan
saya sempat menanyakan ke petugas saat itu, jalan masuk ke museum lewat mana.
Rupanya hal ini terekam kuat di benak Idris dan Ilyas.
Saya sebagai ibu mereka sebenarnya sudah hafal kalau mereka
ini sering merekam hal-hal yang pernah kami alami bersama. Biasanya kemudian
akan ditirukan kembali di lain waktu. Buruknya, yang ternyata ditiru juga hal-hal
yang kurang baik.
Seperti ketika saya marah pada mereka, ketika tak kunjung
tidur, padahal hari sudah malam. “Ya udahlah, Ibu tak keluar aja (keluar kamar
maksudnya), adik nggak tidur-tidur..” “Aaa..
jangan ibu..” Hasilnya sudah dapat dipastikan. Suatu ketika saat marah, entah
pada saya atau kembarannya, mereka menirukan, “Ooo.. Ya sudah Idrisnya tak
keluar aja.. Makanya..”(bla bla bla.. sambil bersungut-sungut)
Beberapa bulan yang lalu Idris Ilyas memasuki dunia baru
mereka, yaitu sekolah. Saya sebut baru karena sebelumnya mereka tak pernah
bersentuhan secara rutin dengan dunia luar, selain kami semua yang ada di
rumah. Masa adaptasi mereka berdua tidak terlalu lama, untuk kemudian mengenal
dunia baru mereka. Siapa lagi kalau bukan para bu guru, teman-teman dan
lingkungan baru.
Dalam rentang waktu beberapa bulan ini saya banyak menemukan
hal-hal baru pada mereka berdua. Yang paling utama adalah perbendaharaan
kosakata baru. Tanpa saya minta, mereka sering menirukan ucapan teman-teman atau
bu gurunya di sekolah. Seperti misalnya, “MasyaAllah Galih, tasnya basah..”
“Bu Eva, tadi Rafi kesitu..” Atau
“Anak sholeh, siapa yang
mau nonton?” dan masih banyak lagi. Saya pikir pastinya banyak anak yang
seperti Idris Ilyas di sekolah. Karena anak-anak adalah peniru ulung, plagiator
handal. Meski tidak semuanya langsung ditirukan, setidaknya segala yang mereka
lihat, dengar, raba dan rasakan akan tetap tersimpan dalam memori
masing-masing. Hingga suatu saat akan muncul sebagai tindakan positif atau negatif,
tergantung inputnya. Saya tak bisa membayangkan seandainya yang mereka tiru
adalah perilaku negatif atau ucapan yang kurang sedap didengar.
Banyak orangtua hanya bisa mengeluh anaknya nakal, ngeyel,
susah diatur, suka ngamuk dsb, tanpa mereka mau introspeksi diri. Bukankah
orangtua panutan pertama anak-anak. Sudah baikkah contoh yang ia berikan pada
anak-anaknya. Bisa jadi ini sentilan dari-Nya, supaya kita lebih sabar mendidik
anak dan memberi contoh terbaik buat mereka.
Saya sendiri menganggap, plagiator di sekitar saya tidak
hanya anak-anak saya. Tapi juga anak-anak lain. Hal ini memberi saya pelajaran
bahwa saya harus berhati-hati terhadap ucapan, terutama saat ada anak-anak. Saya
harus selalu memperbaiki diri, melatih untuk mengeluarkan yang baik-baik saja,
baik perilaku maupun ucapan. Ini demi kebaikan anak-anak, penerus generasi.
Kita para orangtua, pendidik mereka, yang ‘mencetak’ mereka. Kalau kita
pemarah, mereka akan jadi pemarah. Kalau kita penggerutu, mereka akan hobi
menggerutu. Kalau kita cenderung menyalahkan orang lain, jangan heran jika
anak-anak gampang menyalahkan orang lain, dsb.
Mari kita memperbaiki diri, demi plagiator di sekitar kita..
Semoga Allah senantiasa memberi kemudahan..
Graha Asri, 29 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar