Beberapa bulan yang lalu, putra pertama kami Ahnaf berulang
tahun. Sebenarnya ulang tahun adalah hal biasa. Seperti ulang tahun-ulang tahun
sebelumnya. Biasanya kami hanya makan bersama, masak bersama atau membuat kue
bersama. Paling banter ya bagi-bagi tetangga. Yang utama bagi kami adalah berdoa bersama. Kami tak pernah
merayakan ulang tahun. Bukan apa-apa, karena tak biasa. Maka kepada anak-anak
kami menularkan apa yang tak biasa ini..
Yang menjadi hal istimewa saat ulang tahun mas Ahnaf, karena
untuk pertama kalinya ia tak berkumpul bersama kami. Ya, di ulang tahun ke-12 ini
dia sudah jauh di sana, menuntut ilmu di tempat yang diinginkannya, di sebuah
pondok di Jawa Timur.
Menjadi hal yang tak mudah karena komunikasi dengannya
begitu terbatas. Peraturan yang disiplin tak membolehkan santri membawa
perangkat elektronik bernama HP. Kalau mereka menelpon orangtua, harus ke wartel. Namun
harus menunggu waktu luang mereka yang jadwalnya begitu padat. Dan kalaupun
orang tua ingin menelpon anaknya, maka harus bersabar. Karena petugas penerima
telpon (yang jadi petugas sebenarnya santri juga, dengan jadwal piket
bergilir)akan mencatat nama santri, kelas, asal, rayon/asrama. Beberapa saat
telepon akan diputus dulu, untuk memberi waktu petugas telepon memanggil si
santri. Kalau beruntung, santri yang dipanggil akan datang tepat waktu seperti
yang dijanjikan. Sekali lagi, kalau beruntung.
Kenyataannya, praktiknya, susaah sekali untuk bisa beruntung
menemukan santri pada waktu yang sama. Adaa saja halangannya. Yang pasti biasanya,
waktu yang sempit, sedangkan jadwal kegiatan mereka begitu padat. Beberapa kali
saya pernah menelpon mas Ahnaf, sering gagal. Meski dua atau tiga kali pernah
nyambung. Rasanya legaaa sekali mendengar suaranya, mengetahui keadaannya.
Begitupun saat ulang tahunnya kemarin yang ke 12. Semingguan
sebelumnya saya sudah berusaha menelponnya, namun gagal. Saya maklum,
kegiatannya padat. Maka saya hanya pasrah padaNya, yakin Allah akan selalu
menjaga setiap langkah dan nafasnya. Saya hanya berharap di tengah
kesibukannya, dia menelpon saya, meski hanya memberi kabar. Tiap selesai sholat
saya memohon padaNya, ingin tahu keberadaannya, karena sudah hampir sebulan tak
tahu kabar mas Ahnaf.
Hingga suatu pagi di hari libur, setelah sholat subuh. Saya kepikiran dengan satu buku yang pernah
saya cari dalam beberapa bulan terakhir, namun tak menemukannya di toko buku,
yang online sekalipun. Buku itu sebenarnya sudah kami punya, namun dibawa mas
Ahnaf di pondok. Saya kepikiran untuk membelinya lagi, karena belum tuntas
bacanya. Entahlah, tiba-tiba saya ingat penulisnya. Ya, mengapa saya tak
mencoba cari nama penulisnya di FB. Pasti saya bisa berkomunikasi setidaknya
bertanya tentang keberadaan buku itu. Aha, saya dapatkan, saya add. Tanpa berharap
banyak akan dikonfirm, karena sering saya add beberapa penulis, namun tak
pernah dikonfirm. Saya maklum, biasanya para penulis, apalagi sudah terkenal,
sibuk sekali atau jumlahnya penuh. Tak disangka tak dinyana, dalam waktu sekian
detik, permintaan pertemanan saya dikonfirm oleh penulis tersebut. Betapa
bahagianya saya waktu itu, sejenak melupakan kesedihan karena sering gagal
menelpon putra saya. Tanpa pikir panjang, saya sampaikan keinginan saya untuk
membeli buku yang saya maksud, bisa diperoleh dimana. Dia langsung menunjukkan
pada saya link penjualan buku online, dan langsung nyambung. Singkat cerita,
buku itu sudah di tangan saya.
Ternyata, pertemanan saya dengan penulis tadi, tak hanya berbuah
buku. Beberapa saat setelah itu, di statusnya, dia mengingatkan tentang ajakan
nulis buku bareng dengannya, tentang kisah keajaiban ibadah, yang tenggat
waktunya tinggal sehari lagi.
Sekilas saya tertarik, namun waktunya tinggal sehari. Saya
tanya apakah boleh mengirim tulisan yang sudah pernah diposting di blog?
Katanya boleh. Tanpa pikir panjang, saya edit ulang tulisan saya, untuk
mengoreksi kalau saja ada EYD yang kurang. Hari itu juga, tepat di hari ulang
tahun putra saya, saya kirimkan tulisan tersebut. Isi tulisan tersebut juga
tentang perjuangan mas Ahnaf, ketika kami masih bersama dulu. Sambil berdoa
saya berharap padaNya. Jika kisah ini baik, bermanfaat buat orang banyak,
insyaAllah akan diterima. Dengan mengucap ‘Bismillah’, saya klik ‘send’.
Beberapa hari setelah itu, usai sholat, mukena pun belum
saya tanggalkan, HP saya berdering. Dari mas Ahnaf, Alhamdulillah ya Allah.
Setelah sekian lama saya berharap, akhirnya dia menelpon saya. Memberi kabar
kalau dia baik-baik saja dan sehat. Saya ingatkan kalau dia ulang tahun, meski sudah
lewat rasanya tak terlambat untuk mengucap. Ketika pembicaraan kami usai, saya
langsung bersujud. Air mata saya tak henti mengalir. Yaa Allah, terimakasih
telah memperdengarkan suara putraku, memberi kabar keadaannya di sana. Air mata
yang tumpah ini wujud syukur atas doa-doa yang tiap habis sholat selalu saya
panjatkan pada-Nya.
Wahai kawan, jika engkau ingin tahu bagaimana rasanya rindu
dengan putramu, maka jika engkau jauh dengannya, itulah sebenar-benarnya rindu.
Doa-doamu akan terasa lebih syahdu jika ia tak disisimu, dibanding saat bersama
dulu. Dengannya pula saya teringat doa-doa Ibu pada anak-anaknya dulu..
Kira-kira beberapa pekan setelah itu, kabar bahagia kembali
datang. Tulisan saya terpilih bersama penulis yang lain, untuk dibukukan.
Tulisan yang saya kirim di hari ulang tahun mas Ahnaf itu, saya anggap kado
untuknya. Kado di hari ulang tahunnya yang ke-12, saat pertama kalinya dia tak
ada di sisi saya..
Harris, Tebet, 22 Maret 2013 (teruslah berbuat baik,
Putraku..)
Inilah buku itu, yang memuat tulisanku, tentang putraku...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar