Jumat, 22 Maret 2013

Kado Ulang Tahun Untuk Putraku



Beberapa bulan yang lalu, putra pertama kami Ahnaf berulang tahun. Sebenarnya ulang tahun adalah hal biasa. Seperti ulang tahun-ulang tahun sebelumnya. Biasanya kami hanya makan bersama, masak bersama atau membuat kue bersama. Paling banter ya bagi-bagi tetangga. Yang utama bagi kami adalah berdoa bersama.  Kami tak pernah merayakan ulang tahun. Bukan apa-apa, karena tak biasa. Maka kepada anak-anak kami menularkan apa yang tak biasa ini..


Yang menjadi hal istimewa saat ulang tahun mas Ahnaf, karena untuk pertama kalinya ia tak berkumpul bersama kami. Ya, di ulang tahun ke-12 ini dia sudah jauh di sana, menuntut ilmu di tempat yang diinginkannya, di sebuah pondok di Jawa Timur.

Menjadi hal yang tak mudah karena komunikasi dengannya begitu terbatas. Peraturan yang disiplin tak membolehkan santri membawa perangkat elektronik bernama HP. Kalau mereka  menelpon orangtua, harus ke wartel. Namun harus menunggu waktu luang mereka yang jadwalnya begitu padat. Dan kalaupun orang tua ingin menelpon anaknya, maka harus bersabar. Karena petugas penerima telpon (yang jadi petugas sebenarnya santri juga, dengan jadwal piket bergilir)akan mencatat nama santri, kelas, asal, rayon/asrama. Beberapa saat telepon akan diputus dulu, untuk memberi waktu petugas telepon memanggil si santri. Kalau beruntung, santri yang dipanggil akan datang tepat waktu seperti yang dijanjikan. Sekali lagi, kalau beruntung.

Kenyataannya, praktiknya, susaah sekali untuk bisa beruntung menemukan santri pada waktu yang sama. Adaa saja halangannya. Yang pasti biasanya, waktu yang sempit, sedangkan jadwal kegiatan mereka begitu padat. Beberapa kali saya pernah menelpon mas Ahnaf, sering gagal. Meski dua atau tiga kali pernah nyambung. Rasanya legaaa sekali mendengar suaranya, mengetahui keadaannya.

Begitupun saat ulang tahunnya kemarin yang ke 12. Semingguan sebelumnya saya sudah berusaha menelponnya, namun gagal. Saya maklum, kegiatannya padat. Maka saya hanya pasrah padaNya, yakin Allah akan selalu menjaga setiap langkah dan nafasnya. Saya hanya berharap di tengah kesibukannya, dia menelpon saya, meski hanya memberi kabar. Tiap selesai sholat saya memohon padaNya, ingin tahu keberadaannya, karena sudah hampir sebulan tak tahu kabar mas Ahnaf.

Hingga suatu pagi di hari libur, setelah sholat subuh.  Saya kepikiran dengan satu buku yang pernah saya cari dalam beberapa bulan terakhir, namun tak menemukannya di toko buku, yang online sekalipun. Buku itu sebenarnya sudah kami punya, namun dibawa mas Ahnaf di pondok. Saya kepikiran untuk membelinya lagi, karena belum tuntas bacanya. Entahlah, tiba-tiba saya ingat penulisnya. Ya, mengapa saya tak mencoba cari nama penulisnya di FB. Pasti saya bisa berkomunikasi setidaknya bertanya tentang keberadaan buku itu. Aha, saya dapatkan, saya add. Tanpa berharap banyak akan dikonfirm, karena sering saya add beberapa penulis, namun tak pernah dikonfirm. Saya maklum, biasanya para penulis, apalagi sudah terkenal, sibuk sekali atau jumlahnya penuh. Tak disangka tak dinyana, dalam waktu sekian detik, permintaan pertemanan saya dikonfirm oleh penulis tersebut. Betapa bahagianya saya waktu itu, sejenak melupakan kesedihan karena sering gagal menelpon putra saya. Tanpa pikir panjang, saya sampaikan keinginan saya untuk membeli buku yang saya maksud, bisa diperoleh dimana. Dia langsung menunjukkan pada saya link penjualan buku online, dan langsung nyambung. Singkat cerita, buku itu sudah di tangan saya.

Ternyata, pertemanan saya dengan penulis tadi, tak hanya berbuah buku. Beberapa saat setelah itu, di statusnya, dia mengingatkan tentang ajakan nulis buku bareng dengannya, tentang kisah keajaiban ibadah, yang tenggat waktunya tinggal sehari lagi.

Sekilas saya tertarik, namun waktunya tinggal sehari. Saya tanya apakah boleh mengirim tulisan yang sudah pernah diposting di blog? Katanya boleh. Tanpa pikir panjang, saya edit ulang tulisan saya, untuk mengoreksi kalau saja ada EYD yang kurang. Hari itu juga, tepat di hari ulang tahun putra saya, saya kirimkan tulisan tersebut. Isi tulisan tersebut juga tentang perjuangan mas Ahnaf, ketika kami masih bersama dulu. Sambil berdoa saya berharap padaNya. Jika kisah ini baik, bermanfaat buat orang banyak, insyaAllah akan diterima. Dengan mengucap ‘Bismillah’, saya klik ‘send’.

Beberapa hari setelah itu, usai sholat, mukena pun belum saya tanggalkan, HP saya berdering. Dari mas Ahnaf, Alhamdulillah ya Allah. Setelah sekian lama saya berharap, akhirnya dia menelpon saya. Memberi kabar kalau dia baik-baik saja dan sehat. Saya ingatkan kalau dia ulang tahun, meski sudah lewat rasanya tak terlambat untuk mengucap. Ketika pembicaraan kami usai, saya langsung bersujud. Air mata saya tak henti mengalir. Yaa Allah, terimakasih telah memperdengarkan suara putraku, memberi kabar keadaannya di sana. Air mata yang tumpah ini wujud syukur atas doa-doa yang tiap habis sholat selalu saya panjatkan pada-Nya.

Wahai kawan, jika engkau ingin tahu bagaimana rasanya rindu dengan putramu, maka jika engkau jauh dengannya, itulah sebenar-benarnya rindu. Doa-doamu akan terasa lebih syahdu jika ia tak disisimu, dibanding saat bersama dulu. Dengannya pula saya teringat doa-doa Ibu pada anak-anaknya dulu..

Kira-kira beberapa pekan setelah itu, kabar bahagia kembali datang. Tulisan saya terpilih bersama penulis yang lain, untuk dibukukan. Tulisan yang saya kirim di hari ulang tahun mas Ahnaf itu, saya anggap kado untuknya. Kado di hari ulang tahunnya yang ke-12, saat pertama kalinya dia tak ada di sisi saya..

Harris, Tebet, 22 Maret 2013 (teruslah berbuat baik, Putraku..) 
Inilah buku itu, yang memuat tulisanku, tentang putraku...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar