Sabtu, 31 Desember 2011

Hidayah Itu Datang Di Tempat Yang Dilarang Berjilbab!!

Setelah membaca resensi antologi uni Dian Onasis yg berjudul ‘Dan Aku Pun Berjilbab’, tiba-tiba saya teringat pengalaman saat pertama kali berjilbab, awal tahun 1996.
Tahun 1995 setelah lulus SMA, saya diterima di sebuah Perguruan Tinggi Kedinasan, setelah melewati seleksi yang cukup ketat;  tes tulis, kesamaptaan, wawancara dan kesehatan. Saat itu saya boleh bangga dapat lolos dari ribuan peserta dari seluruh tanah air untuk menduduki sekitar 160 bangku kuliah yang disediakan. Tujuan utama saya waktu itu adalah karena bebasnya biaya kuliah. Bahkan beberapa fasilitas lainnya seperti uang saku, perlengkapan kuliah, makan siang, dll. Bahkan setelah lulus pun ada jaminan penempatan kerja dalam grup perusahaan.

Sebagai sekolah teknik, baru kemudian saya tahu bahwa rekan-rekan saya sebagian besar laki-laki. Kami kaum perempuan adalah makhluk minoritas yang jumlahnya tak sampai 10%. Di jurusan kami saja jumlahnya hanya dua orang, termasuk saya.
Risih? Pertama iya. Ada sedikit rasa khawatir bagaimana seandainya nanti kami dilecehkan? Tapi lambat laun kemudian kami terbiasa karena senior kami juga ada yang perempuan, dan dosennya pun ada yang perempuan. Justru kemudian rekan-rekan satu jurusan lebih menghargai  kami kaum minoritas ini.
Bahkan di tengah penuhnya pemandangan laki-laki, suasana relijius di kampus relatif lebih kental. Meski kemudian saya merasakan ada satu kejanggalan. Tentang beberapa senior perempuan yang ketika di luar kampus berjilbab, ternyata di dalam kampus mereka mencopot jilbabnya. Mengapa? Karena di kampus ini dilarang memakai jilbab.
Kawasan kampus yang menjadi satu dengan kawasan industri adalah area terlarang untuk mengenakan busana muslimah. Hukumannya tidak main-main, DO alias drop out. Sehari-hari di kampus kami diwajibkan memakai seragam, termasuk topi. Demikian juga para senior perempuan waktu itu, mereka tetap berseragam, namun mencopot jilbabnya. Di manakah mereka mencopot jilbab dan rok panjang mereka?
Kampus kami berada di kawasan industri yang terdiri dari beberapa perusahaan.  Meski demikian pintu masuk karyawan hanya satu saja, yaitu di bagian depan. Nah, di gerbang masuk inilah ada sebuah kantor sekuriti, di mana kami diperbolehkan  berganti busana ketika akan masuk kampus. Demikian pula saat keluar kampus, mereka mengenakan kembali jilbabnya di tempat ini.
Awalnya saya melihat itu sebagai hal yang merepotkan. Ya sudah kalau memang mau dicopot buat apa harus berjilbab segala. Toh nanti di dalam kampus aurat terbuka kembali, apalagi kemudian yang melihat rekan-rekan yang sebagian besar laki-laki. Atau kalau pun memang berkomitmen mau berjilbab ya sudah terima saja resiko DO. Suara-suara sumbang seperti itu kadang terdengar bahkan saya pun waktu itu sempat membenarkannya. Tapi para senior tadi sepertinya tidak mau ambil pusing, bahkan mereka semakin kukuh keyakinannya dengan segala keterbatasan ini.
“Beginipun masih lebih baik daripada tidak berjilbab sama sekali.” Begitu salah satu senior berkata.
Lama saya berpikir, memang benar apa yang dikatakan salah satu senior kami tadi. Ritme yang mereka jalani benar-benar penuh resiko, dan hanya orang-orang  yang berani saja yang mampu menjalaninya. Seandainya mereka kedapatan berjilbab di kampus tentu resiko DO harus siap diterima.
Di tengah suara sumbang tadi, saya sedikit teringat tentang suatu peristiwa yang pernah  menimpa saya. Ceritanya begini:
Suatu ketika saat masih menjalani pra-opspek, saya kebagian tugas khusus membawa mercon untuk dibawa pada saat opspek nanti. Saya yang masih asing di kota ini merasa kebingungan, di mana harus mencari mercon sesuai spesifikasi yang diminta panitia. Mereka meminta  mercon besar yang biasanya dipakai untuk tanjidor*). Rekan-rekan yang lain juga sama asingnya di kota ini dan kebagian tugas lain lagi. Akhirnya setelah tanya sana sini ternyata mercon yang dimaksud dijual di Pasar Anyar. Namun saya belum tahu tempat itu. Saya beranikan diri berangkat sendirian ke Pasar Anyar. Penampilan saya saat itu masih seperti biasa, bercelana jeans dan kaos T-shirt, tergolong aman dan wajar. Namun sayangnya Pasar Anyar tak kunjung saya temukan. Berkali-kali saya naik angkot dan hanya dinaik-turunkan di beberapa tempat yang asing bagi saya.
Tiba-tiba ada seorang lelaki bersedia menunjukkan arah yang saya maksud. “Oo, bareng saya saja, naik angkot ini,” katanya. Setengah ragu saya pun menurut. Dari pada tidak jelas seperti ini. Di suatu tempat ia mengajak turun, mungkin hampir sampai dan saya sedikit lega. Dia mengajak masuk gang. Tetapi saya mulai ragu, apa benar pasar seperti ini? Sampailah kami di rumah bertingkat dan perasaan saya mengatakan ini adalah kos-kosan laki-laki. Banyak jemuran menggantung di depan kamar-kamar.
Dia masuk dan menyuruh saya menunggu di teras. Saya merasa deg-degan, takut terjadi apa-apa. Ketika dia menghilang di balik pintu, hati saya berkata kalau saya harus secepatnya pergi dari sini, ada yang tidak beres. Sepersekian detik saya berbalik arah, lari sekencang-kencangnya. Sampai di jalan saya menghentikan angkot apa saja, tak peduli nanti tersesat lagi, yang penting selamat dari lelaki tadi. Sambil ngos-ngosan saya bertanya ke supir, “Ini di mana Pak?” Hosh-hosh.. Napas saya memburu.
“Di Mauk Neng. Eneng mau kemana?”
“Ke Pasar Anyar, Pak. Angkot  ini lewat nggak?”
“Nggak lewat, Neng. Tapi nanti saya turunin, Eneng naik angkot lagi ya, habis itu langsung ke Pasar Anyar.”
Ternyata benar dan sampailah saya di tempat tujuan. Saya masih berpikir bagaimana seandainya ditipu lelaki yang tadi. Diberi minum yang ada obat biusnya atau... Hah, serem rasanya membayangkan.
Peristiwa pra-opspek tadi, (yang belum pernah saya ceritakan pada siapapun, kecuali akhirnya pada suami), kemudian membawa saya pada titik bahwa sebaiknya saya berjilbab, seperti senior-senior di kampus. Rasanya takut bila membayangkan peristiwa dulu terulang lagi. Namun saya menyadari, kalau saya sebenarnya masih belum pantas. Masih banyak kekurangan pada diri ini. Belum lagi terbayang soal DO. Bagaimana memberikan alasan yang tepat pada orang tua jika itu memang terjadi, lalu mereka kecewa.  Keinginan dan kekhawatiran itu selalu maju mundur. Saya merasa belum siap.
Pada suatu periode kami mendapatkan proyek paruh waktu di sebuah lembaga entry data di Jakarta. Tentu saja di luar jam kuliah. Kendaraan yang disediakan oleh perusahaan menjemput kami dari dalam kampus. Salah satu senior perempuan yang berjilbab waktu itu masuk dalam satu grup bersama saya. Saya sudah membayangkan rasa was-was yang dihadapi senior ini. Saat di dalam kampus kami tentu saja masih mengenakan seragam, tanpa jilbab. Tetapi karena kendaraan menjemput kami dari dalam kampus, dia tidak dapat berganti di gerbang kampus. Mau berjilbab dari dalam kampus tidak mungkin, karena pimpinan dan dosen-dosen pengawas masih berada di kampus. Kasihan sekali, akhirnya dia belum berjilbab hingga sampai di kantor entry data tersebut. Begitu turun kendaraan, tempat yang ditujunya adalah toilet. Secepat kilat dia berganti jilbab, dan dengan penuh keberanian menunjukkan identitas muslimahnya. Sungguh hal seperti itu membuat saya kembali ragu seandainya saya yang mengalaminya, sanggupkah berbuat senekat itu?
“Bismillah saja, Allah akan selalu melindungi jika di hati kita memang ada niat bertakwa,” katanya di kemudian hari. Saya pun kembali berikhtiar. Memohon petunjuk padaNya, jika jalan ini terbaik bagi saya, insyaAllah akan segera sampai. Alhamdulillah uang saku yang kami dapat dari pekerjaan paruh waktu beberapa bulan lalu hasilnya lumayan. Saya mulai dapat membeli baju dan kaos panjang, juga beberapa jilbab. Senang rasanya dapat membelanjakan uang hasil keringat sendiri. Semua itu untuk keperluan jika nanti saya sudah siap berjilbab.
Hingga di awal tahun 1996, tepat 1 Ramadhan, saya bersama teman perempuan satu angkatan berdoa memohon petunjuk padaNya. Saat itu kami memulai hari menutup dan membuka aurat. Seragam atasan yang berlengan panjang  kami kenakan bersama bawahan panjang supaya memudahkan jika nanti berganti rok seragam. Kaos kaki pun kami koleksi yang panjang-panjang supaya lebih tertutup. Jilbab yang kami pakai jilbab kaos yang lebih mudah memakainya.  Tak lupa topi yang memang wajib dikenakan, alih-alih menggantikan jilbab. Di dalam kampus teman-teman pria tidak ada yang tahu, karena pakaian kami masih seperti biasa. Begitu pula saat ke bengkel mekanik, baju wearpack yang berlengan pendek kami lapisi dulu dengan kaos lengan panjang.
Kadang-kadang jika kuliah sampai sore, atau masih ada kegiatan lain, kami menunggu sampai kampus sepi. Kami pun dapat mengenakan jilbab tanpa harus diketahui pimpinan atau dosen. Senang rasanya pulang berjilbab dari kampus, serasa merdeka, meski hanya sesaat. Beberapa bulan kemudian teman-teman perempuan lainnya banyak yang menyusul,  bertambah teman seperjuangan, berganti kostum pagi dan sore.
Hal yang kemudian menjadi perjuangan turun temurun dari senior-senior  kami adalah bagaimana memperjuangkan ijin ke pihak pimpinan untuk mengenakan jilbab secara legal di kampus. Proposal demi proposal kami ajukan dengan sangat hati-hati, dengan bantuan teman dari Rohis. Bagaimana kami menggambarkan bahwa jilbab yang kami kenakan tidak akan mengganggu aktivitas keseharian dalam perkuliahan dan praktek. Pernah suatu kali kami berfoto layaknya model dengan baju seragam tanpa jilbab dan baju seragam berjilbab. Foto-foto itu kemudian kami sertakan dalam proposal berikutnya. Namun untuk kesekian kali ditolak pimpinan. Hingga saya lulus dan ditempatkan bekerja pun, saat itu jilbab masih dilarang di area kampus. Yang membuat saya lega justru pihak perusahaan di mana saya ditempatkan bekerja memperbolehkan kami memakai jilbab. Alhamdulillah.
Beberapa tahun setelah itu terdengar kabar melegakan bahwa di kampus telah diperbolehkan mengenakan jilbab. Kami ikut senang bahwa adik-adik yunior telah dapat leluasa mengenakan jilbab tanpa harus membuka tutup aurat seperti kami dulu.
Terima kasih pada senior-senior  yang dulu menyemangati agar mantap dalam berjilbab, kepada pimpinan sekuriti yang ikhlas mengijinkan ruang kantornya sebagai tempat kami membuka dan menutup jilbab. Juga pada pimpinan yang kemudian berlapang hati mengijinkan yunior kami bebas berjilbab ke kampus. Sebuah perjuangan tak kenal lelah, karena hidayah itu justru datang di tempat yang dilarang berjilbab!! Subhanallah…

Graha Asri, 31 Desember 2011


6 komentar:

  1. kisahnya nyaris sama dgn yg kami alami dulu. bedanya aku masih di STM, sekitar thn 1993. Kami ganti jilbabnya sambil lari2 ke arah parkiran, seusai apel sebelum pulang.

    BalasHapus
  2. hari2 senantiasa dipenuhi rasa deg2an ya mbak.. tapi Alhamdulillah.. selalu ada jalan.. semoga tetap istiqomah ya mbak..

    BalasHapus
  3. subhanAlloh perjuangannya..
    semoga yang sekarang 'bebas' berjilbab, paham akan hakikat jilbab dan hijabnya :)

    BalasHapus