Setelah membaca resensi antologi uni Dian Onasis yg
berjudul ‘Dan Aku Pun Berjilbab’, tiba-tiba saya teringat pengalaman saat
pertama kali berjilbab, awal tahun 1996.
Tahun 1995 setelah lulus SMA, saya diterima di
sebuah Perguruan Tinggi Kedinasan, setelah melewati seleksi yang cukup ketat; tes tulis, kesamaptaan, wawancara dan
kesehatan. Saat itu saya boleh bangga dapat lolos dari ribuan peserta dari
seluruh tanah air untuk menduduki sekitar 160 bangku kuliah yang disediakan.
Tujuan utama saya waktu itu adalah karena bebasnya biaya kuliah. Bahkan
beberapa fasilitas lainnya seperti uang saku, perlengkapan kuliah, makan siang,
dll. Bahkan setelah lulus pun ada jaminan penempatan kerja dalam grup
perusahaan.
Sebagai
sekolah teknik, baru kemudian saya tahu bahwa rekan-rekan saya sebagian besar
laki-laki. Kami kaum perempuan adalah makhluk minoritas yang jumlahnya tak
sampai 10%. Di jurusan kami saja jumlahnya hanya dua orang, termasuk saya.
Risih?
Pertama iya. Ada sedikit rasa khawatir bagaimana seandainya nanti kami
dilecehkan? Tapi lambat laun kemudian kami terbiasa karena senior kami juga ada
yang perempuan, dan dosennya pun ada yang perempuan. Justru kemudian rekan-rekan
satu jurusan lebih menghargai kami kaum
minoritas ini.
Bahkan
di tengah penuhnya pemandangan laki-laki, suasana relijius di kampus relatif
lebih kental. Meski kemudian saya merasakan ada satu kejanggalan. Tentang
beberapa senior perempuan yang ketika di luar kampus berjilbab, ternyata di
dalam kampus mereka mencopot jilbabnya. Mengapa? Karena di kampus ini dilarang
memakai jilbab.
Kawasan
kampus yang menjadi satu dengan kawasan industri adalah area terlarang untuk
mengenakan busana muslimah. Hukumannya tidak main-main, DO alias drop out. Sehari-hari di kampus kami
diwajibkan memakai seragam, termasuk topi. Demikian juga para senior perempuan
waktu itu, mereka tetap berseragam, namun mencopot jilbabnya. Di manakah mereka
mencopot jilbab dan rok panjang mereka?
Kampus
kami berada di kawasan industri yang terdiri dari beberapa perusahaan. Meski demikian pintu masuk karyawan hanya
satu saja, yaitu di bagian depan. Nah, di gerbang masuk inilah ada sebuah
kantor sekuriti, di mana kami diperbolehkan
berganti busana ketika akan masuk kampus. Demikian pula saat keluar
kampus, mereka mengenakan kembali jilbabnya di tempat ini.
Awalnya
saya melihat itu sebagai hal yang merepotkan. Ya sudah kalau memang mau dicopot
buat apa harus berjilbab segala. Toh nanti di dalam kampus aurat terbuka
kembali, apalagi kemudian yang melihat rekan-rekan yang sebagian besar
laki-laki. Atau kalau pun memang berkomitmen mau berjilbab ya sudah terima saja
resiko DO. Suara-suara sumbang seperti itu kadang terdengar bahkan saya pun waktu
itu sempat membenarkannya. Tapi para senior tadi sepertinya tidak mau ambil
pusing, bahkan mereka semakin kukuh keyakinannya dengan segala keterbatasan
ini.
“Beginipun
masih lebih baik daripada tidak berjilbab sama sekali.” Begitu salah satu
senior berkata.
Lama
saya berpikir, memang benar apa yang dikatakan salah satu senior kami tadi.
Ritme yang mereka jalani benar-benar penuh resiko, dan hanya orang-orang yang berani saja yang mampu menjalaninya.
Seandainya mereka kedapatan berjilbab di kampus tentu resiko DO harus siap
diterima.
Di
tengah suara sumbang tadi, saya sedikit teringat tentang suatu peristiwa yang
pernah menimpa saya. Ceritanya begini:
Suatu
ketika saat masih menjalani pra-opspek, saya kebagian tugas khusus membawa
mercon untuk dibawa pada saat opspek nanti. Saya yang masih asing di kota ini
merasa kebingungan, di mana harus mencari mercon sesuai spesifikasi yang
diminta panitia. Mereka meminta mercon
besar yang biasanya dipakai untuk tanjidor*). Rekan-rekan yang lain juga sama
asingnya di kota ini dan kebagian tugas lain lagi. Akhirnya setelah tanya sana
sini ternyata mercon yang dimaksud dijual di Pasar Anyar. Namun saya belum tahu
tempat itu. Saya beranikan diri berangkat sendirian ke Pasar Anyar. Penampilan
saya saat itu masih seperti biasa, bercelana jeans dan kaos T-shirt, tergolong
aman dan wajar. Namun sayangnya Pasar Anyar tak kunjung saya temukan.
Berkali-kali saya naik angkot dan hanya dinaik-turunkan di beberapa tempat yang
asing bagi saya.
Tiba-tiba
ada seorang lelaki bersedia menunjukkan arah yang saya maksud. “Oo, bareng saya
saja, naik angkot ini,” katanya. Setengah ragu saya pun menurut. Dari pada
tidak jelas seperti ini. Di suatu tempat ia mengajak turun, mungkin hampir
sampai dan saya sedikit lega. Dia mengajak masuk gang. Tetapi saya mulai ragu,
apa benar pasar seperti ini? Sampailah kami di rumah bertingkat dan perasaan
saya mengatakan ini adalah kos-kosan laki-laki. Banyak jemuran menggantung di
depan kamar-kamar.
Dia
masuk dan menyuruh saya menunggu di teras. Saya merasa deg-degan, takut terjadi
apa-apa. Ketika dia menghilang di balik pintu, hati saya berkata kalau saya
harus secepatnya pergi dari sini, ada yang tidak beres. Sepersekian detik saya
berbalik arah, lari sekencang-kencangnya. Sampai di jalan saya menghentikan
angkot apa saja, tak peduli nanti tersesat lagi, yang penting selamat dari
lelaki tadi. Sambil ngos-ngosan saya bertanya ke supir, “Ini di mana Pak?”
Hosh-hosh.. Napas saya memburu.
“Di
Mauk Neng. Eneng mau kemana?”
“Ke
Pasar Anyar, Pak. Angkot ini lewat
nggak?”
“Nggak
lewat, Neng. Tapi nanti saya turunin, Eneng naik angkot lagi ya, habis itu
langsung ke Pasar Anyar.”
Ternyata
benar dan sampailah saya di tempat tujuan. Saya masih berpikir bagaimana
seandainya ditipu lelaki yang tadi. Diberi minum yang ada obat biusnya atau...
Hah, serem rasanya membayangkan.
Peristiwa
pra-opspek tadi, (yang belum pernah saya ceritakan pada siapapun, kecuali
akhirnya pada suami), kemudian membawa saya pada titik bahwa sebaiknya saya
berjilbab, seperti senior-senior di kampus. Rasanya takut bila membayangkan
peristiwa dulu terulang lagi. Namun saya menyadari, kalau saya sebenarnya masih
belum pantas. Masih banyak kekurangan pada diri ini. Belum lagi terbayang soal
DO. Bagaimana memberikan alasan yang tepat pada orang tua jika itu memang
terjadi, lalu mereka kecewa. Keinginan
dan kekhawatiran itu selalu maju mundur. Saya merasa belum siap.
Pada
suatu periode kami mendapatkan proyek paruh waktu di sebuah lembaga entry data
di Jakarta. Tentu saja di luar jam kuliah. Kendaraan yang disediakan oleh
perusahaan menjemput kami dari dalam kampus. Salah satu senior perempuan yang
berjilbab waktu itu masuk dalam satu grup bersama saya. Saya sudah membayangkan
rasa was-was yang dihadapi senior ini. Saat di dalam kampus kami tentu saja
masih mengenakan seragam, tanpa jilbab. Tetapi karena kendaraan menjemput kami
dari dalam kampus, dia tidak dapat berganti di gerbang kampus. Mau berjilbab
dari dalam kampus tidak mungkin, karena pimpinan dan dosen-dosen pengawas masih
berada di kampus. Kasihan sekali, akhirnya dia belum berjilbab hingga sampai di
kantor entry data tersebut. Begitu turun kendaraan, tempat yang ditujunya
adalah toilet. Secepat kilat dia berganti jilbab, dan dengan penuh keberanian
menunjukkan identitas muslimahnya. Sungguh hal seperti itu membuat saya kembali
ragu seandainya saya yang mengalaminya, sanggupkah berbuat senekat itu?
“Bismillah
saja, Allah akan selalu melindungi jika di hati kita memang ada niat bertakwa,”
katanya di kemudian hari. Saya pun kembali berikhtiar. Memohon petunjuk
padaNya, jika jalan ini terbaik bagi saya, insyaAllah akan segera sampai.
Alhamdulillah uang saku yang kami dapat dari pekerjaan paruh waktu beberapa
bulan lalu hasilnya lumayan. Saya mulai dapat membeli baju dan kaos panjang,
juga beberapa jilbab. Senang rasanya dapat membelanjakan uang hasil keringat
sendiri. Semua itu untuk keperluan jika nanti saya sudah siap berjilbab.
Hingga
di awal tahun 1996, tepat 1 Ramadhan, saya bersama teman perempuan satu
angkatan berdoa memohon petunjuk padaNya. Saat itu kami memulai hari menutup
dan membuka aurat. Seragam atasan yang berlengan panjang kami kenakan bersama bawahan panjang supaya
memudahkan jika nanti berganti rok seragam. Kaos kaki pun kami koleksi yang
panjang-panjang supaya lebih tertutup. Jilbab yang kami pakai jilbab kaos yang
lebih mudah memakainya. Tak lupa topi
yang memang wajib dikenakan, alih-alih menggantikan jilbab. Di dalam kampus
teman-teman pria tidak ada yang tahu, karena pakaian kami masih seperti biasa.
Begitu pula saat ke bengkel mekanik, baju wearpack yang berlengan pendek kami
lapisi dulu dengan kaos lengan panjang.
Kadang-kadang
jika kuliah sampai sore, atau masih ada kegiatan lain, kami menunggu sampai
kampus sepi. Kami pun dapat mengenakan jilbab tanpa harus diketahui pimpinan
atau dosen. Senang rasanya pulang berjilbab dari kampus, serasa merdeka, meski
hanya sesaat. Beberapa bulan kemudian teman-teman perempuan lainnya banyak yang
menyusul, bertambah teman seperjuangan,
berganti kostum pagi dan sore.
Hal
yang kemudian menjadi perjuangan turun temurun dari senior-senior kami adalah bagaimana memperjuangkan ijin ke
pihak pimpinan untuk mengenakan jilbab secara legal di kampus. Proposal demi
proposal kami ajukan dengan sangat hati-hati, dengan bantuan teman dari Rohis.
Bagaimana kami menggambarkan bahwa jilbab yang kami kenakan tidak akan
mengganggu aktivitas keseharian dalam perkuliahan dan praktek. Pernah suatu
kali kami berfoto layaknya model dengan baju seragam tanpa jilbab dan baju
seragam berjilbab. Foto-foto itu kemudian kami sertakan dalam proposal
berikutnya. Namun untuk kesekian kali ditolak pimpinan. Hingga saya lulus dan
ditempatkan bekerja pun, saat itu jilbab masih dilarang di area kampus. Yang
membuat saya lega justru pihak perusahaan di mana saya ditempatkan bekerja
memperbolehkan kami memakai jilbab. Alhamdulillah.
Beberapa
tahun setelah itu terdengar kabar melegakan bahwa di kampus telah diperbolehkan
mengenakan jilbab. Kami ikut senang bahwa adik-adik yunior telah dapat leluasa
mengenakan jilbab tanpa harus membuka tutup aurat seperti kami dulu.
Terima
kasih pada senior-senior yang dulu
menyemangati agar mantap dalam berjilbab, kepada pimpinan sekuriti yang ikhlas
mengijinkan ruang kantornya sebagai tempat kami membuka dan menutup jilbab.
Juga pada pimpinan yang kemudian berlapang hati mengijinkan yunior kami bebas
berjilbab ke kampus. Sebuah perjuangan tak kenal lelah, karena hidayah itu
justru datang di tempat yang dilarang berjilbab!! Subhanallah…
Graha Asri, 31 Desember
2011
kisahnya nyaris sama dgn yg kami alami dulu. bedanya aku masih di STM, sekitar thn 1993. Kami ganti jilbabnya sambil lari2 ke arah parkiran, seusai apel sebelum pulang.
BalasHapushari2 senantiasa dipenuhi rasa deg2an ya mbak.. tapi Alhamdulillah.. selalu ada jalan.. semoga tetap istiqomah ya mbak..
BalasHapusaminnn. :-)
BalasHapussubhanAlloh perjuangannya..
BalasHapussemoga yang sekarang 'bebas' berjilbab, paham akan hakikat jilbab dan hijabnya :)
semoga saja ya mbak..
BalasHapusaamiin :)
BalasHapus