Rabu, 07 Desember 2011

Keikhlasan Seorang Guru

Akhir2 ini perhatian saya banyak tertuju pada persiapan UASBN anak saya. Sebenarnya saya tidak ingin menjadikan beban buatnya yang kini duduk di bangku kelas 6. Tetapi mau tidak mau meski UASBN tidaklah boleh menjadi hal yang ditakuti siswa, namun tetap harus dipersiapkan dengan matang. Apa pasal?

Pertama, saya harus bisa bahu membahu dengan pihak sekolah untuk membantu anak saya menghadapinya, artinya di rumah pun tetap harus diajari.


Kedua, di saat seperti ini banyak teman2nya yang mengikuti bimbingan belajar di luar jam sekolah. Di Serang saat ini lembaga bimbel menjamur dimana2. Namun ketika ditawari anak saya tidak mau mengikuti satu bimbel pun. “Nggak mau, maunya belajar sama Ibu saja,” katanya. Artinya saya harus telaten dan memperkuat kesabaran mengajarinya di rumah setiap hari.



Di tengah2 itu semua tiba2 ingatan saya melompat menembus jarak & waktu, sejauh  lebih dari 1000 km, di lereng Gunung Argopuro. Di sebuah desa yang sejuk di ketinggian kira2 1200 mdpl, 22 tahun silam. Di sebuah kelas berisi murid kelas 6 SD, dengan seorang guru di dalamnya. Hari itu pekerjaan kami adalah menyalin soal2. Ya, itulah pekerjaan kami beberapa bulan ini. Entah dari mana ribuan soal itu berasal. Tapi selama setahun itu nyaris tak ada lagi pelajaran selain menyalin soal, berlatih mengerjakan, mengoreksi, mengulang2nya lagi.


Malamnya kami mengulangnya di rumah bersama teman2 satu kelompok, bergantian berpindah2 dari satu rumah ke rumah yang lain. Setiap malam pula Pak Guru kami akan datang mengunjungi, mengajarkan kami hal2 yang sulit dipecahkan. Hingga kami semua tidak ada yang tidak mengerti.


Jangan dulu dibayangkan beliau datang dengan kendaraan bermotor. Namanya di desa kendaraan masih jarang, jarak tempat tinggal beliau ke rumah2 kami kira2 6 km ditempuhnya dengan berjalan kaki, setiap malam. Besarkah gajinya? Saya yakin 100% tidak. Dan mengapa beliau mau melakukannya? Entahlah saya tak sempat memikirkannya di waktu itu.


Di saat seperti ini saya benar2 memahami arti keikhlasan beliau mengajari murid2nya, bukan untuk dirinya sendiri. Baru sekarang juga saya mengerti untuk apa tangan2 kami harus berpegal2 ria karena keseringan menyalin soal (jaman itu belum ada fotokopi). Malamnya kami harus menembus udara dingin menahan kantuk dan lelah demi keikhlasan seorang guru.


Namun semua terbayar ketika kelulusan EBTANAS kami dengan hasil rata2 memuaskan. Tidak kalah dengan murid2 SD di perkotaan.


Saya ingat kata2 Nenek Asano dalam Saga No Gabai Baachan, bahwa kebaikan sejati adalah kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui oleh orang yang menerima kebaikan itu. Itulah kebaikan Pak Guru saya, yang hingga saat ini selalu saya ingat..


Di masa sekarang cara2 beliau agak susah untuk diterapkan. Oleh karenanya dibutuhkan kerja ekstra para orang tua termasuk saya untuk mengajari anaknya masing2. Toh, jaman berubah dan jalan sedikit berbeda, tetapi tetap pada satu tujuan, demi kebaikan anak2.


Meski hari guru telah lewat, rasanya tidak terlambat untuk mengucapkan rasa terimakasih saya pada guru2 SD saya. Terutama Pak ‘Bogiek’ Sugiono, semoga Allah senantiasa melimpahkan kebahagiaan, rejeki, kesehatan, kebaikan & pahala berlimpah bagi beliau.


Graha Asri, 7 Desember 2011 (obat rinduku pada lereng gunung Argopuro)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar