Minggu, 14 Oktober 2012

Matematika dan Hafalan Quran


“Anaknya Wawan itu memang senang baca buku, tapi giliran ulangan matematika, cuma dapat 5.. Hahaha..”

Saya sangat yakin tidak akan ada orang tua yang senang mendengar anaknya dibicarakan seperti itu. Tapi itulah yang terjadi pada sulung saya, waktu itu sekitar kelas 2 atau 3 SD saya agak lupa. Tapi ingatan itu membekas dan kuat di ingatan saya. Saya sedih tapi harus bangkit untuk memperbaiki. Olok-olok tadi tak sedikitpun saya ceritakan pada orang lain, bahkan suami saya.


Pada dasarnya saya tak ingin kecewa. Karena mungkin persepsi nilai pada tiap orang berbeda. Ada yang menganggap nilai adalah segalanya. Ia adalah tolok ukur kemampuan seseorang, apalagi mengenai matematika. Wuih, pokoknya nilai matematika dianggap seperti yang utama. Kalau bagus, berarti dia cerdas, brilian, hebat, membanggakan dan sebagainya yang bagus-bagus. Sebaliknya bila nilai matematika kurang maka dianggap kurang cerdas.

Tapi bagi saya pribadi, saya anggap kecerdasan tiap anak itu bermacam-macam. Ada anak yang suka sekali bercerita, dengan alur yang bagus dan penguasaan diri yang baik. Meski dalam hal lain kurang, bukan berarti dia tidak cerdas. Ada pula yang suka menyanyi, bermain musik, menari dan gerak seni lainnya. Ada pula yang tekun menggambar, melukis, menyusun puzzle dan sebagainya. Masih banyak lagi kecerdasan dan minat yang dimiliki tiap anak yang ketika kemudian dipadukan dengan minat yang lain belum tentu sama besar.

Namun persoalannya, tuntutan nilai memang kemudian menjadi tolok ukur pada sekolah resmi di negeri ini dan menuntut persaingan ketat anak-anak kita di berbagai bidang ilmu. Itulah yang terjadi pada kasus putra saya di awal tadi.

Dia sangat suka membaca, memang benar. Karena hobi membaca memang saya ajarkan sejak dia masih bayi. Tidak salah jika kemudian dia suka membaca. Sekolahnya pun di sekolah alam yang di awal-awal kelas rendah (saya sebut untuk kelas 1, 2 dan 3) lebih mengutamakan proses pematangan teori. Dalam bidang matematika jelas ini terlihat lambat. Bagi saya tidak masalah asalkan anak-anak benar-benar mengerti.  Tidak ada beban PR, atau tugas latihan yang banyak. Maka ketika ujian diknas dilaksanakan banyak yang nilainya biasa-biasa saja alias kurang memuaskan, termasuk putra saya Ahnaf.

Namun, ketika dia mulai naik ke kelas tinggi (sebutan saya untuk kelas 4, 5 dan 6) saya mulai menambahkan ‘menu’ dalam belajarnya yaitu motivasi. Bahwasannya kita berada di jalur formal yang bagaimanapun menuntut kerja keras untuk pembekalan diri. Saya tekankan untuk pembekalan diri, bukan supaya nilainya tinggi. Kalau diri sudah punya bekal, ilmu sudah menancap di hati dan pikiran, maka nilai tidak perlu dirisaukan lagi.

Yang menjadi kegundahannya akan matematika adalah dia merasa kurang mampu dan kurang mengerti. Dalam benaknya, matematika itu susah, rumit dan njelimet. Perlu kerja keras dalam menyelesaikan matematika.
“Tapi Ahnaf ingin bisa nggak?” tanya saya waktu itu.
“Sebenarnya ingin, tapi matematika kan susah.”
“Inginnya seberapa besar? Apakah hanya ingin bisa begini saja, sudah cukup? Padahal matematika itu ilmunya luas sekali,” kata saya lagi. “Dalam kehidupan sehari-hari matematika selalu digunakan. Kalau Ahnaf hanya ingin bisa yang gampang-gampang saja maka kemampuannya juga biasa-biasa saja.”
“Terus bagaimana kalau Ahnaf benar-benar ingin bisa?” Dia ganti bertanya, pancingan saya mengena.
“Belajar yang sungguh-sungguh, dan berdoa.  Ibu mau mengajari Ahnaf asalkan mau bersungguh-sungguh.”
“Benarkah?” tanyanya antusias.
“InsyaAllah, kalau kita belajar dengan sungguh-sungguh, berdoa pada Allah, maka tidak ada yang tidak mungkin. Suatu hari nanti bahkan Ahnaf bisa jadi ahli matematika, kalau mau.” Saya ikut berdebar-debar saat menyemangatinya seperti itu.
“Tapi Bu, banyak yang Ahnaf belum hafal rumus-rumusnya, juga pembagian dan sifat-sifat operasi itu.”
“Jangan khawatir, Ahnaf perbanyak hafalan Quran, bukankah sebentar lagi selesai juz 30?”
“Apa hubungannya matematika dengan hafalan Quran”
“Tentu saja ada, selain pahalanya yang besar, menghafal Quran juga dapat menambah daya ingat dan memperbaiki bacaan Qurannya. Kalau kita memperbanyak hafalan Quran, maka hafalan lainnya insyaAllah juga lancar.” Ketika itu saya tunjukkan juga padanya artikel di Republika tentang beasiswa bagi para mahasiswa yang hafidz di beberapa perguruan tinggi di Jawa Timur. Ternyata para peraih beasiswa itu prestasi akademisnya juga tinggi. Subhanallah.

Singkat cerita, hari-hari kami di rumah diisi dengan berhitung dan latihan. Meski hanya beberapa soal, tiada hari tanpa menghitung. Jika ada yang belum dimengerti saya atau bapaknya akan membantunya belajar. Tentu saja hafalan Quran tetap jalan, karena kalau menghafal ini memang minatnya sejak pertama belajar mengaji. Waktu menghafal biasanya rutin sehabis Maghrib dan setelah Subuh. Seminggu sekali dia akan setor hafalan sekaligus mengaji di Mahad Ahad pagi. Tahun itu, tepatnya kelas 4 SD, dia menamatkan juz 30 dan kemampuan matematikanya berangsur membaik.

“Yuk, kita lanjutkan juz 29, biar ingatan semakin tajam dan Allah ridho dengan apa yang kita lakukan,” ajak saya waktu itu. “Matematika itu memang tidak seperti pelajaran lain, ia butuh dilatih terus menerus. Tidak hanya mengenal teori, tapi juga digunakan, dicoba untuk memecahkan soal dari yang mudah sampai yang sulit. Cara mengerjakannya pun kita harus teliti, urut bagian mana yang harus diketahui, apa yang ditanyakan dan bagaimana cara memecahkan persoalannya.”

Tepat 2 bulan menjelang ujian akhir nasional, Ahnaf menyelesaikan juz 29, tanpa beban, tanpa paksaan. Namun lebih karena motivasi. Usaha telah dilakukan, doa-doa dipanjatkan memohon ridho Allah semata.

“Serahkan semua pada Allah, kalaupun nanti nilainya jelek, yang penting mas Ahnaf sekarang lebih hebat daripada dulu. Lebih teratur dalam mengerjakan soal, lebih rajin, juga terbiasa dengan soal yang banyak.” Pesan saya menjelang ujian. Saat itu bahkan dia sudah tak ingin mengerjakan latihan lagi.

Dengan bekal itu ia menutup hari-hari akhirnya di bangku SD, untuk melanjutkan menuntut ilmu ke tempat yang ia idam-idamkan. Bahkan ketika nilai diumumkan dia justru sudah sibuk belajar di tempat baru, tanpa tahu bahwa nilai ujian akhir matematikanya nyaris sempurna..  Maha Suci Allah, pemilik segala ilmu..

Graha Asri, 14 Oktober 2012 (merindukanmu, Putraku..)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar