“Anaknya
Wawan itu memang senang baca buku, tapi giliran ulangan matematika, cuma dapat
5.. Hahaha..”
Saya
sangat yakin tidak akan ada orang tua yang senang mendengar anaknya dibicarakan
seperti itu. Tapi itulah yang terjadi pada sulung saya, waktu itu sekitar kelas
2 atau 3 SD saya agak lupa. Tapi ingatan itu membekas dan kuat di ingatan saya.
Saya sedih tapi harus bangkit untuk memperbaiki. Olok-olok tadi tak sedikitpun
saya ceritakan pada orang lain, bahkan suami saya.
Pada
dasarnya saya tak ingin kecewa. Karena mungkin persepsi nilai pada tiap orang
berbeda. Ada yang menganggap nilai adalah segalanya. Ia adalah tolok ukur
kemampuan seseorang, apalagi mengenai matematika. Wuih, pokoknya nilai
matematika dianggap seperti yang utama. Kalau bagus, berarti dia cerdas,
brilian, hebat, membanggakan dan sebagainya yang bagus-bagus. Sebaliknya bila
nilai matematika kurang maka dianggap kurang cerdas.
Tapi
bagi saya pribadi, saya anggap kecerdasan tiap anak itu bermacam-macam. Ada
anak yang suka sekali bercerita, dengan alur yang bagus dan penguasaan diri
yang baik. Meski dalam hal lain kurang, bukan berarti dia tidak cerdas. Ada
pula yang suka menyanyi, bermain musik, menari dan gerak seni lainnya. Ada pula
yang tekun menggambar, melukis, menyusun puzzle dan sebagainya. Masih banyak
lagi kecerdasan dan minat yang dimiliki tiap anak yang ketika kemudian
dipadukan dengan minat yang lain belum tentu sama besar.
Namun
persoalannya, tuntutan nilai memang kemudian menjadi tolok ukur pada sekolah
resmi di negeri ini dan menuntut persaingan ketat anak-anak kita di berbagai
bidang ilmu. Itulah yang terjadi pada kasus putra saya di awal tadi.
Dia
sangat suka membaca, memang benar. Karena hobi membaca memang saya ajarkan
sejak dia masih bayi. Tidak salah jika kemudian dia suka membaca. Sekolahnya
pun di sekolah alam yang di awal-awal kelas rendah (saya sebut untuk kelas 1, 2
dan 3) lebih mengutamakan proses pematangan teori. Dalam bidang matematika
jelas ini terlihat lambat. Bagi saya tidak masalah asalkan anak-anak
benar-benar mengerti. Tidak ada beban PR,
atau tugas latihan yang banyak. Maka ketika ujian diknas dilaksanakan banyak
yang nilainya biasa-biasa saja alias kurang memuaskan, termasuk putra saya
Ahnaf.
Namun,
ketika dia mulai naik ke kelas tinggi (sebutan saya untuk kelas 4, 5 dan 6) saya
mulai menambahkan ‘menu’ dalam belajarnya yaitu motivasi. Bahwasannya kita
berada di jalur formal yang bagaimanapun menuntut kerja keras untuk pembekalan
diri. Saya tekankan untuk pembekalan
diri, bukan supaya nilainya tinggi. Kalau diri sudah punya bekal, ilmu
sudah menancap di hati dan pikiran, maka nilai tidak perlu dirisaukan lagi.
Yang
menjadi kegundahannya akan matematika adalah dia merasa kurang mampu dan kurang
mengerti. Dalam benaknya, matematika itu susah, rumit dan njelimet. Perlu kerja keras dalam menyelesaikan matematika.
“Tapi
Ahnaf ingin bisa nggak?” tanya saya waktu itu.
“Sebenarnya
ingin, tapi matematika kan susah.”
“Inginnya
seberapa besar? Apakah hanya ingin bisa begini saja, sudah cukup? Padahal
matematika itu ilmunya luas sekali,” kata saya lagi. “Dalam kehidupan
sehari-hari matematika selalu digunakan. Kalau Ahnaf hanya ingin bisa yang
gampang-gampang saja maka kemampuannya juga biasa-biasa saja.”
“Terus
bagaimana kalau Ahnaf benar-benar ingin bisa?” Dia ganti bertanya, pancingan
saya mengena.
“Belajar
yang sungguh-sungguh, dan berdoa. Ibu
mau mengajari Ahnaf asalkan mau bersungguh-sungguh.”
“Benarkah?”
tanyanya antusias.
“InsyaAllah,
kalau kita belajar dengan sungguh-sungguh, berdoa pada Allah, maka tidak ada
yang tidak mungkin. Suatu hari nanti bahkan Ahnaf bisa jadi ahli matematika,
kalau mau.” Saya ikut berdebar-debar saat menyemangatinya seperti itu.
“Tapi
Bu, banyak yang Ahnaf belum hafal rumus-rumusnya, juga pembagian dan
sifat-sifat operasi itu.”
“Jangan
khawatir, Ahnaf perbanyak hafalan Quran, bukankah sebentar lagi selesai juz
30?”
“Apa
hubungannya matematika dengan hafalan Quran”
“Tentu
saja ada, selain pahalanya yang besar, menghafal Quran juga dapat menambah daya
ingat dan memperbaiki bacaan Qurannya. Kalau kita memperbanyak hafalan Quran,
maka hafalan lainnya insyaAllah juga lancar.” Ketika itu saya tunjukkan juga
padanya artikel di Republika tentang beasiswa bagi para mahasiswa yang hafidz
di beberapa perguruan tinggi di Jawa Timur. Ternyata para peraih beasiswa itu
prestasi akademisnya juga tinggi. Subhanallah.
Singkat
cerita, hari-hari kami di rumah diisi dengan berhitung dan latihan. Meski hanya
beberapa soal, tiada hari tanpa menghitung. Jika ada yang belum dimengerti saya
atau bapaknya akan membantunya belajar. Tentu saja hafalan Quran tetap jalan,
karena kalau menghafal ini memang minatnya sejak pertama belajar mengaji. Waktu
menghafal biasanya rutin sehabis Maghrib dan setelah Subuh. Seminggu sekali dia
akan setor hafalan sekaligus mengaji di Mahad Ahad pagi. Tahun itu, tepatnya
kelas 4 SD, dia menamatkan juz 30 dan kemampuan matematikanya berangsur
membaik.
“Yuk,
kita lanjutkan juz 29, biar ingatan semakin tajam dan Allah ridho dengan apa
yang kita lakukan,” ajak saya waktu itu. “Matematika itu memang tidak seperti
pelajaran lain, ia butuh dilatih terus menerus. Tidak hanya mengenal teori,
tapi juga digunakan, dicoba untuk memecahkan soal dari yang mudah sampai yang
sulit. Cara mengerjakannya pun kita harus teliti, urut bagian mana yang harus diketahui,
apa yang ditanyakan dan bagaimana cara memecahkan persoalannya.”
Tepat
2 bulan menjelang ujian akhir nasional, Ahnaf menyelesaikan juz 29, tanpa
beban, tanpa paksaan. Namun lebih karena motivasi. Usaha telah dilakukan,
doa-doa dipanjatkan memohon ridho Allah semata.
“Serahkan
semua pada Allah, kalaupun nanti nilainya jelek, yang penting mas Ahnaf sekarang
lebih hebat daripada dulu. Lebih teratur dalam mengerjakan soal, lebih rajin,
juga terbiasa dengan soal yang banyak.” Pesan saya menjelang ujian. Saat itu
bahkan dia sudah tak ingin mengerjakan latihan lagi.
Dengan
bekal itu ia menutup hari-hari akhirnya di bangku SD, untuk melanjutkan
menuntut ilmu ke tempat yang ia idam-idamkan. Bahkan ketika nilai diumumkan dia
justru sudah sibuk belajar di tempat baru, tanpa tahu bahwa nilai ujian akhir
matematikanya nyaris sempurna.. Maha
Suci Allah, pemilik segala ilmu..
Graha Asri, 14 Oktober 2012
(merindukanmu, Putraku..)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar