Sudah setahun lebih sejak kepindahan kami ke rumah ini.
Dengan suasana baru, lingkungan baru dan tetangga baru. Semuanya memerlukan
adaptasi karena beda tempat beda adat, juga kebiasaannya.
Namun dari semua hal baru tadi ada yang sedikit menjadi
tanda tanya bagi kami, tentang orang galau yang sering berteriak di depan rumah
kami. Dia laki-laki, kutaksir usianya sekitar 40an. Tinggal dengan kerabatnya tak
jauh dari rumah kami. Orangnya tinggi, kurus, berkulit coklat dan seringnya
bertelanjang dada. Sebut saja namanya Pak Galau, karena kami memang tak pernah
tahu namanya.
Setahuku dia tidak pernah tersenyum pada orang lain, kecuali
pada dirinya sendiri. Kebiasaanya adalah merokok sambil nongkrong di trotoar.
Salah satu tempat favoritnya adalah: trotoar di bawah pohon mangga rumah kami.
Memang tempatnya adem, semilir dan pandangan luas karena rumah kami berada di
tusuk sate. Mungkin lokasi seperti ini sangat leluasa buat pak Galau untuk
berteriak-teriak. Kalau sudah berteriak suaranya menggelegar membuat kedua
kembarku Idris & Ilyas langsung lari masuk kamar.
Apa sebenarnya yang menyebabkan dia berteriak seperti itu
kami tidak pernah tahu. Dan buat kami memang sebaiknya tidak tahu saja. Supaya
kami bisa selalu berprasangka baik. Jadi kalau pak Galau sudah mulai berteriak kami menganggap dia sedang galau. Teriakannya
bisa datang kapan saja, bisa pagi hari, siang bolong, sore, bahkan dini hari
dari dalam rumahnya.
Meski begituu.. Pak Galau ini tak pernah terlihat mengganggu
orang lain atau anak-anak yang sedang bermain di dekatnya sekalipun. Makanya
para tetangga tidak terlalu protes bahkan memaklumi keadaan pak Galau bila
sedang galau. Lama kelamaan kami jadi terbiasa bila tiba-tiba ada yang
berteriak berkali-kali, “ORANG GILA… ORANG GILA… ORANG GILA…” Demikian dia
teriakkan berulang kali.
Kepada anak-anak kami memberi pengertian supaya mereka tidak
merasa takut. Meski tetap saja mereka takut bila pak Galau mulai galau.
Tadi malam ada cerita yang membawa nama pak Galau ke rumah
kami. Begini, kira-kira selepas Isya, ada mbak-mbak mengucap salam dari depan
rumah. Karena aku sedang di dapur akhirnya suamiku yang keluar menemui. Tak lama dia masuk membawa piring berisi
makanan.
“Dari orang gila,” katanya. Gubrak..
“Hah, kok orang gila?” Aku penasaran sambil memindahkan
makanan dari piring yang dibawa si mbak.
“Iya, bilangnya dari orang gila, gitu.” Suamiku masih
bersikukuh.
“Apa orang galau itu?” tanyaku lagi. Bahkan kami tidak
menyebutnya orang gila, kok si mbak berani-beraninya menyebut majikannya dengan
‘orang gila’. Tapi kami berprasangka baik saja, mungkin si Ibunya habis dari
luar kota atau gimana mau bagi-bagi oleh-oleh. Meski kupikir-pikir kok tumben
ngirim makanan.
“Ya udah, tanya aja sendiri sana, mbaknya masih di luar nungguin
piringnya,” suamiku juga pingin meyakinkan.
Akhirnya aku keluar menemui si mbak sambil mengembalikan
piring. Pas udah liat si mbaknya, baru aku tau siapa pengirim makanan tadi. “Makasih
ya mbak,” kataku sambil menutup pagar dan menahan tawa. Itu kan mbaknya Nabila
yang tinggalnya selisih satu rumah samping kami. Dia masih baru dan suamiku
mana hafal wajah mbak-mbak pengasuh.. Begitu masuk rumah aku bilang ke suamiku,
“Bukan orang gila, tapi dari Nabila..” Hua haha.. Entahlah, si mbak yang
suaranya terlampau kalem, atau telinga suamiku yang bermasalah..
Graha Asri, 4 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar