Dua kisah
berikut saya ceritakan kembali dari kisah nyata, tentang ibu dan anak
perempuan.
Pertama,
tentang kisah kegundahan hati seorang ibu, yang dalam beberapa tahun terakhir
merasa ‘kehilangan’ anak perempuannya. Dulu, rasa-rasanya anaknya ini tak
seperti sekarang, berubah. Entah apa penyebabnya, tiap kali si ibu mengunjungi
anaknya yang tinggal di kota, ia merasa diacuhkan, tak dipedulikan lagi. Rasa
rindu yang dipendam untuk bertemu dengan anak dan cucu seperti berbuah luka. Perlakuan
anaknya ini seperti tak menghargai ibunya lagi. “Udah sih Bu, ngapain jauh-jauh
datang, kan capek, mendingan ibu di rumah saja,” begitu katanya. Pikir si ibu,
enak sekali anaknya ini berkata. Jauh-jauh perjalanan di tempuh namun
balasannya seperti ini. Begitu pula ketika ada tamu datang, si ibu tak boleh
menampakkan diri di depan tamu yang adalah teman-teman anaknya. MasyaAllah,
mengapa harus malu untuk mengakui ibunya sendiri. Sedih sangat hati si ibu. Tak
pernah disangka anaknya akan tega memperlakukannya seperti itu. Tidakkah dia
menyadari bahwa kesuksesannya sekarang adalah berkat doa-doa yang dilantunkan
sang ibu. Tidakkah dia menyadari kalau dia bisa tumbuh seperti sekarang adalah
berkat pengorbanan ibu?
Astaghfirullaah…
Si ibu hanya bisa mendoakan kebaikan bagi anaknya, semoga anak perempuan yang
dicintainya akan sadar kembali akan kekhilafannya..
Kedua,
tentang kesedihan seorang anak perempuan atas doa keburukan yang telah
diucapkan ibunya dahulu. Entah saking kesalnya atau apa, terlontar kata-kata
buruk dari seorang ibu kepada anak perempuannya. Kira-kira begini, “Kalau
memang sikapmu masih seperti ini, maka selamanya kamu tidak akan mendapatkan
sandang pangan yang layak, selamanya!” Naudzubillah, semoga kata-kata tadi
jangan sampai terlontar dari mulut kita para ibu. Lalu sekarang, hidup si anak
perempuan selalu berada dalam kesulitan. Dia sediiih sekali, betapa teganya si
ibu berkata itu padanya. Dan sebelum dia meminta maaf pada ibunya atas sikapnya
selama ini, si ibu terlanjur dipanggil olehNya. Maka makin terasa pedih luka
hati si anak perempuan ini. Rumah yang dibangun bersama suami dan anak-anaknya,
kini terpaksa dijual demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Akhirnya dia tinggal
di rumah almarhumah ibunya. Atas kesepakatan keluarga, rumah itu pun akhirnya
dijual. Kini suaminya pun resign dari kantor, uang pesangon yang sedianya bisa
untuk memenuhi keperluan mereka, akhirnya habis. Sekarang si anak perempuan ini
berjualan gado-gado demi memenuhi kebutuhan dapur sehari-hari. Suaminya meski
mendapatkan pekerjaan lagi, gajinya tak sebesar dulu. Teringat semua ini, dia
selalu menghubungkan kesulitan hidupnya dengan doa keburukan yang pernah
diucapkan ibunya. Pasti karena ini.
Dua cerita
tadi meski berbeda alur, namun memiliki beberapa persamaan. Keduanya kisah
tentang doa ibu dan anak. Ada beberapa poin penting yang ingin saya tarik
benang merahnya. Tentang memuliakan seorang ibu dan kedahsyatan doa ibu. Tak
dapat dipungkiri lagi bahwa doa seorang ibu adalah senjata kesuksesan anaknya.
Tiada yang patut dimuliakan kecuali ibu kita, dan ayah tentunya. Tiada yang
patut diberikan terima kasih atas kesuksesan kita, kecuali orang tua kita.
Begitu pun
sebagai ibu, sebaik-baik doa ibu adalah segala kebaikan bagi anak-anaknya.
Semoga, sekesal apapun kita pada anak kita, tak sampai terlontar doa keburukan
sekecil apapun.
Dan semoga
kita semua diberi kemudahan untuk menjadi ibu dan anak yang baik.
Ponorogo, 8
Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar