Selasa, 21 Mei 2013

Kisah Doa Ibu



Dua kisah berikut saya ceritakan kembali dari kisah nyata, tentang ibu dan anak perempuan.

Pertama, tentang kisah kegundahan hati seorang ibu, yang dalam beberapa tahun terakhir merasa ‘kehilangan’ anak perempuannya. Dulu, rasa-rasanya anaknya ini tak seperti sekarang, berubah. Entah apa penyebabnya, tiap kali si ibu mengunjungi anaknya yang tinggal di kota, ia merasa diacuhkan, tak dipedulikan lagi. Rasa rindu yang dipendam untuk bertemu dengan anak dan cucu seperti berbuah luka. Perlakuan anaknya ini seperti tak menghargai ibunya lagi. “Udah sih Bu, ngapain jauh-jauh datang, kan capek, mendingan ibu di rumah saja,” begitu katanya. Pikir si ibu, enak sekali anaknya ini berkata. Jauh-jauh perjalanan di tempuh namun balasannya seperti ini. Begitu pula ketika ada tamu datang, si ibu tak boleh menampakkan diri di depan tamu yang adalah teman-teman anaknya. MasyaAllah, mengapa harus malu untuk mengakui ibunya sendiri. Sedih sangat hati si ibu. Tak pernah disangka anaknya akan tega memperlakukannya seperti itu. Tidakkah dia menyadari bahwa kesuksesannya sekarang adalah berkat doa-doa yang dilantunkan sang ibu. Tidakkah dia menyadari kalau dia bisa tumbuh seperti sekarang adalah berkat pengorbanan ibu?

Astaghfirullaah… Si ibu hanya bisa mendoakan kebaikan bagi anaknya, semoga anak perempuan yang dicintainya akan sadar kembali akan kekhilafannya..


Kedua, tentang kesedihan seorang anak perempuan atas doa keburukan yang telah diucapkan ibunya dahulu. Entah saking kesalnya atau apa, terlontar kata-kata buruk dari seorang ibu kepada anak perempuannya. Kira-kira begini, “Kalau memang sikapmu masih seperti ini, maka selamanya kamu tidak akan mendapatkan sandang pangan yang layak, selamanya!” Naudzubillah, semoga kata-kata tadi jangan sampai terlontar dari mulut kita para ibu. Lalu sekarang, hidup si anak perempuan selalu berada dalam kesulitan. Dia sediiih sekali, betapa teganya si ibu berkata itu padanya. Dan sebelum dia meminta maaf pada ibunya atas sikapnya selama ini, si ibu terlanjur dipanggil olehNya. Maka makin terasa pedih luka hati si anak perempuan ini. Rumah yang dibangun bersama suami dan anak-anaknya, kini terpaksa dijual demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Akhirnya dia tinggal di rumah almarhumah ibunya. Atas kesepakatan keluarga, rumah itu pun akhirnya dijual. Kini suaminya pun resign dari kantor, uang pesangon yang sedianya bisa untuk memenuhi keperluan mereka, akhirnya habis. Sekarang si anak perempuan ini berjualan gado-gado demi memenuhi kebutuhan dapur sehari-hari. Suaminya meski mendapatkan pekerjaan lagi, gajinya tak sebesar dulu. Teringat semua ini, dia selalu menghubungkan kesulitan hidupnya dengan doa keburukan yang pernah diucapkan ibunya. Pasti karena ini.

Dua cerita tadi meski berbeda alur, namun memiliki beberapa persamaan. Keduanya kisah tentang doa ibu dan anak. Ada beberapa poin penting yang ingin saya tarik benang merahnya. Tentang memuliakan seorang ibu dan kedahsyatan doa ibu. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa doa seorang ibu adalah senjata kesuksesan anaknya. Tiada yang patut dimuliakan kecuali ibu kita, dan ayah tentunya. Tiada yang patut diberikan terima kasih atas kesuksesan kita, kecuali orang tua kita.

Begitu pun sebagai ibu, sebaik-baik doa ibu adalah segala kebaikan bagi anak-anaknya. Semoga, sekesal apapun kita pada anak kita, tak sampai terlontar doa keburukan sekecil apapun.

Dan semoga kita semua diberi kemudahan untuk menjadi ibu dan anak yang baik.

Ponorogo, 8 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar