Selasa, 21 Mei 2013

Mainan dan Mengaji



Kira-kira beberapa pekan yang lalu, saya, Idris dan Ilyas pergi ke toko buku di sebuah mall. Usai itu, kami berniat membeli makanan sebentar. Namanya mall, untuk menuruni tangga ekskalator kami harus berputar dulu. Dan di sepanjang jalanan, toko mainan bertebaran. Dari yang kecil sampai yang besar. Dulu biasanya saya mencari jalanan yang terbebas dari pemandangan toko-toko mainan. Bukan apa, karena anak-anak selalu meminta untuk mampir dan melihat-lihat mainan. Ujung-ujungnya tahu sendiri. Minta mainan! Betul.. Mereka tak merengek-rengek sebenarnya. Tapi kami tak bisa mengontrol sebenarnya yang sedang mereka inginkan itu yang mana? Prioritasnya sebenarnya yang seperti apa? Dan kapan mainan itu harus dipenuhi. Kalau hanya dijanjikan nanti-nanti, saya khawatir mereka mengira Bapak Ibunya hanya pandai berjanji, tanpa ditepati.


Tapiii, itu kan dulu.. Sekarang kalau harus melewati toko atau gerai mainan, saya tak khawatir lagi. Hati saya lebih tenang. Sebanyak apapun mainannya, sebagus apapun bentuknya, secanggih apapun pramuniaga mempromosikan mainan itu pada anak-anak, saya tetap santhaii. Apa pasal?

Sebenarnya metode ini sudah pernah saya terapkan pada kakaknya dulu waktu kecil. Pernah pula saya ceritakan sedikit dalam tulisan terdahulu. Setiap selesai mengaji, meski hanya satu halaman Iqro, saya ajak mereka memindahkan biji-bijian dari suatu toples ke toples lainnya. Begitu setiap hari. Jika nanti toples pertama sudah kosong, dan toples kedua penuh, mereka boleh membeli mainan kesukaan mereka; mainan yang paling diinginkan saat itu. Itulah hadiah atas usaha dan kerja keras mereka.

Wah, berarti mengajinya karena mainan dong? Bagi anak-anak, mungkin iya. Mereka masih tahap berkenalan dengan mengaji. Ngomong-ngomong soal mengaji, ini tak hanya proses belajar, tapi lebih ke unsur spiritual, ada nilai Ketuhanan yang perlu diselipkan di sana. Bagi kami, nilai yang harus tertanam dalam diri anak-anak haruslah menyenangkan. Sederhananya, mereka harus mencintai proses mencintai Tuhannya. Bagi kami lagi, proses belajar anak-anak inilah porsi terbesarnya.

Lama kelamaan anak-anak mengerti bahwa jika mereka menginginkan mainan, mereka harus rajin mengaji supaya toples kedua mereka penuh. Kalau suatu saat mereka tergoda dengan satu mainan,  “Bu, nanti Ilyas dibelikan mainan yang itu ya,” kembali saya ingatkan, “Oke, nanti kalau sudah pintar mengajinya ya..”
Sebagian orangtua protes dengan cara ini, “Ah, kasian amat anaknya mau minta mainan yang harganya nggak seberapa aja pake itung-itungan begitu.”

Hahaha.. Iya memang masih banyak yang berpendapat seperti itu. Saya hargai. Pertama, karena tiap orang tua punya metode tersendiri yang paling sesuai untuk putra putrinya. Satu cara sesuai untuk anak kami, belum tentu cocok untuk anak yang lain. Kedua, soal harga, bagi anak-anak tak jauh berbeda antara harga mainan di toko mainan besar dan berkelas, dengan mainan KW di toko atau gerai sederhana. Bukannya kami pelit sama anak sendiri, tapi yang ingin kami ajarkan pada anak-anak adalah nilai usaha dan kerja dalam meraih sesuatu. Dulu, saat mas Ahnaf, semakin bertambah usianya atau semakin mahal harga mainannya, kami menambah jumlah biji-bijian dalam toples pertama. Artinya dia harus mengaji lebih lama untuk menggapai keinginannya. Hingga pada suatu titik, mas Ahnaf tak lagi memerlukan biji-bijian itu, karena nilai tauhid, kecintaan pada Tuhan telah mengalahkan kecintaan pada mainan. Ketiga, kami berharap cara ini bukanlah cara memanjakan atau mengekang.*) Kodrat anak-anak adalah bermain dan mainan adalah sarana mereka melampiaskan kegembiraan dan minat mereka.

Siang itu, Idris dan Ilyas minta mampir ke sebuah gerai mainan. “Mau lihat mainan, Bu,” katanya. Baiklah, saya ikuti mereka. Dengan serius Idris dan Ilyas mengamati beberapa mainan, sambil terkadang bertanya pada saya. Si mas pramuniaga bersiap, calon pembeli nih. Setelah puas melihat-lihat, mereka memutuskan nanti mau beli mainan yang seperti apa.
“Nanti Idris mau robot yang itu aja ya, Bu.”
Seperti biasa saya menjanjikan, “Oke, kalau sudah apa, Nak?”
“Nanti kalo sudah pinter mengajinya ya, Bu..”
Tak lama, kami pun bersiap pulang. Tak lupa mengucap terima kasih pada pramuniaga, “Makasih ya, Mas,” kata saya.
ini robot Ilyas
robotan idris, didapat kira2 10 hr setelah ilyas

Putraku, Ibu sungguh takut. Apabila kenikmatan dunia ini melenakan kita. Ibu takut, karena di luar sana masih buanyak anak-anak yang tak seberuntung kalian. Ibu takut bila ternyata akhlak mereka lebih mulia, ilmu mereka lebih manfaat, ibadah mereka lebih terjaga, kesederhanaan hidup membuat mereka lebih bermental baja. Putraku, maka mari kita belajar bersama demi meraih cinta-Nya..

Letjes, 2 Mei 2013
*) Dalam hal apakah dianggap memanjakan anak kita?
1. Serba menuruti semua keinginan anak
2. Sebaliknya, serba melarang keinginan anak
3. Pemakluman, semisal, “Maklum, dia kan anak lelaki, boleh dong mukul.” Atau,”Dia kan anak bungsu, yah wajar kan kalo cengeng”
(Ayah Edy Menjawab)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar