Kira-kira beberapa pekan yang lalu, saya, Idris dan Ilyas
pergi ke toko buku di sebuah mall. Usai itu, kami berniat membeli makanan
sebentar. Namanya mall, untuk menuruni tangga ekskalator kami harus berputar
dulu. Dan di sepanjang jalanan, toko mainan bertebaran. Dari yang kecil sampai
yang besar. Dulu biasanya saya mencari jalanan yang terbebas dari pemandangan
toko-toko mainan. Bukan apa, karena anak-anak selalu meminta untuk mampir dan
melihat-lihat mainan. Ujung-ujungnya tahu sendiri. Minta mainan! Betul.. Mereka
tak merengek-rengek sebenarnya. Tapi kami tak bisa mengontrol sebenarnya yang
sedang mereka inginkan itu yang mana? Prioritasnya sebenarnya yang seperti apa?
Dan kapan mainan itu harus dipenuhi. Kalau hanya dijanjikan nanti-nanti, saya
khawatir mereka mengira Bapak Ibunya hanya pandai berjanji, tanpa ditepati.
Tapiii, itu kan dulu.. Sekarang kalau harus melewati toko
atau gerai mainan, saya tak khawatir lagi. Hati saya lebih tenang. Sebanyak
apapun mainannya, sebagus apapun bentuknya, secanggih apapun pramuniaga
mempromosikan mainan itu pada anak-anak, saya tetap santhaii. Apa pasal?
Sebenarnya metode ini sudah pernah saya terapkan pada kakaknya
dulu waktu kecil. Pernah pula saya ceritakan sedikit dalam tulisan terdahulu. Setiap
selesai mengaji, meski hanya satu halaman Iqro, saya ajak mereka memindahkan
biji-bijian dari suatu toples ke toples lainnya. Begitu setiap hari. Jika nanti
toples pertama sudah kosong, dan toples kedua penuh, mereka boleh membeli
mainan kesukaan mereka; mainan yang paling diinginkan saat itu. Itulah hadiah
atas usaha dan kerja keras mereka.
Wah, berarti mengajinya karena mainan dong? Bagi anak-anak,
mungkin iya. Mereka masih tahap berkenalan dengan mengaji. Ngomong-ngomong soal
mengaji, ini tak hanya proses belajar, tapi lebih ke unsur spiritual, ada nilai
Ketuhanan yang perlu diselipkan di sana. Bagi kami, nilai yang harus tertanam
dalam diri anak-anak haruslah menyenangkan. Sederhananya, mereka harus
mencintai proses mencintai Tuhannya. Bagi kami lagi, proses belajar anak-anak
inilah porsi terbesarnya.
Lama kelamaan anak-anak mengerti bahwa jika mereka
menginginkan mainan, mereka harus rajin mengaji supaya toples kedua mereka
penuh. Kalau suatu saat mereka tergoda dengan satu mainan, “Bu, nanti Ilyas dibelikan mainan yang itu
ya,” kembali saya ingatkan, “Oke, nanti kalau sudah pintar mengajinya ya..”
Sebagian orangtua protes dengan cara ini, “Ah, kasian amat
anaknya mau minta mainan yang harganya nggak seberapa aja pake itung-itungan
begitu.”
Hahaha.. Iya memang masih banyak yang berpendapat seperti
itu. Saya hargai. Pertama, karena tiap orang tua punya metode tersendiri yang
paling sesuai untuk putra putrinya. Satu cara sesuai untuk anak kami, belum
tentu cocok untuk anak yang lain. Kedua, soal harga, bagi anak-anak
tak jauh berbeda antara harga mainan di toko mainan besar dan berkelas, dengan
mainan KW di toko atau gerai sederhana. Bukannya kami pelit sama anak sendiri,
tapi yang ingin kami ajarkan pada anak-anak adalah nilai usaha dan kerja dalam meraih
sesuatu. Dulu, saat mas Ahnaf, semakin bertambah usianya atau semakin mahal
harga mainannya, kami menambah jumlah biji-bijian dalam toples pertama. Artinya
dia harus mengaji lebih lama untuk menggapai keinginannya. Hingga pada suatu
titik, mas Ahnaf tak lagi memerlukan biji-bijian itu, karena nilai tauhid,
kecintaan pada Tuhan telah mengalahkan kecintaan pada mainan. Ketiga,
kami berharap cara ini bukanlah cara memanjakan atau mengekang.*) Kodrat
anak-anak adalah bermain dan mainan adalah sarana mereka melampiaskan
kegembiraan dan minat mereka.
Siang itu, Idris dan Ilyas minta mampir ke sebuah gerai
mainan. “Mau lihat mainan, Bu,” katanya. Baiklah, saya ikuti mereka. Dengan
serius Idris dan Ilyas mengamati beberapa mainan, sambil terkadang bertanya pada
saya. Si mas pramuniaga bersiap, calon pembeli nih. Setelah puas melihat-lihat,
mereka memutuskan nanti mau beli mainan yang seperti apa.
“Nanti Idris mau robot yang itu aja ya, Bu.”
Seperti biasa saya menjanjikan, “Oke, kalau sudah apa, Nak?”
“Nanti kalo sudah pinter mengajinya ya, Bu..”
Tak lama, kami pun bersiap pulang. Tak lupa mengucap terima
kasih pada pramuniaga, “Makasih ya, Mas,” kata saya.
ini robot Ilyas |
Putraku, Ibu sungguh takut. Apabila kenikmatan dunia ini
melenakan kita. Ibu takut, karena di luar sana masih buanyak anak-anak yang tak
seberuntung kalian. Ibu takut bila ternyata akhlak mereka lebih mulia, ilmu
mereka lebih manfaat, ibadah mereka lebih terjaga, kesederhanaan hidup membuat
mereka lebih bermental baja. Putraku, maka mari kita belajar bersama demi meraih
cinta-Nya..
Letjes, 2 Mei 2013
*) Dalam hal apakah
dianggap memanjakan anak kita?
1. Serba menuruti
semua keinginan anak
2. Sebaliknya, serba
melarang keinginan anak
3. Pemakluman,
semisal, “Maklum, dia kan anak lelaki, boleh dong mukul.” Atau,”Dia kan anak
bungsu, yah wajar kan kalo cengeng”
(Ayah Edy Menjawab)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar