Senin, 07 Februari 2011

Mereka Juga Manusia

Suatu ketika saat masih bekerja, teman sekantor iseng menuliskan beberapa nama pada secarik kertas. Saya pikir itu daftar nama undangan atau apa karena jumlahnya sekitar belasan, itu pun masih hendak ditambahkan beberapa lagi. Ketika saya tanya itu daftar apa, dijawabnya, “Ini daftar pembantu saya dua bulan terakhir ini, yang gonta ganti terus…”  Kaget dan heran sudah pasti. Tapi melihat ekspresi wajahnya yang lesu tak berdaya saya jadi kasihan padanya. Bagaimana tidak, sebagai seorang ibu bekerja dari pagi (06.30 kami sudah harus berangkat karena jarak ke tempat kerja cukup jauh) hingga petang (18.00 mungkin baru sampai) ini adalah persoalan besar.
Urusan rumah tangga salah satunya adalah mengurus anak, bisa jadi bukan masalah besar seandainya seorang ibu dapat melakukannya sendiri. Tidak sedikit dari mereka jatuh bangun menghadapi persoalan pembantu rumah tangga atau pengasuh anak bahkan babysitter. Meski tidak sedikit pula yang berhasil nyaris tanpa hambatan hingga bertahun-tahun.

Dengan segala kekurangan maupun kelebihan disertai pengalaman teman2 juga saya pribadi ada beberapa faktor yang mendukung berhasil tidaknya kita mempekerjakan mereka. Ada baiknya kita sebut dengan satu istilah saja, meminjam istilah adik saya sebagai Asisten Rumah Tangga (AST), tidak terlalu merendahkan atau meninggikan, tidak kebarat2an juga tidak terlalu pribumi, namun mewakili segala posisi, tukang masak, tukang cuci, pembantu, pengasuh, babysitter, nanny.
Kembali ke faktor pendukung. Kadang kita bertanya mengapa masih banyak AST yang tidak kerasan dan ujung2nya berbuat aneh lalu minta berhenti atau harus diberhentikan dg hormat maupun tidak hormat. Padahal gaji yang kita berikan cukup memadai di kelasnya sesuai rata2 UMKP(Upah Minimum Komplek Perumahan), bahkan jika kita lebihkan sedikit bisa tetap sama saja. Sementara ini saya baru menemukan dua faktor:
Pertama, Ketidak mampuan mereka meng-handle tugas yang diam2 tidak sanggup mereka lakukan, meski mereka telah menyatakan kesanggupan di awal kesepakatan/’kontrak’ kerja. Bisa jadi perubahan tugas mendadak yang semakin banyak atau tanggung jawab yang semakin besar. Meski banyak teman yang mengalami, tapi ini benar2 terjadi pada saya saat baru memiliki bayi, Ahnaf waktu itu tahun 2000 dan si kembar Idris Ilyas tahun 2007. Sekitar dua atau tiga bulan setelah kelahiran mereka para AST saya meminta resign. Meski telah dibujuk dengan kenaikan gaji yang lebih memadai tetap saja tidak mau. AST pertama beralasan cukup logis, tanggung jawabnya besar untuk harus menjaga bayi sedangkan ia masih ABG. AST kedua yang telah bekerja selama 5 th tidak menyatakan apa2 meski di kemudian hari saya ketahui ternyata ia sudah cukup kewalahan meng-handle pekerjaan  rumah tangga apalagi dengan ditambah kehadiran dua bayi sekaligus, ia ingin mencari pekerjaan yang tidak ada anak kecilnya. Nah, baru tahu. Perbedaannya, saat yang pertama resign saya masih bekerja, jadi harus kesana kemari hunting AST baru yang bersedia menginap. Sedang yang kedua saya sudah tidak bekerja sehingga lebih santai.
Kedua, Privasi. Saya mencoba memahami dua hal ini ketika sudah tidak bekerja. Tentu dari sudut pandang mereka. Mengapa meski sudah memiliki dua AST (maksudnya supaya pekerjaan jadi lebih ringan bagi mereka) tetap saja selama beberapa bulan pasca kelahiran si kembar tidak ada AST yang cocok bagi saya, dengan berbagai alasan. Ada yang kemampuannya tidak kunjung bertambah meski sudah diajari berulang kali, ada yang bandel (nurut di depan saya, di belakang tidak), hingga yang tidak ‘ramah’ anak. Alhasil lima bulan pertama kehidupan si kembar saya sudah berganti sebanyak 4 kali. Akhirnya saya kapok, mending semuanya saya kerjakan sendiri. Sedih dan capek. Mengurus tiga anak, mulai urusan dapur, rumah, cucian membuat saya harus menguras ‘kantong’ sabar dan tenaga hingga malam, sendiri. Karena suami bekerja di luar kota. Saya berkesimpulan mungkin ini tidak terjadi seandainya saya masih bekerja. Para AST itu bisa saja melakukan apa saja yang mereka mau, tanpa ada yang menegur langsung saat ada kesalahan. Atau mungkin mereka kurang leluasa dengan keberadaan saya di rumah, meski sebenarnya tidak ada tindak kriminal, setidaknya mereka merasa leluasa layaknya rumah sendiri tanpa adanya majikan. Kalaupun majikan pulang sore hari setidaknya mereka punya waktu leluasa keesokan harinya, sekali lagi bukan untuk bertindak kriminal, hanya merasa bebas tanpa harus ‘rikuh’ pada majikan.
Perihal majikan bekerja atau tidak erat pula kaitannya dengan kelonggaran majikan memberi peraturan. Tentu para ibu tidak ingin kehilangan AST kepercayaan karena sulit memperoleh gantinya kalau harus resign. Kelonggaran ini semakin membuat AST bersangkutan semakin betah. Ini banyak terjadi pada teman2  juga saya sendiri saat masih bekerja dulu.
Kini saya memiliki AST yang tugas utamanya mengurus laundry dan membersihkan rumah. Selebihnya pulang. Sebenarnya saya tetap saja repot, karena meski rumah telah dibersihkan dan dirapikan tak lama kemudian akan berantakan lagi. Setidaknya banyak hal yang saya pelajari dan dapatkan. Di antaranya melihat segala sesuatunya dari sisi mereka. Jujur saja saat AST saya tidak masuk hal pertama adalah kekecewaan. Membayangkan rumah yang seperti kapal pecah dan cucian menumpuk. Tetapi mereka juga sebenarnya sama seperti kita. Punya kebutuhan, rasa capek, rasa bosan dan sebagainya. Makanya segalanya saya anggap santai. Asalkan dengan alasan logis dan tidak terlalu sering. Buat saya itu cukup membantu tugas2 sehari2.
Saya banyak belajar dari kisah2 Supernanny atau Nanny 911. Para keluarga di sana hanya mempekerjakan AST bagi kaum bangsawan yang memang benar2 kaya. Sedangkan selebihnya hampir tidak ada yang menggunakan jasa nanny. Permasalahan yang dihadapi juga beragam khususnya psikologi anak2. Terlepas acaranya rekayasa atau tidak, saya tetap menyukai acara ini karena membantu saya menghadapi segalanya dengan rasa sayang namun tetap disiplin pada anak, pun bertutur kata baik di depan mereka.  
Pagi tadi ada sms pemberitahuan mendadak dari AST saya kalau dia tidak masuk karena acara keluarga. Seperti biasa saya memandang dari sisi mereka, bahwa mereka juga seperti kita, punya keluarga juga kehidupan sosial yang harus dipenuhi, dengan segala keterbatasannya. Maka saya tetap melanjutkan pekerjaan saya. Belanja, memasak, cucian piring dan laundry menumpuk, rumah berantakan seperti kapal pecah, buku2 dan mainan berserakan, lantai kotor, saya harus mengantar si sulung mengaji karena hujan, belum lagi badan pegal2 dan sedikit meriang. Saya tetap bersantai dan bahagia..  
Taman Puri, 7 Pebruari 2011

4 komentar:

  1. ingin sekali meneruskanmembacanya, sayang fontnya terlalu kecil, susah bagi sy untuk dibaca, kenapa tidk pakai font yg gedean....hihihi

    BalasHapus
  2. oke deh diganti ya, trims infonya..

    BalasHapus
  3. soal pembantu memang menjadi sebuah dilema bagi kita terutama ibu2 bekerja di indonesia.............karena kita sdh terbiasa memakai jasa pembantu, apalagi yg tinggal di jakarta, dimana kita punya anak, bekerja, dan tinggal lumayan jauh dari tempat kerja
    gonta ganti pembantu, karena banyak alasan, ketidak puasan baik majikan maupun assistant, karena masing2 punya tingkat expectasi yg berbeda.
    saya pun dulu mengalaminya,
    Berbagai perasaan mendera, antara cemas, marah, capek, benci, takut , sedih dan semuanya kumpul jadi satu, karena masalah pembantu..

    Lingkungan membuat kita sangat etragntung pada pembantu…..terutama buat ibu pekerja.

    Berbeda dengan di tempat sy sekarang tinggal, pembantu tidak terlalu dibutuhkan, disamping upahnya yang mahal, juga kondisi …...agak mendukung seorang ibu untuk bisa melakukan segala sesuatunya tanpa adanya pembantu…..

    BalasHapus
  4. Benar sekali lingkungan berpengaruh pada kebiasaan tergantung dengan pembantu. Kalau di Indo salah satunya ketersediaan tenaga pembantu. Dari sisi ekonomi membantu mereka yg kurang mampu. Di tempat saya banyak AST yg menopang penghasilan keluarga karena suaminya kerja serabutan..Meski dg kemampuan terbatas setidaknya mereka sudah menafkahi keluarga, kita juga berkurang beban pekerjaan..

    BalasHapus