Kami sekeluarga pecinta buku, atau tepatnya bacaan. Kami
suka membaca. Dari kecil saya suka baca. Meski bukan berarti buku saya banyak.
Buku bagi saya di masa kecil, adalah barang mewah yang sungguh berharga. Masa
kecil saya, yang hidup di pelosok gunung, jauh dari kota, tentu jauh juga dari
pusat informasi. Maka bacaan andalan saya adalah buku-buku di perpustakaan
sekolah. Ada tabloid langganan dari kantor Bapak, yang dikirim sebulan sekali.
Isinya seputar pekerjaan Bapak, kehutanan, reboisasi, persemaian bibit pohon
dan lainnya. Tapi entah mengapa saya sangat menyukainya. Saking nggak ada
bacaan kalee.
Saya akui waktu itu saya sangat haus dengan bacaan, terutama
untuk seusia saya. Saya ingat, sekali waktu pernah saya dan Bapak ke kota
Probolinggo. Kami mampir toko buku dan Bapak membelikan majalah buat saya.
Girang betuul hati saya, itulah majalah saya yang pertama dan selanjutnya kami
tidak pernah beli lagi. Bukannya Bapak tidak sayang pada saya, tapi saya yang
harus tahu diri. Saya juga ingat, buku bacaan yang saya miliki waktu SD ada
dua, itu pun pemberian semua. Saya lupa judulnya, yang satu pemberian bulik
saya, seorang guru di Probolinggo. Satu lagi pemberian guru SD saya, pak Sugik.
Buku itu, sekarang sudah hilang, entah kemana. Karena kami memang
berpindah-pindah ngikuti pekerjaan Bapak.
Waktu SMA, saya sempat ngekos, udah mulai mandiri. Bisa
menyisihkan sedikit uang saku, setidaknya sebulan sekali bisa beli satu
majalah, sekali lagi, bukan buku. Karena toko buku kebanyakan menjual buku-buku
pelajaran. Sekali waktu saya pernah main ke rumah teman, yang memiliki banyak
sekali tumpukan majalah Intisari edisi lama. Dari dia saya mengenal Intisari,
dan saya diperbolehkan meminjam beberapa bundle sekaligus. Betapa bahagianya
saya. Ketika satu bundle itu telah habis saya lahap, saya kembali meminjam
beberapa bundle lagi. Sampai habis semua Intisari yang ada di rumahnya.
Entahlah, meski hanya meminjam, setiap habis membaca saya selalu merasa habis
jalan-jalan keliling dunia. Haha, lebay.
Asyiknya lagi, SMA tempat saya
bersekolah adalah sekolah yayasan yang bergabung dengan TK, SD dan SMP.
Perpustakaannya pun terpisah antara SMP dan SMA, namun kami boleh meminjam buku
di perpustakaan mana saja. Tiap akhir pekan, saya selalu mampir ke perpustakaan
SMP, meminjam buku-buku fiksi kesukaan saya. Sedianya buku itu yang akan
menemani malam minggu dan hari libur saya di kos-kosan. Senin pagi, saya sudah
fresh dan buku-buku itu saya kembalikan lagi. Begitu seterusnya sampai saya
bosan sendiri dengan perpustakaan SMP. Ada satu impian kecil saya waktu itu,
kelak jika saya punya uang sendiri, ingin mengoleksi buku-buku yang banyak,
yang dapat dipinjamkan pada orang lain. Hehe..
Begitulah kecintaan saya pada buku dan bacaan. Sayang sekali
toko buku sangat jarang di kota kami. Padahal kalaupun ada, saya juga belum
mampu membelinya.... Saya mengenal toko buku besar itu waktu kuliah, yaitu
Gramedia. Wuaaah… Kebayang nggak betapa tempat itu seperti surga buku bagi
saya. Mana tempatnya adeem, bukunya banyak, dan boleh dibaca-baca dulu, karena
memang ada yang sengaja dibuka. Uang di saku boleh terbatas, tapi setidaknya
saya bisa baca sedikit-sedikit. Terus ganti lagi, dan ujung-ujungnya saya hanya
beli satu buku, judulnya lupa, harganya tak sampai tiga puluh ribu. Itu pun
bangganya bukan main. Maklumlah, uang saku yang terbatas, hidup di perantauan
membuat saya harus pintar mengatur keuangan. Kalau melihat orang lain sedang
menenteng tas belanjaan di Gramedia, dengan jumlah buku yang banyak, saya selalu bermimpi nanti, suatu saat saya
juga akan seperti itu. Gramedia, adalah tempat impian saya kalo berangan-angan.
Seandainya nanti punya uang lebih, saya harus kesana. Tapi itu jarang saya
lakukan, karena uangnya selalu pas-pasan.. Gramedia tinggal impian.. hehe..
Lulus kuliah, -sebelum lulus malah, saya mulai kerja. Meski
gaji tidak besar, tapi saya senang mulai bisa beli buku yang saya inginkan.
Meski tidak banyak, bacaan itu hasil keringat sendiri.
Singkat cerita, ternyata oh ternyata.. Ada seorang teman
yang kisahnya pun mirip-mirip dengan saya. Cinta buku, suka membaca dan
kisahnya tentang buku tak beda jauh dengan saya. Kami mulai bertukar bacaan.
Daan, ibarat panci ketemu tutupnya, chemistry di antara kami seperti terjalin
selama bertahun-tahun silam. Tak lama, kami pun seia sekata mengayuh
bahtera. Ehem.. Itulah dia, suami saya..
Waktu terus berjalan, kecintaan kepada buku makin bertambah.
Sekuat tenaga, sebisa mungkin buku jadi santapan utama kami. Apalagi dengan
hadirnya ketiga putra kami, seperti jadi pemicu agar kebiasaan kami berdua
menular kepada mereka. Bahkan dulu, jika ada buku bagus untuk anak-anak namun
harganya yang tak terjangkau, kami rela harus mencicilnya. Energi membaca
seolah terus menyala di rumah kami. Jika kami bepergian ke suatu tempat, tak
lupa kami mampir ke toko buku. Apalagi toko buku besar, seperti tempat cuci
mata paling mujarab. Tak seorang pun dari kami yang tak suka ke toko buku. Serewel
apapun, sepenat apapun, ketika masuk ke toko buku, kami akan fresh seketika.
Apalagi kalau buku yang diinginkan sudah ketemu, bahagia sekali rasanya. Buku
seperti, obat bagi kami..
Namun yang disayangkan, toko buku di kota kami baru sedikit.
Itu pun koleksinya sedikit dan peminatnya tidak banyak. Kadang kami kecewa,
pertumbuhan ekonomi semakin pesat –mall bertebaran di tiap penjuru kota, namun
toko buku yang memadai belum tersedia. Menurut hemat saya, karena minat baca
yang masih kurang, gaya hidup yang tinggi tapi kecintaan pada bacaan minim
sekali. Masyarakat masih terpesona oleh megahnya penampilan dan gaya hidup
urban. Seandainya saja Gramedia muncul di kota kami, mungkin tak
akan ramai. Tapi coba kalau mall, selalu dipadati pengunjung. Ini seperti,
lingkaran setan. Tapi sudahlah, saya tak ingin memperpanjang lagi. Karena hal
tersebut tetap tak menyurutkan langkah kami untuk setia pada buku. Toh, toko
buku online kini menjamur. Kalaupun ingin cuci mata ke toko buku beneran, kami
harus rela menempuh 75 km demi kebutuhan jiwa. Gramedia, itu toko buku terbesar
dan terdekat di kota kami.
Kami, sangat bersyukur. Meski tidak banyak, buku-buku yang
kami koleksi masih memberi manfaat buat teman-teman di sekitar kami. Kalau dulu
waktu sekolah saya punya impian ingin bikin rumah yang ada perpustakaannya,
kini impian itu mulai teretas perlahan, satu-persatu. Perpus Mini, kami
menyebutnya kini. Semoga dengannya buku-buku kami memberi manfaat bagi lebih
banyak orang. Semoga pula makin bertambah dan berkah. Aamiin..
Kami sekeluarga, memang pecinta buku, suka membaca dan cinta
bacaan. InsyaAllah, buku adalah sumber
ilmu yang akan terus abadi, tak lekang oleh pesatnya teknologi. Jaman boleh
canggih, ada DVD, flash disk, e-book, internet, tablet dll, tapi semua itu
perlu media, perlu ruang dan perlu energi lain. Tapi buku, sejak jaman Nabi
hingga sekarang buku tak akan berubah. Buku akan tetap menjadi buku, jendela
ilmu..
Graha Asri, 22 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar