Jumat, 20 September 2013

Makan Untuk Hidup, Bukan Hidup Untuk Makan



Saya bukan penggemar bakso. Namun dulu ketika kelas tiga SMA, saya punya langganan bakso. Bakso ini, konon katanya masih kalah dahsyat dari pada bakso terenak di kota kami. Tapi tentu saya punya alasan tersendiri untuk selalu menunggu bakso kesayangan ini.

Masa kelas tiga SMA itu rasanya campur aduk bagi saya. Masa-masa menghadapi ujian, masa serius, masa yang dipenuhi penasaran akan dibawa kemana langkah kaki saya nanti. Luluskah saya? Berapa kira-kira NEMnya? Diterimakah saya di PT Negeri? Bisakah saya mendapat beasiswa? Dsb pokoknya campur aduk. Dampak dari perasaan tak menentu itu salah satunya membuat nafsu makan saya menurun. Sarapan tak selera, makan siang pun hanya sebatas menggugurkan kewajiban, apalagi makan malam. Akhirnya demi Ibu, saya selalu memakan telur yang selalu beliau rebuskan tiap pagi. Malamnya, jika tak mau makan, saya dibolehkan menunggu si tukang bakso. Pak Min namanya.

Pak Min ini, datangnya memang pas sekali. Ketika saya sudah bosan menghadapi soal-soal latihan, PR dan semacamnya. Angin malam yang dingin dari sawah di belakang rumah, ditambah suasana perumahan yang sepi, ditambah mata yang sudah penat. “Tik tok tik tok..” Ini dia yang membuat nafsu makan saya bangkit lagi. Beberapa potong tahu dan bakso dalam mangkok yang kecil itu harganya hanya Rp 200 saja, telah membuat semangat hidup saya kembali menggelora..


Bertahun-tahun kemudian, tepatnya lebaran kemarin, saya ingin menyantap lagi bakso Pak Min. Kini baksonya sudah bukan di gerobak lagi, melainkan di warung. Demi menuruti rasa kangen saya pada tahu dengan isi yang kenyal-kenyal itu, suami saya membungkusnya dan dimakan di rumah. Usai makan, saya bilang ke suami,
“Baksonya Pak Min udah nggak seenak dulu..”
“Yaah begitulah,” kata suami saya.
“Apanya?”
“Bukan baksonya yang nggak enak…” katanya lagi.
Betul sekali, saya setuju dengannya. Bakso itu bukan menurun cita rasanya, bahkan mungkin sekarang lebih enak. Tapi entahlah, mungkin selera saya sudah terkontaminasi bakso daerah ‘barat’, bisa juga suasana zaman yang berubah, bahkan tak mustahil karena saya makan bakso kali ini hanya sekedar pemuas lidah. Sejatinya perut saya tak terlalu lapar..

Hal yang hampir sama ketika Ahnaf liburan akhir tahun kemarin, pas bulan Syaban. Hari pertama di rumah, Bapaknya harus berangkat kerja di malam harinya. Sore itu kami mengajaknya sekedar makan donat bersama. Sebenarnya Ahnaf malas, tapi demi Bapaknya, dia pun mau. Jadilah kami berlima mengunjungi toko donat terdekat. Usai membayar, kami memilih tempat duduk. Diam-diam Ahnaf berbisik, “Mahal juga donatnya ya, masa donat segini sama minuman segini seratus ribu..” Sejak hidup di pondok dia memang sangat sangat menghargai uang. “Tapi donatnya enak kan?” Saya membela diri, supaya acara makan donat ini lebih ‘sah’ baginya.
“Halah biasa aja kok, donat di pondok juga enak banget, harganya murah lagi, 2000 dapet 3,” katanya lagi.

Dia meyakinkan saya kalau di kantin pondok tersedia aneka jajanan dan kue basah yang harganya Rp 2000 per 3 kue, termasuk donat yang dibicarakannya itu. Memang, di daerah yang masih pelosok seperti pondoknya harga-harga masih murah, termasuk makanan. Anak-anak yang tak sempat sarapan di pagi hari, saat istirahat bisa jajan di kantin, atau makan di dapur pondok. Si Mbok-e dapur akan sibuk, meski di tengah keramaian itu mereka akan selalu melempar senyum buat anak-anak, “Monggo(silakan), ready!”

Maka bagi Ahnaf, donat yang 2000 dapat 3 dengan donat seratus ribu adalah sama citarasanya. Meski sebenarnya berbeda bahan, adonan, tambahan rasa dsb. Kebutuhan makan untuk hidup, seperti yang diajarkan di pondok, telah mengubah ‘rasa’ di lidahnya. Maka selagi ada waktu untuk makan, makanlah meski seleramu tak ada. Karena makanan itu bahan bakar untuk ragamu.

Begitupun bakso Pak Min, yang akhirnya bagi saya tak seenak dulu. Padahal bukan itu, bukan.. Rasa bakso berubah, karena saya telah membalikkan makna makan..

Graha Asri, 20 September 2013

3 komentar:

  1. menurut saya cita rasa makana sangat dipengaruhi oleh situasi akan suangat enak bila kondisi yang pas. Sebagaimana bakso pak Min berasa enak pada kondsi saat itu..............

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. iya bener, kondisi saat itu, berbeda dengan saat ini.. bisa jadi bertahun-tahun kemudian, jika Ahnaf makan donat pondok, rasanya nggak seenak sekarang..

      Hapus