Saya bukan penggemar bakso. Namun dulu ketika kelas tiga
SMA, saya punya langganan bakso. Bakso ini, konon katanya masih kalah dahsyat
dari pada bakso terenak di kota kami. Tapi tentu saya punya alasan tersendiri
untuk selalu menunggu bakso kesayangan ini.
Masa kelas tiga SMA itu rasanya campur aduk bagi saya. Masa-masa
menghadapi ujian, masa serius, masa yang dipenuhi penasaran akan dibawa kemana
langkah kaki saya nanti. Luluskah saya? Berapa kira-kira NEMnya? Diterimakah
saya di PT Negeri? Bisakah saya mendapat beasiswa? Dsb pokoknya campur aduk.
Dampak dari perasaan tak menentu itu salah satunya membuat nafsu makan saya
menurun. Sarapan tak selera, makan siang pun hanya sebatas menggugurkan
kewajiban, apalagi makan malam. Akhirnya demi Ibu, saya selalu memakan telur
yang selalu beliau rebuskan tiap pagi. Malamnya, jika tak mau makan, saya
dibolehkan menunggu si tukang bakso. Pak Min namanya.
Pak Min ini, datangnya memang pas sekali. Ketika saya sudah
bosan menghadapi soal-soal latihan, PR dan semacamnya. Angin malam yang dingin dari
sawah di belakang rumah, ditambah suasana perumahan yang sepi, ditambah mata
yang sudah penat. “Tik tok tik tok..” Ini dia yang membuat nafsu makan saya
bangkit lagi. Beberapa potong tahu dan bakso dalam mangkok yang kecil itu
harganya hanya Rp 200 saja, telah membuat semangat hidup saya kembali
menggelora..
Bertahun-tahun kemudian, tepatnya lebaran kemarin, saya
ingin menyantap lagi bakso Pak Min. Kini baksonya sudah bukan di gerobak lagi, melainkan
di warung. Demi menuruti rasa kangen saya pada tahu dengan isi yang
kenyal-kenyal itu, suami saya membungkusnya dan dimakan di rumah. Usai makan,
saya bilang ke suami,
“Baksonya Pak Min udah nggak seenak dulu..”
“Yaah begitulah,” kata suami saya.
“Apanya?”
“Bukan baksonya yang nggak enak…” katanya lagi.
Betul sekali, saya setuju dengannya. Bakso itu bukan menurun
cita rasanya, bahkan mungkin sekarang lebih enak. Tapi entahlah, mungkin selera
saya sudah terkontaminasi bakso daerah ‘barat’, bisa juga suasana zaman yang berubah,
bahkan tak mustahil karena saya makan bakso kali ini hanya sekedar pemuas lidah.
Sejatinya perut saya tak terlalu lapar..
Hal yang hampir sama ketika Ahnaf liburan akhir tahun
kemarin, pas bulan Syaban. Hari pertama di rumah, Bapaknya harus berangkat
kerja di malam harinya. Sore itu kami mengajaknya sekedar makan donat bersama.
Sebenarnya Ahnaf malas, tapi demi Bapaknya, dia pun mau. Jadilah kami berlima
mengunjungi toko donat terdekat. Usai membayar, kami memilih tempat duduk.
Diam-diam Ahnaf berbisik, “Mahal juga donatnya ya, masa donat segini sama
minuman segini seratus ribu..” Sejak hidup di pondok dia memang sangat sangat menghargai
uang. “Tapi donatnya enak kan?” Saya membela diri, supaya acara makan donat ini
lebih ‘sah’ baginya.
“Halah biasa aja kok, donat di pondok juga enak banget,
harganya murah lagi, 2000 dapet 3,” katanya lagi.
Dia meyakinkan saya kalau di kantin pondok tersedia aneka jajanan
dan kue basah yang harganya Rp 2000 per 3 kue, termasuk donat yang
dibicarakannya itu. Memang, di daerah yang masih pelosok seperti pondoknya
harga-harga masih murah, termasuk makanan. Anak-anak yang tak sempat sarapan di
pagi hari, saat istirahat bisa jajan di kantin, atau makan di dapur pondok. Si
Mbok-e dapur akan sibuk, meski di tengah keramaian itu mereka akan selalu
melempar senyum buat anak-anak, “Monggo(silakan),
ready!”
Maka bagi Ahnaf, donat yang 2000 dapat 3 dengan donat seratus
ribu adalah sama citarasanya. Meski sebenarnya berbeda bahan, adonan, tambahan
rasa dsb. Kebutuhan makan untuk hidup,
seperti yang diajarkan di pondok, telah mengubah ‘rasa’ di lidahnya. Maka
selagi ada waktu untuk makan, makanlah meski seleramu tak ada. Karena makanan
itu bahan bakar untuk ragamu.
Begitupun bakso Pak Min, yang akhirnya bagi saya tak seenak
dulu. Padahal bukan itu, bukan.. Rasa bakso berubah, karena saya telah
membalikkan makna makan..
Graha Asri, 20 September 2013
menurut saya cita rasa makana sangat dipengaruhi oleh situasi akan suangat enak bila kondisi yang pas. Sebagaimana bakso pak Min berasa enak pada kondsi saat itu..............
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapusiya bener, kondisi saat itu, berbeda dengan saat ini.. bisa jadi bertahun-tahun kemudian, jika Ahnaf makan donat pondok, rasanya nggak seenak sekarang..
Hapus