Senin, 16 Januari 2012

Banjir

Ciujung banjir lagi, entah yang kesekian kali.  Air yang meluap dari sungai Ciujung ini menggenangi desa2 yang ada di bantaran kali, menenggelamkan sawah, rumah dan akhirnya jalan tol yang menghubungkan Jakarta-Merak. Jika sudah sampai ke jalan tol berarti rumah2 penduduk sudah tenggelam. Akhirnya mereka mengungsi ke pinggiran jalan tol yang tak tergenang air.
Sungai Ciujung yang berhulu di Kanekes, tempat orang Baduy bermukim, dulunya adalah hutan yang berfungsi sebagai resapan air.  Konon orang2 Baduy sendiri pernah memperingatkan, jika hutan2 di Kanekes ditebangi, maka orang2 di Pandenglang, Serang dan sekitarnya akan merasakan banjir kiriman. Pada akhirnya memang banjir menjadi langganan, dan yang harus menderita adalah masyarakat di bantaran sungai Ciujung, mereka hanyalah korban akibat kaum yang serakah.

Bicara soal banjir, saya teringat pengalaman sendiri saat awal2 menempati rumah baru di Taman Puri, tahun 2001. Baru beberapa bulan ditempati rumah ini sudah kebanjiran. Awalnya kami memang kurang memperhatikan aliran pembuangan air di selokan yang berasal dari danau kecil di pinggir perumahan. Ketika hujan, air di danau ini meluap memenuhi selokan di perumahan kami, terutama yang tempatnya terendah. Rumah saya salah satunya.
Puncak yang sungguh memilukan adalah di bulan April 2002. Malam itu hujan memang sangat deras. Sehabis isya, saya menidurkan Ahnaf yang saat itu masih berumur setahun. Suami mulai menyiapkan beberapa pengganjal di pintu, menutup lubang2 air yang dari selokan, memasang papan di pintu dapur dan mulai menggulung karpet juga barang2 elektronik lain. Ahnaf sudah tertidur pulas, tapi saya dan suami tetap memicingkan mata, dengan perasaan was-was sambil sekali2 mengintip ke jalan. Benar saja. Air sudah menggenangi jalan, pertanda sebentar lagi akan masuk rumah. Semua perabotan (untungnya waktu itu kami belum punya banyak perabotan berharga) telah naik ke lemari dan kasur.
Ketika jarum jam memasuki putaran ke sepuluh, orang2 di luar mulai ramai. “Banjir, banjir!” Suami hendak membuka pintu depan ketika kemudian air dengan debit yang sangat banyak menerjang dengan tiba2. Langsung setinggi lulut. Saya panic, apa yang harus diselamatkan dulu, tak mengira air datang tiba2 setinggi ini. Kulkas ambruk dengan sukses. Saya menghampiri Ahnaf di kamar. Tempat tidur bergerak seperti perahu, membuat dia terbangun. Saya ambil Ahnaf sebisanya, saya gendong dan tak memedulikan yang lain. Hampir saya menangis bagaimana seandainya air tiba2 memenuhi rumah kami. Suami mengajak mengungsi bersama tetangga yang lain. Selama berjalan, air memenuhi batas paha saya dengan deras. Untung saja ada rumah Pak Bobby, tetangga kami yang masih bujangan dan rumahnya tidak terkena banjir. Suami meninggalkan saya dan Ahnaf bersama ibu2 yang lain di situ. Dia kembali ke rumah kami, berusaha menyelamatkan barang2 kami. Semalaman kami di situ. Subuh, banjir telah surut, suami menjemput kami. Dan ketika masuk rumah, bau lumpur begitu terasa bekas banjir semalam, meski suami telah berusaha membersihkannya sebelum menjemput kami.
Pagi itu, sendu. Tapi suami tetap semangat membersihkan lantai, saya mambantu sebisa mungkin. Dia mengepel lantai berkali2 dengan air sabun. Ketika lantai bersih, kami lega. Tapi mendung masih menyelimuti pagi itu. Tetap saja kami was2. Saya ke wartel, menelpon atasan saya, meminta ijin tidak masuk kerja karena rumah banjir. Siangnya ada sedikit matahari, kami menjemur kasur, bantal, pakaian basah dari lemari, dan yang utama dan paling berharga, buku2 kami.. Sedih rasanya melihat buku2 itu nyaris rusak, untungnya tidak semua.
Ternyata matahari baru sebentar mengintip, hujan tiba2 turun lagi, deras. Dan, banjir lagi. Sedih lagi. Tadi pagi suami dengan semangat mengepel  berkali2 dengan sabun, lalu air itu menggenangi lagi tanpa permisi, tanpa toleransi waktu.. Hu hu hu…
Itulah awal perkenalan kami dengan banjir.. Yang kemudian berulang kembali di saat hujan. Dengan pertimbangan banjir datang sewaktu2 sedangkan kami berdua sama2 bekerja, akhirnya kemudian kami mengungsikan Ahnaf sementara ke rumah orang tua di Jatim. Sedih, sangat. Banjir, jauh dari anak.. Bahkan ketika Ahnaf kembali empat bulan kemudian, banjir masih menyapa kami.
Baru  sekitar tahun 2003 ada inisiatif dari developer untuk memperbaiki system saluran air. Kadang2 banjir masih datang, sekali dua kali. Dan tahun 2004 baru benar2 bebas banjir. Tetapi tetap saja saat hujan kami masih trauma, tidak nyenyak tidur, takut tiba2 banjir datang..
Persoalan banjir memang ada di mana2. Hanya dapat dirasakan bagi yang pernah mengalaminya sendiri dan terjun langsung di lokasi. Sampai kapankah persoalan bangsa yang satu ini akan berakhir? Sampai kapankah penguasa ‘benar2’ peduli untuk mengatasi masalah ini?? Sampai kapankah manusia hanya bisa saling menyalahkan??
Entahlah, yang jelas banjir adalah peringatan bagi manusia untuk lebih bersahabat dengan alam!!
Graha Asri, 16 Januari 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar