HP-nya dipassword

Beberapa waktu lalu saya bertemu beberapa ibu wali murid, pas ambil raport si sulung. Biasalah para ibu kalau berkumpul saling bercerita, seru lagi. Tentu saja perihal anak-anak mereka, perkembangan dan kesehariannya. Maklum beberapa bulan lagi saatnya UASBN dan kelulusan.

Entah awalnya bagaimana topik pembicaraan berubah menjadi telepon genggam (HP). Salah seorang ibu, dengan sedikit bangga menceritakan kalau ia tak bisa membuka HP anaknya, karena dipassword, katanya. Nanya password-nya, nggak boleh, rahasia, katanya lagi. Duh anak jaman sekarang main rahasia2an sama orang tuanya. Sebaliknya si anak dengan leluasa boleh membuka-buka HP ibunya. Ibunya juga tak keberatan dengan hal ini, katanya biar anaknya punya privasi. Si ibu, dengan sedikit bangga lagi, merasa bahwa anaknya lebih pintar dari dirinya soal per-HP-an. Apalagi HP si anak bisa untuk akses internet, terutama facebook.

Tapi ya itu tadi, si ibu nggak boleh buka.. Gleg.. Saya setengah terkejut…
Kepingin hati saya, memarahi si ibu, kok nggak punya kuasa banget atas anaknya, terutama hal se-urgent ini, sebebas ini. Anak kelas 6SD gitu looh. Kepingin hati saya pula berkata ke si ibu, “Paksa dong Bu, tanya password-nya. Kalo nggak mau cabut jatah pulsanya, atau HP-nya sekalian!” Duh sekejam itukah saya..

Tapi keinginan itu tak sempat terlontar dalam bentuk kata2, karena saya tak tega menjatuhkan harga diri si ibu di depan ibu2 yang lain. Toh buat dia, soal HP canggih begini hanya masalah kecil.

Tapi (lagi2 tapi) bagi saya pribadi, buat anak-anak saya adalah masalah sangat besar. Bukan apa2, bukannya mau mengekang, atau mengusik privasi mereka. Tapi hari gini??  Bagaimana mau mengontrol apa yang disimpan di HP anak, apa saja yang dibukanya di internet, berkawan dengan siapa, adakah topik yang tak pantas dibicarakan dengan teman2nya, kalau membuka HP-nya saja tidak boleh.

Saya, dan suami, di rumah berlangganan internet, unlimited. Digunakan seperlunya. Anak-anak boleh menggunakan, tapi ada waktunya. Mereka punya akun FB & email, tapi kami harus tahu passwordnya. Sekali waktu kami berpatroli, sekedar ingin tahu. Apa sajakah yang dibukanya, siapa saja teman2nya. Topik apa yang mereka bicarakan. Jika kemudian misalnya, ada hal-hal menyimpang, kata2  yang tak tersensor, gambar nyeleneh, provokasi negative dan banyak hal negative lainnya, kami akan tahan dulu. Jika saatnya tepat, hal2 tadi kami bicarakan dengan mereka, dengan perlahan dan hati-hati. Untuk kemudian diluruskan sebagaimana jalan yang harus ditempuh..

Terlalu kejamkah?? Relatif. Bagi orang lain mungkin sangat kejam, terlalu mengekang dan sebagainya. Tapi bagi kami, masih wajar, justru kendali terbesar ada di tangan kami, orang tua mereka. Lalu apakah kemudian anak2 tidak disebut gaptek?? Ah, gaptek itu juga relatif. Banyak kok orang dengan gadget canggih, terbaru, lengkap, ada yang khusus buat game, khusus internet,  dll, tapi masih kalah canggih dengan orang yang gadgetnya sederhana..  Jadi menurut saya gadget bukan ukuran kegaptekan.

Suatu ketika pula anak saya bercerita, kalau HP teman2nya canggih, (meski saya tahu peraturan ke sekolah tidak boleh membawa HP, nyatanya peraturan tinggal peraturan, yang dengan peraturan itu saya lebih memilih menetapkan tempat2 rahasia di rumah untuk menyimpan kunci  ketika saya hendak pergi, atau lompat jendela/pagar, tidak semudah seandainya anak saya boleh bawa HP meski untuk keperluan komunikasi, sedang teman2nya untuk nge-game dan fesbukan , waduuh.. mumet mikirin hal ngelantur begini).. Kembali ke topik HP canggih, dalam hati saya pasti dia pingin punya HP keren, setidaknya, canggih, kalau boleh.. Alih2 membelikan, malah kami memberinya HP dengan fitur sangat-sangat sederhana, malah yang kedua ini HP bekas Bapaknya yang pernah rusak. Hehe.. Itu pun karena memang seumur dia udah perlu HP.. Mau dibilang pelit, nggak papa. Mau dibilang gaptek, nggakpapa. Mau dibilang kuno, katrok, ya nggak papa juga.. Toh ini kesepakatan kami bersama anak2..

Jurus utama yang kami andalkan adalah, azas manfaat. Titik. Saya rasa anak seumur dia banyak memiliki waktu efektif yang bisa dioptimalkan untuk hal-hal positif, daripada diperbudak gadget canggih, terutama HP. Soal game juga selalu saya tekankan ke Ahnaf, boleh, sekali waktu aja, bukan untuk santapan utama. Suatu ketika pula dia pernah cerita, kalo lagi ngobrol bertiga temannya. Kedua temannya ini saling pamer jumlah game di HP mereka. Teman 1 gamenya ada 40, teman 2 ada 60-an game. Si Ahnaf mbatin katanya, “Gimana kalo mereka tau Ahnaf cuma punya 3 game di HPnya. Pasti Ahnaf diledek habis2an. Tapi Ahnaf nggakpapa kok Bu..”  Alhamdulillah dia sudah bisa mikir sendiri begitu..

Di rumah kami, semua HP tidak berpassword. Siapa yang mau meminjam, boleh. Jadi mau mempassword HP?? Ketika saya tawarin Ahnaf, HPnya mau dipassword nggak?? Jawabnya, “Ngapain mau pasword2 segala, kurang kerjaan….”

Padma, Parijs van Java 22 Januari 2012