Sabtu, 11 Februari 2012

Keikhlasan Para Santri

Kira2 sebulan yang lalu, Ahnaf telah mengkhatamkan Al-Quran. Untuk yang pertama kali. Saya terharu, karena ketika saya seusianya dulu belum jua menghabiskan juz 1. Itu juga mengajinya terbata-bata. Terharunya lagi karena saya teringat bagaimana proses belajar si Ahnaf mulai mengeja lembaran seri buku Iqra saat umurnya belum 4 tahun, satu persatu. Bagaimana ia sempat mogok mengaji ketika kelas 1 dan kelas 2, bagaimana saya selalu menyemangatinya dan terus menyemangatinya..


Sampai suatu ketika saat kenaikan kelas 3, di situlah titik balik semangatnya benar2 terpompa. Begitu pula semangat saya untuk mencurahkan waktu semaksimal mungkin. Dengan cara yang senyaman mungkin untuk mengajarinya kembali membaca Al Quran, dari awal. Kami mulai kembali dari Iqra 1, perlahan, lebih bersungguh-sungguh. Bersungguh-sungguh ini ternyata amat penting, karena menghasilkan efek yang luar biasa. Dalam kisaran waktu 6 bulan, satu paket Iqra jilid 1 – 6 sudah dikuasainya dengan lancar. Saya sangat percaya diri untuk menaikkannya ke Al Quran. Demi memompa semangatnya saya menghadiahinya Al Quran baru, yang lebih besar dari kepunyaan saya. Hurufnya lebih besar sehingga lebih mudah dibaca. Bukan main senangnya Ahnaf diberi hadiah seperti itu. Semakin menambah percaya dirinya. Dan percaya diri ini juga penting, karena tidak hanya menambah kecintaannya pada mengaji, namun juga hafalan Quran. Dua percaya diri yang belum saya miliki saat seusia Ahnaf.


Ingatan saya begitu kuat pada suatu tempat dan waktu, di kala itu. Puluhan tahun silam, berjarak lebih dari seribu kilometer, di ketinggian 1200 mdpl di kaki gunung Argopuro. Di sebuah langgar (musholla) milik almarhum Kiai No. Siang itu pukul setengah 2, matahari terik, namun udara pegunungan mampu melawan panasnya sang surya. Kami anak-anak perempuan dan laki-laki yang belum baligh (anak laki-laki yang sudah baligh mengajinya sesudah Maghrib), berjumlah sekitar 30 orang. Kiai belum masuk ke dalam langgar, tapi kami sudah datang. Meski kegiatan mengaji belum dimulai tapi kami tidak ada yang berpangku tangan. Sebagai bakti pada sang Kiai, kami membantunya menimba air, menyapu halaman, memipil jagung kalau Kiai sedang panen jagung, atau  bahkan sekedar membantu Nyai kalau sedang kerepotan di dapur.


Yang namanya menimba air ini jangan dikira hanya sekedar menimba dari sumur, air didapat lalu ditimba, beres. Di daerah kami hampir tidak ada sumur, kalaupun ada dalamnya puluhan meter. Untuk mengisi bak wudhu di langgar, kami harus berjalan menuruni lembah sekitar 1 kilometer. Jalannya bertanah dan licin kala hujan. Di bawah itu terdapat sumber mata air yang bersih dan segar. Dari situlah kami menimba, dengan jerigen berukuran 5 liter. Sekalian juga kami berwudhu di situ, karena merasa sayang kalau harus berwudhu dengan air bak. Pulangnya ini yang sungguh berat, karena jalanan menanjak, juga licin. Tapi karena beramai-ramai sungguh rasa pegal itu bagai sirna saja, malah kami lebih banyak bercanda. Air yang kami bawa kemudian diisikan ke bak mandi yang khusus untuk wudhu.


Kalau sedang panen jagung, teras langgar dipenuhi jagung2 kering yang siap dipipil. Jagung milik Kiai banyak, sampai tak muat ruang tamunya oleh jagung. Memipil jagung kering juga butuh kesabaran, karena jempol biasanya menjadi panas, bengkak dan berair. Tapi herannya tak satu pun dari kami mengeluh apalagi merengek. Kami tetap bercanda sambil menunggu Kiai datang.


Begitu pula kalau sedang musim angin, halaman Kiai akan dipenuhi daun2 kering. Halaman yang luas itu kemudian menjadi kurang sedap dipandang. Maka kami beramai-ramai menyapunya dengan sapu lidi. Jika semua pekerjaan itu telah selesai, biasanya waktu yang masih ada kami gunakan untuk mengulang kajian masing2.


Di sinilah sebenarnya kesulitan yang saya alami, merasa begitu tertinggal dibanding teman2 yang lain, meski mereka umurnya di bawah saya. Metode mengaji di sini menggunakan ejaan dan dilagukan dalam bahasa Madura. Dibutuhkan waktu yang lebih lama bagi saya untuk benar2 mengerti apa yang diajarkan Kiai. Biasanya sebelum setor mengaji ke Kiai, kami akan diajari dulu oleh kakak2 para putra Kiai. Sesungguhnya mereka sangat sabar dan telaten mengajari kami. Tapi bagi saya ejaan huruf2 hijaiyah yang disambung dan dilagukan dengan bahasa Madura tetap terasa sulit. Bahkan ketika setor ke Kiai banyak teman2  yang mudah naik, tapi saya sulit sekali. Meski sudah diulang2 tetap saja sulit.


Sosok Kiai di mata kami para santrinya adalah tegas dan disiplin. Tidak pernah main2 dengan hukuman. Hal ini menjadikan kami lebih patuh pada peraturan beliau. Karisma beliau begitu kuat di hati kami, sehingga tak satupun dari kami sanggup menatap beliau.


Namun dalam menghadapi santri2 yang kesulitan mengaji, beliau selalu sabar. Kalau kami gagal naik baris, paling2 beliau hanya menasehati, “Ya, besok diulang lagi ya..” Hanya itu. Dan kami akan terus mengulangi lagi, dan lagi. Sampai benar2 mengerti. Makanya Kiai terkenal ‘pelit’ untuk menaikkan santrinya yang belum benar2 mengerti. Tapi kami tak putus asa. Nyatanya keesokan harinya kami akan datang lagi, dan lagi.


Baru kini  saya mengerti bahwa setiap anak memiliki metode yang berbeda dalam pembelajaran, seperti yang saya alami dulu. Bagi sebagian besar teman2 saya, mudah. Tapi bagi saya dibutuhkan kerja keras dan waktu yang lebih lama. Ketika teman2 mulai masuk ke AlQuran besar (istilah untuk Al Quran yang sesungguhnya) saya masih pakai Al Quran kecil (Al Quran yang isinya hanya juz 1). Itu pun terasa lambat, tapi Kiai selalu membesarkan hati kami agar selalu rajin datang mengaji. Subhanallah.. Mengingat Kiai saya terharu, mungkin beliau juga tak henti mendoakan kami, santri2 yang lambat dalam mengaji. Supaya nantinya dapat lancar mengaji seperti yang lain.


Alhamdulillah, kini saya dapat mengajari anak2 saya sendiri tanpa mereka harus merasakan kesulitan yang saya alami dulu. Bahkan kemampuan mereka melebihi apa yang dapat saya pelajari di usia mereka. Doa Kiai terkabul, meski saya belum pernah sekali pun berterima kasih pada beliau. Semoga pahala senantiasa mengalir bagi beliau dan keluarganya.. Amiin..


Graha Asri, 11 Pebruari 2012

4 komentar:

  1. alhamdulillaahi.
    sharingnya bagus sekali.
    barakallaahu :-)

    BalasHapus
  2. ahnaf ini kakaknya si kembar ya mbak?

    subhanallah udah pintar mengaji ya... pengen juga bisa ngajarin anak sendiri mengaji.. ntah bisa gak ya..:)

    BalasHapus
  3. iya, kakaknya Idris & Ilyas.. awalnya memang ngaji sama saya, kemudian pas udh kls 4 saya ikutkan ngaji di luar, biar bacaan, tajwid & tahfidz yg sy ajarkan juga terkontrol.. InsyaAllah bisa Uni, tinggal bagaimana kita menjalin kedekatan dg anak..

    BalasHapus