Sabtu, 18 Februari 2012

Menikmati Kala Senja


Secangkir kopi susu hangat menemaniku di jendela kamar. Sambil menikmati semilir angin, yang menyapa daun2 mangga, kamboja dan redangdong. Meski tak kencang, rupanya angin sore ini membuat kembang kamboja merah muda berjatuhan di atas rumput hijau. Sungguh serasi.  Sulungku Ahnaf tengah bertualang bersama Bapaknya. Si kembar Idris dan Ilyas asyik menggambar di whiteboard barunya. Sesungguhnya itu hanyalah triplek sisa yang ditempel Bapaknya dua minggu lalu di lorong kamar. Tangan kiri memegang penghapus dari kain perca, tangan kanan memegang spidol. Kudengar keduanya asyik ngobrol sambil memamerkan hasil gambar masing2. Aku tak ingin mengganggu keduanya. Karena aku ingin menikmati sore ini hanya di sudut jendela kamarku.

Insrumental  ‘Reason’ dkk mengalun lembut dari CD player di sudut kamar. Seolah ingin beriringan dengan angin sore yang perlahan masuk ke kamar. Indah. Jarang sekali aku menikmati sore seperti ini. Biasanya lebih banyak disibukkan mengurus anak2, dapur dan lainnya.

Dua kucing tengah bermalas2an di pojok pagar, jelas mereka tak sedang menunggu Dumbledore. Yang satu berwarna putih kekuningan, satunya lagi berwarna belang telon. Itulah induk kucing yang dua anaknya telah kulindas ban mobil beberapa bulan yang lalu, tentu tidak sengaja. Mana mungkin sengaja, aku ini tidak tegaan. Kali ini si belang telon tengah bunting lagi. Semoga anak2nya kelak dapat hidup tahan lama. Melihat dua kucing itu rasanya juga damai. Mungkin mereka juga tengah menikmati sore ini. Hawa hangat yang tersisa dari pagar bata membuat mereka terlena, bagai kasur therapy spa di hotel bintang lima. Sesekali mereka berganti posisi. Si putih, sesekali memandangiku, seolah menyapa, “Halo Nyonya, lagi menikmati ‘me time’ ya? Saya lagi spa nih. Jangan ngiri ya..”
Entah apa yang dipikirkan kedua kucing itu sepertinya santai sekali. Seolah tak lagi sedih ditinggal  mati anak2nya. Tak kuatir malam ini akan makan apa. Tak mau ambil pusing bagaimana esok hari. Juga masa bodoh nanti malam tidur dimana. Mereka tetap bermalasan. Tak ingin sedikitpun beranjak.
Perpaduan antara angin, pohon mangga, kamboja, rumput hijau, batu2 kerikil dan kucing yang bermalasan ini menciptakan harmoni. Memandangi mereka sepertinya biasa saja, jika saja aku tak ingat bagaimana dulu menghadirkan mereka di halaman rumah kami. Sebut saja sepasang pohon mangga, hampir tiga tahun lalu kami menanamnya, ketika rumah ini belum lagi berdiri sempurna. Kala itu tingginya tak sampai 2 meter, namun kini telah banyak berubah. Rimbun daunnya yang hijau sedap dipandang. Akan sedap lagi bila kelak berbuah lebat. Ada juga rumput yang terhampar di halaman, menutupi gersangnya tanah merah kala mereka belum ada. Aku ingat ketika mereka ditanam menjelang puasa. Kemarau sedang pada puncaknya. Hujan tak turun selama berbulan2. Panas. Namun demi tumbuh dan berlangsungnya hidup si rumput, kami harus tunduk pada perintah si tukang kembang untuk rajin menyiraminya pagi dan sore. Jadilah  mas Ahnaf yang kebagian tugas menyiram. Tak peduli bulan puasa, pagi sore ia harus menyiram rumput. Meski kadang disambi dengan manyun. Aku hanya bisa menyemangatinya.
“Mas jangan manyun gitu, dong. Itu rumputnya juga sedang bicara, hanya saja kita nggak dengar. Kalau kita menyiramnya dengan gembira, dia akan tumbuh subur, tapi kalo kita menyiramnya sambil marah dan kesal, dia enggan tumbuh. Kalaupun tumbuh ya setengah2, penyakitan dan kering. Kan kasihan.”
“Betulkah? Macam tau2 aja.”(menirukan Upin)
“Betul.. Lihat saja nanti. Kalo mereka subur, kan enak halamannya bisa buat main, segar dan nggak berdebu.”
Entahlah, tapi memang si rumput tumbuh subur dalam sebulan. Dan kewajiban menyiram dua kali sehari jadi berkurang, cukup sehari sekali saja. Saya jadi  punya senjata mumpuni dalam memuji kerja keras mas Ahnaf.
Kini semua tanaman yang penuh sejarahnya masing2 ini terlihat sangat indah. Mana mungkin sore ini terasa begitu damai tanpa kehadiran mereka. Jika saja angin berhembus tanpa pohon2 mangga dan kamboja, mungkin desahannya akan hambar. Akan lain pula rasanya bila kedua kucing di hadapanku ini tengah bertengkar hebat.   
Kopi telah habis, namun hangatnya masih terasa di genggaman kedua tanganku. Senja pun meremang namun damainya tak akan hilang.
“Bu, ayo lihat, Ilyas gambar truk..” Tak terasa Ilyas telah menarik ujung rokku.
“Oya, mana coba Ibu mau lihat, tapi Ibu tutup jendela dulu ya..”
Sore ini meski tak lama aku boleh bangga, seperti Jon Krakauer yang berhasil ke puncak Himalaya. Begitu pula aku tak iri pada Andrea Hirata yang telah berkeliling benua. Karena untuk merasakan kedamaian, juga rasa syukur tak terhingga aku tak harus jauh2 seperti mereka. Cukup di jendela kamarku saja..
Graha Asri, 18 Pebruari 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar