Kamis, 03 Juni 2010

Kisah Nenek sapu



Ini kisah tentang seorang nenek tua penjual sapu lidi yang berjualan keliling kampung dan perumahan tempat saya tinggal. Usianya kira-kira 80an atau mungkin lebih. Badannya kecil dan kurus, tetapi jalannya masih kuat dan lancar.
Biasanya si Nenek lewat tempat kami seminggu sekali, kalau nggak hari Sabtu ya Minggu. S
uaranya parau tetapi cukup jelas. "Sapooo...." Begitu biasanya yang kami dengar. Lalu apa istimewanya Nenek ini sampai kisahnya menginspirasi saya?
Pertama, pekerja keras. Usianya memang sudah senja, layak baginya adalah hidup tenang menikmati sisa usia dikelilingi anak cucu yang menyayangi dan melayani. Tapi tidak demikian halnya si Nenek, ia mau berusaha bekerja mencari rejeki halal dengan keringat, tangan kaki dan seluruh jiwa raganya sendiri. Hebat. Semua lidi itu dia kumpulkan sendiri, dibersihkan, diikat, digendong di bahunya yang renta, berkeliling. Lalu bila ada orang yang hendak membeli dipatoknya harga per sapu dua ribu rupiah. Ya, dua ribu rupiah. Siapa yang masih tega menawar.
Kedua, penjual yang ikhlas. Di antara sekian banyak penjual keliling, si Nenek ini termasuk penjual yang tidak pernah memaksa. Kenapa saya sebut memaksa? Sebenarnya memaksa pun tidak apa-apa namanya juga orang jualan. Banyak jenis penjual, ada yang mengetuk pintu lalu menawarkan silaturahmi dan ujung-ujungnya menawarkan dagangan. Ada yang berkedok ingin membantu mengecek safety dapur kita, endingnya jualan selang, regulator dsb. Ada pula orang jualan yang memanggil-manggil dari depan pagar menunggu sampai kita keluar lalu setengah memaksa supaya kita membeli dagangannya, kadang-kadang kita juga butuh nggak butuh. Tetapi ada pula yang menjajakan sambil lewat dan akan berhenti hanya kalau kita panggil. Nah yang terakhir ini jarang jenisnya dan si Nenek termasuk di dalamnya. Meski berjualan di tempat kami seminggu sekali tetapi dia tidak pernah memaksa.
Ketiga, tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Kadang-kadang si Nenek diajak mampir oleh para pembeli untuk sekedar minum sambil istirahat sejenak.
Suatu pagi saat saya pulang belanja sayur Nenek ini lewat depan rumah.  Saya ajak dia mampir. Sambil menyuguhi minum dan kue ala kadarnya saya bertanya,
"Lho Mbah kok tumben nggak bawa sapu?"
"Saya mau ke Cikulur menengok saudara jadi nggak bawa sapu."  Dia menjawab dengan bahasa Banten tulen.
Ohh begitu rupanya. Si Nenek tinggal di Sepang Kerodangan, yang kira-kira jaraknya 5 km lebih, kebayang jauhnya dia jalan kaki. Lalu dia mengeluarkan isi kantongnya yang digendong sejak tadi. Isinya dua sisir pisang raja sere. Saya pikir pisang itu oleh-oleh untuk saudaranya. Ketika akan pulang dan saya bawakan beberapa oleh-oleh, dia meninggalkan satu sisir pisangnya. "Lho Mbah pisangnya kok nggak dibawa?" Dijawabnya lagi-lagi dengan bahasa Banten, "Ini buat dedek (maksudnya Idris dan Ilyas yang sedang bermain di dekat situ)"
Subhanallah...  Jadi dua sisir pisang yang tadi mau dibawa untuk kerabatnya yang satu diberikan untuk anak-anak saya. Rupanya dia tidak mau hanya diberi, tapi juga memberi. Apapun yang dimiliki, karena yang dimiliki saat itu pisang ya dia memberi pisang. Sungguh pelajaran berharga dari seorang nenek penjual sapu. Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.
Semoga Allah senantiasa memberinya kesehatan, keselamatan, rejeki dan berkah di usia senjanya... Amiin..
Taman Puri, 19 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar