Ini kisah tentang seorang nenek tua penjual sapu lidi yang
berjualan keliling kampung dan perumahan tempat saya tinggal. Usianya kira-kira
80an atau mungkin lebih. Badannya kecil dan kurus, tetapi jalannya masih kuat
dan lancar.
Biasanya si Nenek lewat tempat kami seminggu sekali, kalau
nggak hari Sabtu ya Minggu. S
Pertama, pekerja keras.
Usianya memang sudah senja, layak baginya adalah hidup tenang menikmati sisa
usia dikelilingi anak cucu yang menyayangi dan melayani. Tapi tidak demikian
halnya si Nenek, ia mau berusaha bekerja mencari rejeki halal dengan keringat,
tangan kaki dan seluruh jiwa raganya sendiri. Hebat. Semua lidi itu dia
kumpulkan sendiri, dibersihkan, diikat, digendong di bahunya yang renta,
berkeliling. Lalu bila ada orang yang hendak membeli dipatoknya harga per sapu
dua ribu rupiah. Ya, dua ribu rupiah. Siapa yang masih tega menawar.
Kedua, penjual yang ikhlas.
Di antara sekian banyak penjual keliling, si Nenek ini termasuk penjual yang
tidak pernah memaksa. Kenapa saya sebut memaksa? Sebenarnya memaksa pun tidak
apa-apa namanya juga orang jualan. Banyak jenis penjual, ada yang mengetuk
pintu lalu menawarkan silaturahmi dan ujung-ujungnya menawarkan dagangan. Ada
yang berkedok ingin membantu mengecek safety dapur kita, endingnya jualan selang, regulator dsb. Ada pula orang jualan yang
memanggil-manggil dari depan pagar menunggu sampai kita keluar lalu setengah
memaksa supaya kita membeli dagangannya, kadang-kadang kita juga butuh nggak
butuh. Tetapi ada pula yang menjajakan sambil lewat dan akan berhenti hanya kalau
kita panggil. Nah yang terakhir ini jarang jenisnya dan si Nenek termasuk di
dalamnya. Meski berjualan di tempat kami seminggu sekali tetapi dia tidak
pernah memaksa.
Ketiga, tangan di atas lebih
baik dari tangan di bawah. Kadang-kadang si Nenek diajak mampir oleh para
pembeli untuk sekedar minum sambil istirahat sejenak.
Suatu pagi saat saya pulang belanja sayur Nenek ini lewat
depan rumah. Saya ajak dia mampir.
Sambil menyuguhi minum dan kue ala kadarnya saya bertanya,
"Lho Mbah kok tumben nggak bawa sapu?"
"Saya mau ke Cikulur menengok saudara jadi nggak bawa
sapu." Dia menjawab dengan bahasa
Banten tulen.
Ohh begitu rupanya. Si Nenek tinggal di Sepang Kerodangan,
yang kira-kira jaraknya 5 km lebih, kebayang jauhnya dia jalan kaki. Lalu dia
mengeluarkan isi kantongnya yang digendong sejak tadi. Isinya dua sisir pisang
raja sere. Saya pikir pisang itu oleh-oleh untuk saudaranya. Ketika akan pulang
dan saya bawakan beberapa oleh-oleh, dia meninggalkan satu sisir pisangnya.
"Lho Mbah pisangnya kok nggak dibawa?" Dijawabnya lagi-lagi dengan
bahasa Banten, "Ini buat dedek (maksudnya Idris dan Ilyas yang sedang
bermain di dekat situ)"
Subhanallah... Jadi
dua sisir pisang yang tadi mau dibawa untuk kerabatnya yang satu diberikan
untuk anak-anak saya. Rupanya dia tidak mau hanya diberi, tapi juga memberi.
Apapun yang dimiliki, karena yang dimiliki saat itu pisang ya dia memberi
pisang. Sungguh pelajaran berharga dari seorang nenek penjual sapu. Tangan di
atas lebih baik dari tangan di bawah.
Semoga
Allah senantiasa memberinya kesehatan, keselamatan, rejeki dan berkah di usia
senjanya... Amiin..
Taman
Puri, 19 April 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar