Jumat, 21 Januari 2011

Menanti Ajal


Akhir-akhir ini tempat tinggalku semakin ramai. Mungkin karena cuaca yang tidak menentu. Kadang panas menyengat, kadang hujan deras dan angin. Tak heran di sampingku menjadi tempat favorit banyak orang. Mulai pengendara motor, gerombolan anak-anak sekolah, pemulung bahkan pengemis. Saat panas di sini terasa sejuk, dengan angin segar melambaikan daun-daunku. Siapapun yang singgah di bale-bale bambu di bawahku, mereka akan segera terserang kantuk. Begitupun kala hujan, rimbunnya daun-daunku mengurangi derasnya tetesan air.


Sebenarnya aku tidak sendiri. Di sampingku ada saudara-saudaraku, juga di seberang jalan. Aku senang karena kehadiran kami menambah sejuk dan asri lorong jalan ini. Aku sendiri lupa sudah sejak kapan aku tinggal di sini. Seingatku dulu di sini masih sangat sepi. Mobil masih sangat sedikit, juga motor. Malah lebih banyak pejalan kaki. Mereka adalah petani dan pedagang yang hendak menjual hasil panen ke pasar. Sambil melepas penat mereka beristirahat di dekatku. Menikmati bekal sambil berbincang satu sama lain. Sekarang tempat ini sudah sangat ramai. Mobil lalu lalang semakin banyak menimbulkan kemacetan, motor tak terbilang jumlahnya. Pun penjual makanan berjejer di pinggir jalan.


ooOoo

Dua orang berseragam itu sejak tadi mengukur tanah di sekitarku, juga di seberang jalan. Sibuk sekali mereka sejak pagi. Kadang mencatat, mengukur sambil menghitung. Sesekali membuat sketsa. Tengah hari mereka duduk beristirahat, di dekatku.

“Sudah selesai semua, Din?” Si kumis membuka pembicaraan .
“Sudah semua Pak, nanti tinggal acc Pak Sukrisna.”
“Kalau memang jadi di-acc mungkin Rabu sudah bisa dilaksanakan. Soalnya kontraktor sudah oke, tinggal menunggu waktunya saja.”
“Sebenarnya sayang juga ya Pak, pohon-pohon besar begini ditebang semua. Nantinya tempat ini jadi panas. Sudah macet, tambah panas pula.”
“Iya sih, Din. Tapi mau bagaimana lagi. Kita ini hanya menjalankan tugas. Asal kamu tahu, ini pohon dari saya kecil sudah sebesar ini. Sayang harus ditebang..”

Ternyata aku dan saudara-saudaraku akan segera ditebang. Dengan alasan yang tak kumengerti. Benarkah ini akan terjadi? Setelah sekian lama kami berdiri di sini, sudah tidak berguna lagi? Sudah tak layakkah lagi menghijaukan tempat ini, menyejukkannya? Mengurangi polusi asap-asap kendaraan yang semakin banyak? Sudah tak perlukah akar-akarku menguatkan tanah, menahan longsornya? Atau sudah banyakkah persediaan air tanah sehingga kami tak perlu mengalirkan air hujan melalui pori-pori tanah?


ooOoo

Pagi ini banyak orang berkerumun. Masing-masing dengan alatnya, terutama pemotong. Juga buldoser. Akhirnya kami benar-benar akan dieksekusi hari ini. Seandainya masih dapat melakukan pembelaan, apa salah kami? Sedangkan terpidana mati saja masih harus diadili? Seperti apakah tempat ini nanti tanpa kami?


Di tengah macet kendaraan kulihat seorang bocah memandangi kami dari balik kaca mobil. Tak henti ia memandang hingga hampir berlalu dan mobilnya menghilang dari pandanganku. Selamat tinggal, Nak. Kelak kau lewat di sini lagi, tak dapat lagi kau memandangi kami seperti tadi..




Taman Puri, Januari 2011 (Mengenang pohon-pohon sawo yang ada di perempatan Brimob jl. Letnan Jidun-jl. TB Suwandi, Serang. Dua minggu yang lalu mereka telah ditebang untuk pelebaran jalan)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar