Kamis, 06 Januari 2011

'Orang Miskin Dilarang Sakit' (bagian kedua dari trilogi 'Orang Miskin')

Judul yang ini saya kutip dari sebuah tema acara Kick Andy pada 17 September 2010. Topik waktu itu menampilkan kisah ketidak berdayaan masyarakat miskin menghadapi persoalan kesehatan terkait dengan pelayanannya. Bahkan tidak sedikit dari mereka harus meregang nyawa karena terlambat mendapatkan pelayanan medis.

Beberapa di antaranya kisah pasangan Krispinaldi dan Roida Panjaitan dari Medan, yang harus kehilangan kedua anak mereka Daniel dan Rebbeca karena deman berdarah. Keduanya dirawat di sebuah rumah sakit setempat, namun setelah beberapa hari Daniel meninggal. Meski masih selamat namun Rebecca yang selama 19 hari tidak mendapat kemajuan akhirnya dibawa ke rumah sakit lain. Ternyata rumah sakit ini mensyaratkan pasien harus membayar sejumlah uang untuk mendapat pertolongan medis. Pada saat biaya itu sedang diusahakan, nyawa Rebecca tidak tertolong lagi.


Cerita lainnya datang dari pasangan Erwin Lubis dan Endriyana saat putra ketiga mereka lahir dengan kelainan tidak memiliki dinding perut. Akibatnya perut bayi yang bernama Rizki itu semakin membesar. Upaya dilakukan dengan membawa Rizki ke sejumlah rumah sakit di Tangerang namun ditolak dengan berbagai alasan seperti kamar penuh, alat terbatas dan sedang renovasi.   Di tengah keputus asaan itulah ada seorang wartawan yang peduli dan memberitakannya. Erwin Lubis yang pedagang kelontong itu pun mendapat pertolongan dari dinas kesehatan setempat. Namun, lagi-lagi karena terlambat mendapat perawatan, nyawa Rizki tidak tertolong.

Masih banyak lagi kisah lainnya yang tak kalah menyedihkan. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa biaya kesehatan di negeri ini tidak bisa dibilang murah. Alat-alat medis dan obat yang kebanyakan berasal dari mancanegara semakin membuat biaya kesehatan kian tidak terjangkau kalangan bawah. Jangankan di daerah dan pelosok yang jauh dari pusat pemerintahan, di Jabodetabek saja masih banyak pasien miskin yang mengeluhkan pelayanan rumah sakit.


Keluhan tersebut diantaranya terkait biaya administrasi, perawat, dokter, sarana dan prasarana layanan kesehatan, uang muka rawat inap, pembelian obat, dll. Padahal kebanyakan pasien itu adalah pemegang kartu Jamkesmas, Jamkesda, Gakin dan SKTM(Surat Keterangan Tidak Mampu). Akhirnya mereka enggan berobat menggunakan kartu tersebut khawatir penolakan dengan berbagai alasan seperti kamar penuh, dan dokter atau obat atau alat tidak tersedia. Selain itu mereka juga masih mengeluarkan sejumlah uang untuk berbagai biaya, terutama pemegang kartu SKTM. Padahal pengurusan administrasi SKTM saja sudah memakan waktu dan biaya besar.


Sudah sedemikian mewahnyakah kesehatan sehingga banyak masyarakat miskin tak lagi berhak menikmati? Sangat ironi terutama di ibukota dimana saat sebagian kalangan sibuk menghambur-hamburkan uang sedang kalangan yang lain harus meregang nyawa karena tak sanggup berobat saat sakit, mereka adalah kalangan ‘sadikin’ (sakit sedikit menjadi miskin). Semoga pemerintah dapat benar2 bijak untuk menggunakan kewenangannya guna menekan pengelola rumah sakit agar terbuka dan memberikan pelayanan maksimal berkualitas bagi pasien miskin..


Taman Puri, 6 Januari 2011


2 komentar:

  1. Sedih membaca ini. Karena tidak satu dua yg seperti itu...betapa harga sebuah nyawa bisa murah karena ego semata..karena rupiah semata..saya butuh pemimpin bangsa yang bs mensejahterakan kaum fakirmiskin..

    BalasHapus
  2. sedih memang tapi ini kenyataan, semoga para pemimpin dan pembesar tergerak hatinya..

    BalasHapus